Islam Sebagai Ideologi Gerakan

M. Taufiq Rahman

Sebelum memulai diskusi tentang Islam sebagai ideologi, ada baiknya kita ikuti dulu pengertian dan pemahaman tentang ideologi itu sendiri. Setelah itu baru kita ikuti perkembangan sejarah Islam dalam hubungannya dengan ideologi tersebut.


Ideologi
Ideologi adalah satu sistem ide yang saling bergantung (tradisi, kepercayaan, dan prinsip) dan mencerminkan serta mempertahankan kepentingan-kepentingan suatu kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, ideologi adalah suatu pola ide yang bukan saja menguraikan dan mengesahkan struktur sosial dan kebudayaan suatu kelompok sosial atau masyarakat, tetapi juga memberi justifikasi terhadap pola-pola tingkah laku, sikap dan cita-cita kelompok atau masyarakat itu.
Istilah ideologi mula-mula diperkenalkan oleh ahli filsafat Perancis Destutt de Tracy (1755-1836). Menurutnya, ideologi adalah ilmu atau kajian mengenai ide-ide. Tetapi tidak lama kemudian istilah ini berubah pengertiannya dan digunakan untuk merujuk kepada satu set ide bagi mempertahankan kepentingan tertentu (Ardalan, 2019: 125).
Konsep ini banyak terdapat dalam tulisan Karl Marx. Marx menganggap ideologi sebagai suatu sistem ide dan kepercayaan untuk melanggengkan dan mempertahankan kepentingan kelas sosial tertentu. Sistem ide dan kepercayaan, menurut Marx, biasanya berisi berbagai ide dan kepentingan kelas pemerintah atau aspirasi-aspirasi kelas yang diperintah. Bagi Marx, ideologi melibatkan sengkarut ide dan kepercayaan. Ideologi juga mewakili suatu bentuk kesadaran kelas yang terdistorsi dan menyesatkan. Seperti kata Baudrillard (2019: 19) bahwa pada umumnya ideologi dipahami Marx sebagai kesadaran palsu atau citra palsu suatu kelas sosial mengenai diri dan mengenai masyarakat seluruhnya. Memang, Marx menganggap teori ahli ekonomi borjuis berdasarkan pada ideologi kelas. Sedangkan menurut Raymond Aron (2017: 45), Marx bukan menuduh ahli ekonomi borjuis sebagai yang mempunyai niat untuk menipu para pelajar atau pembaca ataupun memberi suatu penafsiran palsu mengenai realitas. Marx lebih menganggap bahwa suatu kelas itu hanya dapat melihat dunia dari kaca mata kelas itu sendiri.
Konsep ideologi juga dikaitkan oleh Marx dengan alienasi. Seperti kata Bottomore dan Rubel (1963:21): “Konsep Marx mengenai “kesadaran palsu” dan “ideologi” berkaitan dengan konsep “alienasi”. Kesadaran palsu adalah kesadaran individu yang timbul dalam keadaan alienasi, dan ideologi adalah sistem kepercayaan yang dihasilkan oleh kesadaran palsu tadi.”
Jadi, bisalah dikatakan bahwa ideologi sebagai satu sistem ide atau makna yang kita berikan terhadap dunia, masyarakat atau manusia, terutama sekali dalam bidang struktur politik. Sebagai satu contoh, ideologi kapitalis mungkin mengandung unsur-unsur seperti, antara lain:
1)      Bekerja merupakan suatu yang baik dan kemalasan adalah sebaliknya.
2)      Rajin dan berusaha biasanya mendatangkan ganjaran dan keuntungan.
3)      Kemiskinan itu disebabkan oleh sifat malas dan boros (Rahman, 2011).

Membicarakan ideologi kapitalis adalah juga membicarakan ideologi modernis. Demikian karena modernisme merupakan dasar dari kapitalisme. Lalu, bagaimanakah hubungan Islam dengan modernisme?

Modernisme
Modernisme adalah pemikiran, karakter, atau praktek modern. Sementara itu, modernitas, dapat dicirikan, pertama, ia adalah periode sejarah Eropa yang berentang dari sejak Reformasi sampai abad keduapuluh. Kedua, ia merupakan kondisi kultural. Selama periode modern, masyarakat Eropa mendapatkan ciri-ciri yang saling berhubungan: secara ekonomi, terdapat pergeseran dari ekonomi agraris ke industri; secara politik, institusi negara-bangsa mulai menggantikan kekuasaan monarki, liberalisme dan sekularisme mendapatkan dukungan melawan kekuasaan bangsawan dan gereja. Secara sosial, individualisme dan mobilitas sosial mulai menggantikan keluarga dan komunitas, selain itu, teknologi mulai berperan sangat penting dalam wilayah pribadi dan publik yang muncul. Secara filosofis, Pencerahan rasionalisme dan empirisisme menjadi dominan; dalam ilmu, metode-metode baru dari pengukuran eksak dan matematika terapan dibangun; dalam seni, terdapat pergeseran dari seni patung ke naturalisme dan ekspressifisme; dan dalam teologi, metode sejarah dan penekanan pada pengalaman beragama menjadi diutamakan (Rahman, 2018).
Walhasil, setiap aspek kehidupan manusia berubah dalam cara-cara yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Ketika kondisi-kondisi sedemikian itu muncul dalam sebuah masyarakat, baik Eropa ataupun bukan, masyarakat tersebut dikatakan telah menjadi modern. Di Eropa dan dimana saja, modernisasi telah ketemu dengan dukungan yang antusias sekaligus juga penolakan. Pendukung optimis dari modernisasi itu disebut kaum modernis.
Komunitas modern (modern community) itulah mungkin cita-cita kaum modernis. Modernisme ini betul-betul kompleks. Di sana ada individualisme yang mengutamakan hak-hak individu yang melahirkan liberalisme di bidang politik, kapitalisme di bidang ekonomi, dan reformisme di bidang agama (Kristen). Ideologi ini disebut-sebut sebagai pembawa peradaban yang sangat hebat. Barat adalah bukti konkretnya. Maka timbullah teori-teori modernisasi, mulai dari yang bersifat psikologis seperti teori n-Ach-nya David McClelland sampai teori pembangunan (developmentalisme) yang lebih mengutamakan proyek kolosal, sebuah negara misalnya.
Kita dapat perhatikan bahwa ideologi yang berkembang sejalan dengan sekularisasi di Barat ini telah mendapat banyak dukungan teoretis dari para pemikir besar Barat seperti Rousseau dan Adam Smith. Demikian sehingga dari kalangan umat Islam pun ada yang berideologikan modernis ini, yaitu, misalnya, Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan.
Kita pun melihat bahwa ideologi ini sangat laku di berbagai belahan bumi. Mayoritas negara-negara di dunia mengikuti program pembangunan yang dilaksanakan di Barat. Di Indonesia, program tersebut dilakukan selama kepemimpinan Presiden Soeharto.

Marxisme dan Umat Islam
Hubungan umat Islam dengan Marxisme pun tidaklah selalu berlawanan (hostile). Dalam sejarah, Marxisme pernah menjadi anutan negeri-negeri Muslim. Tak urung, Indonesia pernah mempunyai Soekarno yang mengumandangkan NASAKOM (Nasionalis, Agama dan Komunis) di mana unsur agamanya adalah Islam (lihat karangan Soekarno, Nationalism, Islam, and Marxism). Negeri lain yang mempunyai tekad sintesis yang sama adalah Mesir, yang mempunyai Nasser yang menjalin hubungan dengan Uni Soviet yang begitu kental. Iran juga pernah mencoba melakukan pemberontakan terhadap rezim Shah Reza Pahlevi dengan energi komunisme nasionalis ala Mushadeq. Saddam Hussein yang didukung partai sosialisnya, Baath, di Irak juga menjadi satu bukti hubungan “bulan madu” umat Islam dan Marxisme. Sudan mempunyai Partai Komunis, Tunisia mempunyai Islamic Progressive Tendency, dan seterusnya, dan seterusnya.
Tapi hubungan umat Islam dengan sosialisme itu tidak selamanya mesra. Itu terbukti ketika umat Islam menemukan revitalisasi Islam untuk sebuah spirit perjuangan. Dan Mesir sosialis pun luntur. Memang Sadat telah melakukan penggantian idola dari Uni Soviet ke Amerika Serikat. Tapi Sadat pun terbunuh, oleh kekuatan yang berideologi Islam. Di Indonesia, dulu, komunisme mendapat tentangan keras dari Kelompok Masyumi yang dimotori oleh Isa Anshari dengan gerakan Front Anti Komunisme-nya.
Nampaknya hubungan baik Islam dan Sosialisme itu dilakukan ketika umat Islam ingin melepaskan diri dari belenggu imperialisme yang bergaya Eropa, yang berideologi kapitalis. Maka mereka pun memerlukan ideologi bandingannya, yaitu Sosialisme gaya Marxis. Lagi pula, dalam Islam, elemen sosialisme itu cukup kental. Ini dapat dirunut dari perjuangan Nabi yang membebaskan kaum lemah. Dan interpretasi sosialistik pun dapat merujuk pada hal itu dengan semangat penerapan sosialisme yang menyala-nyala.
Namun, kini, setelah komunisme tumbang, apa lagi yang perlu dijadikan rujukan? Yang jelas Barat tetap menjadi hantu yang menakutkan, yang menjijikan jika perlu, untuk dijadikan rujukan. Umat Islam perlu mandiri. Mereka harus punya rujukan yang genuine. Itulah mungkin yang selalu didengungkan di dunia Islam. Sehingga, dalam menjawab tantangan zaman, umat Islam tidak hanya perlu untuk melakukan imitasi penerimaan, tapi juga perlu untuk melakukan penolakan ideologi-ideologi bikinan manusia (man-made) itu.
Lalu kenapa ada umat Islam yang memilih Marxisme? Apa yang menjadi copy right kaum Marxis adalah dimensi revolusioner-nya. Untuk negara-negara yang sedang melakukan revolusi kemerdekaan, nampaknya ideologi ini cukup menarik untuk diterapkan. Apalagi Uni Soviet selalu siap membantu bidang persenjataan untuk melawan super power lawannya, Barat dengan Amerika Serikat sebagai yang berada di garda depan. Tentu saja Uni Soviet menginginkan hadiah berupa kesetiaan pada blok yang dipimpinnya. Sebuah ongkos yang dibayarkan (cost) harus mendapatkan imbalan manfaat yang bisa dipetik (benefit), begitulah kira-kira. Dan kaum Stalinis mempunyai jargon yang diidam-idamkan Marx, suatu internasionalisme yang berbunyi: “Bersatulah Kaum Buruh Sedunia” (lihat Manifesto Komunis). Begitulah pengaruh Marxisme dalam politik dunia.
Dalam periode lebih kontemporer, Marxisme merasuk pada teologi pembebasan (liberation theology)-nya kaum Katolik di Amerika Latin. Melihat sukses kaum Neo-Marxian religius di dunia Katolik itu, tak urung umat Islam banyak yang tertarik. Maka teologi pembebasan pun dicari-cari legitimasinya dalam Islam. Muncullah misalnya tafsir Islam pembebasan ala Ashgar Ali Engineer (India), Farid Essack (Afrika Selatan), Hassan Hanafi (Mesir), Moeslim Abdurrahman (Indonesia), dsb. Ini masih membuktikan bahwa ideologi revolusioner memang selalu menarik ketika dunia sudah dianggap terlalu semrawut, tidak pasti, dan membingungkan. Dengan ideologi ini dapatlah dikemukakan bagaimana cara untuk mengubah sistem sosial yang sudah terlalu kronis. Ideologi ini bersifat perlawanan untuk sebuah emansipasi manusia.
Biasanya para tokoh Islam sangat mengecam Marxisme karena sifatnya yang materialis, yang dengan demikian tidak memasukkan dimensi ketuhanan dalam sejarah manusia. Namun pengertian “agama sebagai candu masyarakat” (opium des Volkes) itu perlu dipahami secara kontekstual. Pertama, agama di situ tentu saja Kristen, konteks di mana kalimat tadi dilontarkan Marx. Kedua, latar belakang Marx berkata seperti itu karena agama memang sering membuai manusia dengan janji bahwa akan ada surga di akhirat. Sementara Marx, menginginkan masyarakat supaya yakin bahwa surga dapat dibuat di muka bumi. Di sinilah agama menjadi penghalang ideologi yang dibuatnya. Maka, untuk menarik perhatian orang tertumpah pada pengubahan situasi di muka bumi, Marx perlu menegasikan (menolak) agama, dengan cara mengecamnya sebagai sesuatu yang Cuma digunakan untuk menghibur diri: opium.
            Jadi, bagi kaum agamawan yang tidak membuat agama sebagai suatu pelipur lara saja, Marxisme tidaklah terlalu bertentangan. Agama dan sosialisme revolusioner dapat sejalan. Di situlah Marxisme mendapatkan dukungan dari sebagian kaum agamawan. Perlu dicatat pula bahwa Marx selalu bilang bahwa siapa saja yang selalu sejalan dengan ideologi kapitalis yang eksploitatif adalah sebangsa kaum kapitalis itu sendiri. Nampaknya Marx mau menerapkan prinsip “man tasyabbaha biqaumin fahua minhum” (barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka mereka adalah kaum yang diserupai itu sendiri) di sini. Maka, kaum agamawan yang tidak mau disegolongkan dengan kaum kapitalis serta merta perlu melakukan penolakan atas ideologi kapitalis itu. Mereka dapat menemukannya dalam kitab suci setelah membaca Marx dan menggunakan analisis Marxis dan adapula yang membaca kitab dan sejarah Islam tanpa menggunakan analisis kelas ala Marx.

Islam sebagai Ideologi
            Jadi, bagi kaum agamawan yang tidak membuat agama sebagai suatu pelipur lara saja, Marxisme tidaklah terlalu bertentangan. Agama dan sosialisme revolusioner dapat sejalan. Di situlah Marxisme mendapatkan dukungan dari sebagian kaum agamawan. Perlu dicatat pula bahwa Marx selalu bilang bahwa siapa saja yang selalu sejalan dengan ideologi kapitalis yang eksploitatif adalah sebangsa kaum kapitalis itu sendiri. Nampaknya Marx mau menerapkan prinsip “man tasyabbaha biqaumin fahua minhum” (barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka mereka adalah kaum yang diserupai itu sendiri) di sini. Maka, kaum agamawan yang tidak mau disegolongkan dengan kaum kapitalis serta merta perlu melakukan penolakan atas ideologi kapitalis itu. Mereka dapat menemukannya dalam kitab suci setelah membaca Marx dan menggunakan analisis Marxis dan adapula yang membaca kitab dan sejarah Islam tanpa menggunakan analisis kelas ala Marx.
Di atas sudah terlihat adanya dua ideologi yang saling bertentangan yang menawarkan gagasan sosial dan politik bagi umat manusia. Bagi Qutb, Islam itu berada pada persimpangan jalan. Disebabkan bunga bank, monopoli, eksploitasi, dan ketidakadilan, Qutb menolak untuk melihat kapitalisme atau sistem kapitalis sebagai model bagi Islam untuk diikuti dan diimitasi. Lebih jauh, kapitalisme telah dikaitkan secara dekat dengan nasionalisme di mana negara-negara Barat atas nama kepentingan nasional, merasa berhak untuk mengeksploitasi, menginvasi, dan menduduki negara-negara lain di Timur Tengah, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pada sisi lain, walaupun Sosialisme dan Islam mengalami perjumpaan pada poin-poin yang esensial seperti dalam mengadvokasi jaminan standar-standar minimum dalam kehidupan, kerja, perumahan dan keadilan sosial, namun sistem ekonomi Islam merupakan bagian integral dari Islam dan didasarkan pada Tauhid (Qutb, 1981: 20).
Hal itu dapat terlihat dari buku yang berpengaruh sebagai karya tafsir Sayyid Qutb, Fi Zilal al-Qur’an (1952-1964). Buku ini mulanya adalah tulisan bulanan pada majalah al-Muslimun, majalah yang disponsori oleh Ikhwan al-Muslimin. Tulisan selama setahun (1952) akhirnya menjadi jilid pertama Fi Zilal pada akhir tahun 1952. Antara tahun 1952 dan 1954 Qutb telah berhasil menerbitkan empat belas juz tafsirnya. Dan akhirnya, dari tahun 1954 hingga 1964, di bawah kondisi siksaan di penjara, beliau menamatkan keseluruhan jilid Fi Zilal (Yusuf, 1997: 88).
Keseluruhan karakteristik Fi Zilal, adalah dimaksudkan untuk tujuan khusus yang ada pada pikiran sang mufassir, yang selalu Qutb sebut dalam komentarnya. Tujuannya adalah bahwa al-Qur’an itu dimaksudkan untuk dipahami oleh semua dan terutama oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab dakwah, yaitu amr bi al-ma ‘ruf dan nahy ‘an al-munkar, suatu tanggung jawab yang sangat diperlukan jika manusia menginginkan untuk membuat kemajuan baik spiritual maupun material selama hidupnya yang singkat di planet ini (Rahman, 2014).
Karena untuk tujuan dakwah itulah maka tidak mengherankan jika dalam tafsirnya, Qutb menghindari masalah-masalah kontroversial seperti masalah-masalah teologi dan fiqh yang rumit ataupun cerita-cerita israiliyyat. Dalam masalah fiqh, misalnya, Qutb menghindari pencarian ‘illat (alasan hukum) yang terdapat dalam suatu ketentuan syara‘, misalnya mengapa bangkai diharamkan. Qutb (1971: VI-840) mengatakan bahwa yang tahu ‘illat penetapan hukum hanyalah Allah. Sejauh yang bisa kita lakukan hanya memikirkan hikmahnya, yang dalam melakukannya kita masih tetap dalam lingkungan praduga.
Qutb menghindari permasalahan-permasalahan detail keagamaan beralasan karena jika terlibat dengan masalah-masalah itu, pesan Islam yang utama, yaitu da’wa akan terhalangi, demikian Qutb (1971: XV-2277-8). Apa yang terutama diketengahkan oleh Qutb adalah tentang bagaimana nikmatnya hidup di bawah naungan al-Qur’an, yang seringkali ia sebut sebagai suatu metode ketuhanan (minhaj rabbani).
Ma‘alim fi al-Tariq (Petunjuk Jalan) (1964), adalah pamflet perjuangan gerakan Islam modern yang mungkin dapat disamakan dengan pamphletnya Marx dan Engels, The Communist Manifesto sebagai pamflet perjuangan gerakan kaum ploretar dunia (Shepard, 2003: 535). Buku terakhir Qutb ini berisi beberapa surat Qutb yang dikirimkan dari penjara dan beberapa bagian penting dari Fi Zilal al-Qur’an. Ia merepresentasikan ringkasan yang padat dan kuat dari ide-ide utama Sayyid Qutb: tabiat jahili dari masyarakat, pemerintahan dan budaya yang ada, dan program jangka-panjang yang dibutuhkan untuk pembangunan tatanan Islam.
Dalam Ma‘alim fi al-Tariq, niatan Qutb adalah menciptakan masyarakat baru. Ini karena menurutnya, masyarakat sekarang adalah masyarakat jahiliyyah, sama seperti halnya pada masa lahirnya Islam dulu. “Keseluruhan lingkungan kita, kepercayaan dan ide-ide masyarakat, kebiasaan dan seni, aturan dan hukum semuanya jahiliyyah, bahkan pada apa yang kita anggap budaya Islam, sumber Islam, filsafat Islam, dan pemikiran Islam juga membentuk jahiliyyah,” demikian Qutb (1981: 21).
Menurut Ma‘alim, masyarakat baru itu akan diciptakan oleh suatu gerakan Islam yang aktif yang membawakan pesan Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh generasi pertama sahabat, suatu generasi Islam yang memisahkan diri mereka dari masyarakat jahili dan kemudian menciptakan masyarakat baru, masyarakat Islam.

Khulashah
            Apabila kita melihat sumber ideologi Islam, didapatkan bahwa Islam itu modern. Islam itu pro-keilmuan, pro-kemajuan, pro-prestasi, berorientasi kerja, bersifat logis, kritis, kreatif, dan inovatif, dll. Apa yang dapat Islam kritik pada modernisme itu adalah bahwa modernisme telah melahirkan dehumanisasi pada ideologi turunannya, yaitu kapitalisme. Padahal, Islam itu memuliakan manusia, baik yang kaya maupun yang miskin; Islam itu pro-keadilan sosial; Islam itu menolak penindasan, dll.
            Sementara itu, dapatlah diakui bahwa Marx telah mencoba melakukan perlawanan terhadap modernisme kapitalistik. Dan karya-karya Marx terbukti sangat berguna bagi rujukan gerakan sosial. Akan lebih enak jika kemudian kita dapat mempelajarinya dengan menjadikannya sebagai teks-teks yang terbuka. Sebab, tanpa keterbukaan menafsirkan teks, kaum Sosialis-Marxis akan gagal menunjukkan kehebatan ideologi mereka, sebab terbelenggu oleh kekakuan interpretatif. Begitupun, tanpa keterbukaan menerima kritik dari pihak lain, kaum agamawan dapat ditinggalkan umatnya. Sang umat akan mengambil ideologi bikinan manusia sebagai sebuah doktrin yang dapat menyelamatkan kehidupannya.
            Padahal, demikian Qutb, Islam itulah yang secara kosmologis menawarkan keselamatan. Maka, harus dicatat bahwa bagi umat Islam, apapun ideologi yang ditawarkan dunia, tidak boleh meninggalkan hal prinsip. Yaitu, semua harus berdasarkan bimbingan wahyu Tuhan dan contoh Nabinya, disertai dengan penyesuaian-penyesuaian pengalaman.
            Demikian karena, dalam Islam, hukum Tuhan telah mencakup baik hukum dunia maupun hukum agama. Oleh karena itu, ketaatan pada hukum adalah totalitas, yaitu mendatangkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Perubahan-perubahan dalam hukum, pada dasarnya, bersifat tidak ada. Penyesuaian dengan kebutuhan manusia dalam hal teknis diakui, tetapi bukan dalam hal doktrin.

DAFTAR PUSTAKA
Ardalan, Kavous. "Ideology: A Multi-paradigmatic Approach." Journal of Interdisciplinary Economics 31, no. 2 (2019): 124-142.
Aron, Raymond. The opium of the intellectuals. Routledge, 2017.
Baudrillard, Jean. For a Critique of the Political Economy of the Sign. Verso, 2019.
Bottomore, Tom B., and Maximilien Rubel. Selected writings in sociology and social philosophy. Harmondsworth, Eng.: Penguin Books, 1963.
Qutb, Sayyid. Ma‘alim fi al-Tariq, Kairo: Dar al-Shuruq, 1981.
Qutb, Sayyid. Fi Zilal Al-Quran, Beirut: Dār Ihya al-Turath al-‘Araby, 1971.
Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial. 2011. Bandung: Ibnu Sina Press.
Rahman, M. Taufiq. Pengantar filsafat sosial. 2018. Bandung: Lekkas.
Rahman, M. Taufiq. Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John Rawls's and Sayyid Qutb's Theories. Scholars' Press, 2014. 
Shepard, William E. “Sayyid Qutb’s Doctrine of Jahiliyya”, International Journal of Middle East Studies, no. 35, (2003): 521-545.
Yusuf, Badmas ‘Lanre. “The History of Fi Zilalil-Qur’an”, The Islamic Quarterly, Vol. 41, No. 2, Second Quarter, (1997), 85-108.


Komentar

  1. nurna041205@gmail.com
    Nurnaningsih_S3_RS_NIM 3190310021

    ISLAM SEBAGAI ENTITAS POLITIK

    Islam diakui sbg agama yg memiliki hukum yg kuat utk akhirnya publikasi nya dianggap sbg politik yg diakui para penganutnya
    Bukti Islam ada di kenegaraan salah satunya munculnya partai2 politik berbasis Islam bahkan adanya Majelis Ulama Indonesia yg salah satunya mengatur hukum2 Islam. Islam sbg entitas politik sudah sangat melekat dlm jiwa masing2 pemeluknya.
    Pertanyaannya sejauh mana umat Islam secara syariat diperbolehkan dlm pertarungan politik? Sementara Qt mengetahui dg jelas rezim yg terjadi saat ini sangat tdk memihak politik Islam. Bukankah " meninggalkan kerusakan lebih utama drpd mengambil kemanfaatan"?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020

MERAJUT KESATUAN, MENJAGA KEINDONESIAAN