Moderasi Beragama dalam Dialog

Program studi Magister (S2) Studi Agama-Agama (SAA) Pascasarjana UIN SGD Bandung bekerjasama dengan Gereja Katolik Hati Kudus, Tasikmalaya melaksanakan seminar dengan tema Moderasi Beragama di Masyarakat Perkotaan”.  Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Gereja Katolik Hati Kudus, Tasikmalaya pada 21 Februari 2023.

Di awal seminar, Romo Fabianus Muktiyarso—pemimpin Gereja Katolik Hati Kudus—menjelaskan tentang peristiwa kelam tahun 1996 yakni perusakan gereja oleh sekelompok oknum masyarakat. Persitiwa ini menyebabkan luka mendalam bagi umat Katolik di Tasikmalaya. “Bagi kami, ini adalah peristiwa Tragedi Intoleransi yang tidak mau terulang lagi. Saat itu, tidak hanya luka fisik yang kami rasakan, tetapi juga luka psikis.”, ujar Romo Fabianus.


Namun, Romo menjelaskan bahwa setiap peristiwa selalu ada hikmahnya. Dalam tragedi ini, ia menjelaskan pentingnya komunikasi dan dialog keagamaan yang pada ujungnya akan bermuara pada kesepakatan dan toleransi. “Setelah peristiwa itu, kita berubah, masuk ke era yang lebih demokratis dan penghormatan atas perbedaan, dan kami melakukan apa yang disebut komunikasi dan dialog. Diawali dengan koordinasi bersama pemerintah, kami perlahan-lahan menyusun rencana agar toleransi yang kita dambakan bersama-sama berjalan. Hingga, kami bisa menjalin kerjasama dengan umat agama lain di sini, pada akhirnya menjali jalan indah yang kami rasakan. Toleransi beragama adalah buah dari segalanya”, tambah Romo Fabianus.

Hal itu, kemudian diamini oleh perwakilan dari S2 SAA, M. Taufiq Rahman, PhD., bahwa tujuan inti dari moderasi beragama adalah menciptakan masyarakat yang toleran, saling menghormati, dan menghargai. Selain itu, moderasi beragama juga harus dimaknai sebagai bagian dari program pemerintah. “Moderasi beragama dalam konteks Indonesia juga harus dipahami sebagai sebuah program resmi pemerintah dalam upaya mengatasi sikap beragama yang ekstrem. Dalam hal ini pemerintah sudah menetapkan definisi, ciri, dan indikator moderasi beragama sebagaimana dijelaskan dalam buku “Moderasi Beragama” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI”, ujarnya.

Sebagai sekretaris Prodi S2 SAA, M. Taufiq Rahman juga menambahkan bahwa dalam buku tersebut juga dijelaskan indikator moderasi beragama yang terdiri dari empat hal, yaitu: 1) komitmen kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap budaya lokal. Dengan indikator-indikator tersebut dapat diidentifikasi seberapa kuat moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seorang umat beragama di Indonesia, sekaligus mengukur kerentanan dalam beragama yang dijalankannya. Kerentanan tersebut perlu diidentifikasi untuk menemukan, menyembunyikan dan kemudian mengambil langkah-langkah yang tepat dalam melakukan penguatan moderasi beragama.

Narasumber lain, Dr. M. Yusuf Wibisono, M.Ag., dosen Pascasarjana UIN Bandung yang juga pengajar di S2 SAA menyoroti topik Pancasila sebagai bentuk nyata dari pengejawantahan moderasi beragama. Baginya, Pancasila itu adalah “jelmaan” nyata dari moderasi beragama, setiap sila jelas-jelas telah mencerminkan setiap nilai yang ada pada moderasi beragama. “Kalau kita breakdown satu persatu, sila-sila yang ada pada Pancasila, itu jelas telah menunjukkan implementasi moderasi beragama. Contohnya, sila ke satu; Ketuhanan Yang Maha Esa, itu kan bagian dari kepercayaan masing-masing umat beragama kepada Tuhan yang ada pada indikator moderasi yaitu moderat dalam pemikiran. Semua jika kita preteli begitu, sehingga bagi saya harapannya wujud masyarakat itu tidak hanya sampai pada toleransi dan ko-eksistensi, tetapi juga sampai pada level pro-eksistensi”, ujar pria yang juga sebagai aktivis perdamaian di Universitas Parahyangan, Bandung ini. Tambahan lain adalah dari dunia praktis yang disampaikan oleh Dr. Dadang Kuswana, dosen di Magister SAA UIN SGD Bandung. Menurutnya, pluralitas keagamaan harus bermuara pada integritas kebangsaan, yaitu Bhinneka Tunggal Ika.



Di akhir seminar, baik S2 SAA dan gereja Katolik Hati Kudus kemudian menyepakati hal lain yang berupa konsep dan praktis. Pada tataran konsep, semua peserta menyepakati terkait prinsip-prinsip yang tertuang dalam indikator moderasi beragama yaitu; seorang yang menjalankan pemikiran dan sikap moderat harus berada pada posisi di tengah, tidak terlalu berpihak pada salah satu titik ekstrem, melainkan berdiri di antara kedua kutub ekstrem tadi. Dalam praktiknya seorang yang moderat tidak berlebihan dalam beragama, tetapi juga tidak mengabaikan agama. Seorang yang moderat tidak ekstrem dengan mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa mengabaikan penggunaan akal/nalar, juga tidak berlebihan dengan mendewakan rasio akal sehingga mengabaikan teks-teks agama. sederhananya, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi serta menarik kedua kutub ekstrem yang bersebrangan dalam beragama untuk bergerak menuju ke titik tengah. Cara ini adalah sebuah seruan untuk kembali pada esensi dari ajaran agama, yakni menyempurnakan manusia.

Sementara, dalam tataran praktis, baik S2 SAA UIN SGD Bandung maupun Gereja Katolik Hati Kudus menyepakati kerjasama jangka panjang terutama dalam dialog dan penerapan nilai-nilai kemoderasian dan perdamaian. Romo Fabianus akan mengupayakan adanya Perayaan Hari Besar Nasional sebagai ajang untuk berkumpul dan berdialog seperti perayaan 17 Agustus, 1 Juni, dan 28 Oktober. Romo Fabianus berharap Prodi S2 SAA turut andil dalam kegiatan itu untuk menjadi penyaji materinya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020