Moderasi Beragama dalam Dialog
Program studi Magister (S2) Studi Agama-Agama (SAA) Pascasarjana UIN SGD Bandung bekerjasama dengan Gereja Katolik Hati Kudus, Tasikmalaya melaksanakan seminar dengan tema “Moderasi Beragama di Masyarakat Perkotaan”. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Gereja Katolik Hati Kudus, Tasikmalaya pada 21 Februari 2023.
Namun, Romo menjelaskan bahwa
setiap peristiwa selalu ada hikmahnya. Dalam tragedi ini, ia menjelaskan
pentingnya komunikasi dan dialog keagamaan yang pada ujungnya akan bermuara
pada kesepakatan dan toleransi. “Setelah peristiwa itu, kita berubah, masuk ke
era yang lebih demokratis dan penghormatan atas perbedaan, dan kami melakukan
apa yang disebut komunikasi dan dialog. Diawali dengan koordinasi bersama pemerintah,
kami perlahan-lahan menyusun rencana agar toleransi yang kita dambakan
bersama-sama berjalan. Hingga, kami bisa menjalin kerjasama dengan umat agama
lain di sini, pada akhirnya menjali jalan indah yang kami rasakan. Toleransi
beragama adalah buah dari segalanya”, tambah Romo Fabianus.
Hal itu, kemudian diamini oleh
perwakilan dari S2 SAA, M. Taufiq Rahman, PhD., bahwa tujuan inti dari moderasi
beragama adalah menciptakan masyarakat yang toleran, saling menghormati, dan
menghargai. Selain itu, moderasi beragama juga harus dimaknai sebagai bagian
dari program pemerintah. “Moderasi beragama dalam konteks Indonesia juga harus
dipahami sebagai sebuah program resmi pemerintah dalam upaya mengatasi sikap
beragama yang ekstrem. Dalam hal ini pemerintah sudah menetapkan definisi,
ciri, dan indikator moderasi beragama sebagaimana dijelaskan dalam buku
“Moderasi Beragama” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama RI”, ujarnya.
Sebagai sekretaris Prodi S2 SAA,
M. Taufiq Rahman juga menambahkan bahwa dalam buku tersebut juga dijelaskan
indikator moderasi beragama yang terdiri dari empat hal, yaitu: 1) komitmen
kebangsaan; 2) toleransi; 3) anti-kekerasan; dan 4) akomodatif terhadap budaya
lokal. Dengan indikator-indikator tersebut dapat diidentifikasi seberapa kuat
moderasi beragama yang dipraktikkan oleh seorang umat beragama di Indonesia,
sekaligus mengukur kerentanan dalam beragama yang dijalankannya. Kerentanan
tersebut perlu diidentifikasi untuk menemukan, menyembunyikan dan kemudian
mengambil langkah-langkah yang tepat dalam melakukan penguatan moderasi
beragama.
Narasumber lain, Dr. M. Yusuf
Wibisono, M.Ag., dosen Pascasarjana UIN Bandung yang juga pengajar di S2 SAA
menyoroti topik Pancasila sebagai bentuk nyata dari pengejawantahan moderasi
beragama. Baginya, Pancasila itu adalah “jelmaan” nyata dari moderasi beragama,
setiap sila jelas-jelas telah mencerminkan setiap nilai yang ada pada moderasi
beragama. “Kalau kita breakdown satu persatu, sila-sila yang ada pada
Pancasila, itu jelas telah menunjukkan implementasi moderasi beragama.
Contohnya, sila ke satu; Ketuhanan Yang Maha Esa, itu kan bagian dari
kepercayaan masing-masing umat beragama kepada Tuhan yang ada pada indikator
moderasi yaitu moderat dalam pemikiran. Semua jika kita preteli begitu,
sehingga bagi saya harapannya wujud masyarakat itu tidak hanya sampai pada
toleransi dan ko-eksistensi, tetapi juga sampai pada level pro-eksistensi”,
ujar pria yang juga sebagai aktivis perdamaian di Universitas Parahyangan,
Bandung ini. Tambahan lain adalah dari dunia praktis yang disampaikan oleh Dr.
Dadang Kuswana, dosen di Magister SAA UIN SGD Bandung. Menurutnya, pluralitas
keagamaan harus bermuara pada integritas kebangsaan, yaitu Bhinneka Tunggal
Ika.
Di akhir seminar, baik S2 SAA dan
gereja Katolik Hati Kudus kemudian menyepakati hal lain yang berupa konsep dan
praktis. Pada tataran konsep, semua peserta menyepakati terkait prinsip-prinsip
yang tertuang dalam indikator moderasi beragama yaitu; seorang yang menjalankan
pemikiran dan sikap moderat harus berada pada posisi di tengah, tidak terlalu
berpihak pada salah satu titik ekstrem, melainkan berdiri di antara kedua kutub
ekstrem tadi. Dalam praktiknya seorang yang moderat tidak berlebihan dalam
beragama, tetapi juga tidak mengabaikan agama. Seorang yang moderat tidak ekstrem
dengan mengagungkan teks-teks keagamaan tanpa mengabaikan penggunaan
akal/nalar, juga tidak berlebihan dengan mendewakan rasio akal sehingga
mengabaikan teks-teks agama. sederhananya, moderasi beragama bertujuan untuk menengahi
serta menarik kedua kutub ekstrem yang bersebrangan dalam beragama untuk
bergerak menuju ke titik tengah. Cara ini adalah sebuah seruan untuk kembali
pada esensi dari ajaran agama, yakni menyempurnakan manusia.
Sementara, dalam tataran praktis,
baik S2 SAA UIN SGD Bandung maupun Gereja Katolik Hati Kudus menyepakati
kerjasama jangka panjang terutama dalam dialog dan penerapan nilai-nilai
kemoderasian dan perdamaian. Romo Fabianus akan mengupayakan adanya Perayaan
Hari Besar Nasional sebagai ajang untuk berkumpul dan berdialog seperti
perayaan 17 Agustus, 1 Juni, dan 28 Oktober. Romo Fabianus berharap Prodi S2
SAA turut andil dalam kegiatan itu untuk menjadi penyaji materinya.
Komentar
Posting Komentar