Islam Sebagai Ideologi Gerakan
M. Taufiq Rahman
Sebelum
memulai diskusi tentang Islam sebagai ideologi, ada baiknya kita ikuti dulu
pengertian dan pemahaman tentang ideologi itu sendiri. Setelah itu baru kita
ikuti perkembangan sejarah Islam dalam hubungannya dengan ideologi tersebut.
Ideologi
Ideologi
adalah satu sistem ide yang saling bergantung (tradisi, kepercayaan, dan
prinsip) dan mencerminkan serta mempertahankan kepentingan-kepentingan suatu
kelompok atau masyarakat. Dengan kata lain, ideologi adalah suatu pola ide yang
bukan saja menguraikan dan mengesahkan struktur sosial dan kebudayaan suatu
kelompok sosial atau masyarakat, tetapi juga memberi justifikasi terhadap
pola-pola tingkah laku, sikap dan cita-cita kelompok atau masyarakat itu.
Istilah
ideologi mula-mula diperkenalkan oleh ahli filsafat Perancis Destutt de Tracy
(1755-1836). Menurutnya, ideologi adalah ilmu atau kajian mengenai ide-ide.
Tetapi tidak lama kemudian istilah ini berubah pengertiannya dan digunakan
untuk merujuk kepada satu set ide bagi mempertahankan kepentingan tertentu
(Ardalan, 2019: 125).
Konsep
ini banyak terdapat dalam tulisan Karl Marx. Marx menganggap ideologi sebagai
suatu sistem ide dan kepercayaan untuk melanggengkan dan mempertahankan
kepentingan kelas sosial tertentu. Sistem ide dan kepercayaan, menurut Marx,
biasanya berisi berbagai ide dan kepentingan kelas pemerintah atau
aspirasi-aspirasi kelas yang diperintah. Bagi Marx, ideologi melibatkan
sengkarut ide dan kepercayaan. Ideologi juga mewakili suatu bentuk kesadaran
kelas yang terdistorsi dan menyesatkan. Seperti kata Baudrillard (2019: 19)
bahwa pada umumnya ideologi dipahami Marx sebagai kesadaran palsu atau citra
palsu suatu kelas sosial mengenai diri dan mengenai masyarakat seluruhnya. Memang,
Marx menganggap teori ahli ekonomi borjuis berdasarkan pada ideologi kelas.
Sedangkan menurut Raymond Aron (2017: 45), Marx bukan menuduh ahli ekonomi
borjuis sebagai yang mempunyai niat untuk menipu para pelajar atau pembaca
ataupun memberi suatu penafsiran palsu mengenai realitas. Marx lebih menganggap
bahwa suatu kelas itu hanya dapat melihat dunia dari kaca mata kelas itu
sendiri.
Konsep
ideologi juga dikaitkan oleh Marx dengan alienasi. Seperti kata Bottomore dan
Rubel (1963:21): “Konsep Marx mengenai “kesadaran palsu” dan “ideologi”
berkaitan dengan konsep “alienasi”. Kesadaran palsu adalah kesadaran individu
yang timbul dalam keadaan alienasi, dan ideologi adalah sistem kepercayaan yang
dihasilkan oleh kesadaran palsu tadi.”
Jadi,
bisalah dikatakan bahwa ideologi sebagai satu sistem ide atau makna yang kita
berikan terhadap dunia, masyarakat atau manusia, terutama sekali dalam bidang
struktur politik. Sebagai satu contoh, ideologi kapitalis mungkin mengandung
unsur-unsur seperti, antara lain:
1)
Bekerja merupakan suatu yang baik dan
kemalasan adalah sebaliknya.
2)
Rajin dan berusaha biasanya mendatangkan
ganjaran dan keuntungan.
3)
Kemiskinan itu disebabkan oleh sifat malas
dan boros (Rahman, 2011).
Membicarakan
ideologi kapitalis adalah juga membicarakan ideologi modernis. Demikian karena
modernisme merupakan dasar dari kapitalisme. Lalu, bagaimanakah hubungan Islam
dengan modernisme?
Modernisme
Modernisme
adalah pemikiran, karakter, atau praktek modern. Sementara itu, modernitas,
dapat dicirikan, pertama, ia adalah
periode sejarah Eropa yang berentang dari sejak Reformasi sampai abad keduapuluh.
Kedua, ia merupakan kondisi kultural.
Selama periode modern, masyarakat Eropa mendapatkan ciri-ciri yang saling
berhubungan: secara ekonomi, terdapat pergeseran dari ekonomi agraris ke
industri; secara politik, institusi negara-bangsa mulai menggantikan kekuasaan
monarki, liberalisme dan sekularisme mendapatkan dukungan melawan kekuasaan
bangsawan dan gereja. Secara sosial, individualisme dan mobilitas sosial mulai
menggantikan keluarga dan komunitas, selain itu, teknologi mulai berperan
sangat penting dalam wilayah pribadi dan publik yang muncul. Secara filosofis,
Pencerahan rasionalisme dan empirisisme menjadi dominan; dalam ilmu,
metode-metode baru dari pengukuran eksak dan matematika terapan dibangun; dalam
seni, terdapat pergeseran dari seni patung ke naturalisme dan ekspressifisme;
dan dalam teologi, metode sejarah dan penekanan pada pengalaman beragama
menjadi diutamakan (Rahman, 2018).
Walhasil,
setiap aspek kehidupan manusia berubah dalam cara-cara yang sebelumnya tidak
pernah terbayangkan. Ketika kondisi-kondisi sedemikian itu muncul dalam sebuah
masyarakat, baik Eropa ataupun bukan, masyarakat tersebut dikatakan telah
menjadi modern. Di Eropa dan dimana saja, modernisasi telah ketemu dengan
dukungan yang antusias sekaligus juga penolakan. Pendukung optimis dari
modernisasi itu disebut kaum modernis.
Komunitas
modern (modern community) itulah mungkin cita-cita kaum modernis.
Modernisme ini betul-betul kompleks. Di sana ada individualisme yang
mengutamakan hak-hak individu yang melahirkan liberalisme di bidang politik,
kapitalisme di bidang ekonomi, dan reformisme di bidang agama (Kristen). Ideologi
ini disebut-sebut sebagai pembawa peradaban yang sangat hebat. Barat adalah
bukti konkretnya. Maka timbullah teori-teori modernisasi, mulai dari yang
bersifat psikologis seperti teori n-Ach-nya David McClelland sampai
teori pembangunan (developmentalisme) yang lebih mengutamakan proyek kolosal,
sebuah negara misalnya.
Kita
dapat perhatikan bahwa ideologi yang berkembang sejalan dengan sekularisasi di
Barat ini telah mendapat banyak dukungan teoretis dari para pemikir besar Barat
seperti Rousseau dan Adam Smith. Demikian sehingga dari kalangan umat Islam pun
ada yang berideologikan modernis ini, yaitu, misalnya, Muhammad Abduh dan
Sayyid Ahmad Khan.
Kita
pun melihat bahwa ideologi ini sangat laku di berbagai belahan bumi. Mayoritas
negara-negara di dunia mengikuti program pembangunan yang dilaksanakan di
Barat. Di Indonesia, program tersebut dilakukan selama kepemimpinan Presiden Soeharto.
Marxisme dan Umat Islam
Hubungan umat Islam dengan Marxisme
pun tidaklah selalu berlawanan (hostile).
Dalam sejarah, Marxisme pernah menjadi anutan negeri-negeri Muslim. Tak urung,
Indonesia pernah mempunyai Soekarno yang mengumandangkan NASAKOM (Nasionalis,
Agama dan Komunis) di mana unsur agamanya adalah Islam (lihat karangan
Soekarno, Nationalism, Islam, and Marxism).
Negeri lain yang mempunyai tekad sintesis yang sama adalah Mesir, yang
mempunyai Nasser yang menjalin hubungan dengan Uni Soviet yang begitu kental.
Iran juga pernah mencoba melakukan pemberontakan terhadap rezim Shah Reza
Pahlevi dengan energi komunisme nasionalis ala Mushadeq. Saddam Hussein yang
didukung partai sosialisnya, Baath, di Irak juga menjadi satu bukti hubungan
“bulan madu” umat Islam dan Marxisme. Sudan mempunyai Partai Komunis, Tunisia
mempunyai Islamic Progressive Tendency, dan seterusnya, dan seterusnya.
Tapi hubungan umat Islam dengan
sosialisme itu tidak selamanya mesra. Itu terbukti ketika umat Islam menemukan
revitalisasi Islam untuk sebuah spirit perjuangan. Dan Mesir sosialis pun
luntur. Memang Sadat telah melakukan penggantian idola dari Uni Soviet ke
Amerika Serikat. Tapi Sadat pun terbunuh, oleh kekuatan yang berideologi Islam.
Di Indonesia, dulu, komunisme mendapat tentangan keras dari Kelompok Masyumi
yang dimotori oleh Isa Anshari dengan gerakan Front Anti Komunisme-nya.
Nampaknya hubungan baik Islam dan
Sosialisme itu dilakukan ketika umat Islam ingin melepaskan diri dari belenggu
imperialisme yang bergaya Eropa, yang berideologi kapitalis. Maka mereka pun memerlukan
ideologi bandingannya, yaitu Sosialisme gaya Marxis. Lagi pula, dalam Islam,
elemen sosialisme itu cukup kental. Ini dapat dirunut dari perjuangan Nabi yang
membebaskan kaum lemah. Dan interpretasi sosialistik pun dapat merujuk pada hal
itu dengan semangat penerapan sosialisme yang menyala-nyala.
Namun, kini, setelah komunisme
tumbang, apa lagi yang perlu dijadikan rujukan? Yang jelas Barat tetap menjadi
hantu yang menakutkan, yang menjijikan jika perlu, untuk dijadikan rujukan.
Umat Islam perlu mandiri. Mereka harus punya rujukan yang genuine. Itulah mungkin yang selalu didengungkan di dunia Islam.
Sehingga, dalam menjawab tantangan zaman, umat Islam tidak hanya perlu untuk
melakukan imitasi penerimaan, tapi juga perlu untuk melakukan penolakan ideologi-ideologi
bikinan manusia (man-made) itu.
Lalu kenapa ada umat Islam yang
memilih Marxisme? Apa yang menjadi copy
right kaum Marxis adalah dimensi revolusioner-nya. Untuk negara-negara yang
sedang melakukan revolusi kemerdekaan, nampaknya ideologi ini cukup menarik
untuk diterapkan. Apalagi Uni Soviet selalu siap membantu bidang persenjataan
untuk melawan super power lawannya,
Barat dengan Amerika Serikat sebagai yang berada di garda depan. Tentu saja Uni
Soviet menginginkan hadiah berupa kesetiaan pada blok yang dipimpinnya. Sebuah
ongkos yang dibayarkan (cost) harus
mendapatkan imbalan manfaat yang bisa dipetik (benefit), begitulah kira-kira. Dan kaum Stalinis mempunyai jargon
yang diidam-idamkan Marx, suatu internasionalisme yang berbunyi: “Bersatulah
Kaum Buruh Sedunia” (lihat Manifesto Komunis). Begitulah pengaruh Marxisme
dalam politik dunia.
Dalam periode lebih kontemporer,
Marxisme merasuk pada teologi pembebasan (liberation
theology)-nya kaum Katolik di Amerika Latin. Melihat sukses kaum Neo-Marxian
religius di dunia Katolik itu, tak urung umat Islam banyak yang tertarik. Maka
teologi pembebasan pun dicari-cari legitimasinya dalam Islam. Muncullah
misalnya tafsir Islam pembebasan ala Ashgar Ali Engineer (India), Farid Essack
(Afrika Selatan), Hassan Hanafi (Mesir), Moeslim Abdurrahman (Indonesia), dsb.
Ini masih membuktikan bahwa ideologi revolusioner memang selalu menarik ketika
dunia sudah dianggap terlalu semrawut, tidak pasti, dan membingungkan. Dengan
ideologi ini dapatlah dikemukakan bagaimana cara untuk mengubah sistem sosial
yang sudah terlalu kronis. Ideologi ini bersifat perlawanan untuk sebuah
emansipasi manusia.
Biasanya para tokoh Islam sangat
mengecam Marxisme karena sifatnya yang materialis, yang dengan demikian tidak
memasukkan dimensi ketuhanan dalam sejarah manusia. Namun pengertian “agama
sebagai candu masyarakat” (opium des
Volkes) itu perlu dipahami secara kontekstual. Pertama, agama di situ tentu saja Kristen, konteks di mana kalimat
tadi dilontarkan Marx. Kedua, latar
belakang Marx berkata seperti itu karena agama memang sering membuai manusia
dengan janji bahwa akan ada surga di akhirat. Sementara Marx, menginginkan
masyarakat supaya yakin bahwa surga dapat dibuat di muka bumi. Di sinilah agama
menjadi penghalang ideologi yang dibuatnya. Maka, untuk menarik perhatian orang
tertumpah pada pengubahan situasi di muka bumi, Marx perlu menegasikan
(menolak) agama, dengan cara mengecamnya sebagai sesuatu yang Cuma digunakan
untuk menghibur diri: opium.
Jadi, bagi kaum agamawan yang tidak
membuat agama sebagai suatu pelipur lara saja, Marxisme tidaklah terlalu
bertentangan. Agama dan sosialisme revolusioner dapat sejalan. Di situlah
Marxisme mendapatkan dukungan dari sebagian kaum agamawan. Perlu dicatat pula
bahwa Marx selalu bilang bahwa siapa saja yang selalu sejalan dengan ideologi
kapitalis yang eksploitatif adalah sebangsa kaum kapitalis itu sendiri.
Nampaknya Marx mau menerapkan prinsip “man
tasyabbaha biqaumin fahua minhum” (barangsiapa yang menyerupai satu kaum,
maka mereka adalah kaum yang diserupai itu sendiri) di sini. Maka, kaum
agamawan yang tidak mau disegolongkan dengan kaum kapitalis serta merta perlu
melakukan penolakan atas ideologi kapitalis itu. Mereka dapat menemukannya
dalam kitab suci setelah membaca Marx dan menggunakan analisis Marxis dan
adapula yang membaca kitab dan sejarah Islam tanpa menggunakan analisis kelas
ala Marx.
Islam sebagai Ideologi
Jadi, bagi kaum agamawan yang tidak
membuat agama sebagai suatu pelipur lara saja, Marxisme tidaklah terlalu bertentangan.
Agama dan sosialisme revolusioner dapat sejalan. Di situlah Marxisme
mendapatkan dukungan dari sebagian kaum agamawan. Perlu dicatat pula bahwa Marx
selalu bilang bahwa siapa saja yang selalu sejalan dengan ideologi kapitalis
yang eksploitatif adalah sebangsa kaum kapitalis itu sendiri. Nampaknya Marx
mau menerapkan prinsip “man tasyabbaha
biqaumin fahua minhum” (barangsiapa yang menyerupai satu kaum, maka mereka
adalah kaum yang diserupai itu sendiri) di sini. Maka, kaum agamawan yang tidak
mau disegolongkan dengan kaum kapitalis serta merta perlu melakukan penolakan
atas ideologi kapitalis itu. Mereka dapat menemukannya dalam kitab suci setelah
membaca Marx dan menggunakan analisis Marxis dan adapula yang membaca kitab dan
sejarah Islam tanpa menggunakan analisis kelas ala Marx.
Di
atas sudah terlihat adanya dua ideologi yang saling bertentangan yang
menawarkan gagasan sosial dan politik bagi umat manusia. Bagi Qutb, Islam itu
berada pada persimpangan jalan. Disebabkan bunga bank, monopoli, eksploitasi,
dan ketidakadilan, Qutb menolak untuk melihat kapitalisme atau sistem kapitalis
sebagai model bagi Islam untuk diikuti dan diimitasi. Lebih jauh, kapitalisme
telah dikaitkan secara dekat dengan nasionalisme di mana negara-negara Barat
atas nama kepentingan nasional, merasa berhak untuk mengeksploitasi,
menginvasi, dan menduduki negara-negara lain di Timur Tengah, Asia, Afrika, dan
Amerika Latin. Pada sisi lain, walaupun Sosialisme dan Islam mengalami
perjumpaan pada poin-poin yang esensial seperti dalam mengadvokasi jaminan
standar-standar minimum dalam kehidupan, kerja, perumahan dan keadilan sosial,
namun sistem ekonomi Islam merupakan bagian integral dari Islam dan didasarkan
pada Tauhid (Qutb, 1981: 20).
Hal
itu dapat terlihat dari buku yang berpengaruh sebagai karya tafsir Sayyid Qutb,
Fi Zilal al-Qur’an (1952-1964). Buku ini mulanya adalah tulisan bulanan
pada majalah al-Muslimun, majalah yang disponsori oleh Ikhwan
al-Muslimin. Tulisan selama setahun (1952) akhirnya menjadi jilid pertama Fi
Zilal pada akhir tahun 1952. Antara tahun 1952 dan 1954 Qutb telah berhasil
menerbitkan empat belas juz tafsirnya. Dan akhirnya, dari tahun 1954 hingga
1964, di bawah kondisi siksaan di penjara, beliau menamatkan keseluruhan jilid Fi
Zilal (Yusuf, 1997: 88).
Keseluruhan
karakteristik Fi Zilal, adalah dimaksudkan untuk tujuan khusus yang ada
pada pikiran sang mufassir, yang selalu Qutb sebut dalam komentarnya. Tujuannya
adalah bahwa al-Qur’an itu dimaksudkan untuk dipahami oleh semua dan terutama
oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab dakwah, yaitu amr bi al-ma ‘ruf dan nahy ‘an al-munkar,
suatu tanggung jawab yang sangat diperlukan jika manusia menginginkan untuk
membuat kemajuan baik spiritual maupun material selama hidupnya yang singkat di
planet ini (Rahman, 2014).
Karena
untuk tujuan dakwah itulah maka tidak mengherankan jika dalam tafsirnya, Qutb
menghindari masalah-masalah kontroversial seperti masalah-masalah teologi dan
fiqh yang rumit ataupun cerita-cerita israiliyyat. Dalam masalah fiqh,
misalnya, Qutb menghindari pencarian ‘illat (alasan hukum) yang terdapat
dalam suatu ketentuan syara‘, misalnya mengapa bangkai diharamkan. Qutb (1971:
VI-840) mengatakan bahwa yang tahu ‘illat penetapan hukum hanyalah
Allah. Sejauh yang bisa kita lakukan hanya memikirkan hikmahnya, yang dalam
melakukannya kita masih tetap dalam lingkungan praduga.
Qutb
menghindari permasalahan-permasalahan detail keagamaan beralasan karena jika
terlibat dengan masalah-masalah itu, pesan Islam yang utama, yaitu da’wa
akan terhalangi, demikian Qutb (1971: XV-2277-8). Apa yang terutama
diketengahkan oleh Qutb adalah tentang bagaimana nikmatnya hidup di bawah
naungan al-Qur’an, yang seringkali ia sebut sebagai suatu metode ketuhanan (minhaj
rabbani).
Ma‘alim
fi al-Tariq
(Petunjuk Jalan) (1964), adalah pamflet perjuangan gerakan Islam modern yang
mungkin dapat disamakan dengan pamphletnya Marx dan Engels, The Communist
Manifesto sebagai pamflet perjuangan gerakan kaum ploretar dunia (Shepard,
2003: 535). Buku terakhir Qutb ini berisi beberapa surat Qutb yang dikirimkan
dari penjara dan beberapa bagian penting dari Fi Zilal al-Qur’an. Ia
merepresentasikan ringkasan yang padat dan kuat dari ide-ide utama Sayyid Qutb:
tabiat jahili dari masyarakat, pemerintahan dan budaya yang ada, dan program
jangka-panjang yang dibutuhkan untuk pembangunan tatanan Islam.
Dalam
Ma‘alim fi al-Tariq, niatan Qutb adalah menciptakan masyarakat baru. Ini
karena menurutnya, masyarakat sekarang adalah masyarakat jahiliyyah,
sama seperti halnya pada masa lahirnya Islam dulu. “Keseluruhan lingkungan
kita, kepercayaan dan ide-ide masyarakat, kebiasaan dan seni, aturan dan hukum
semuanya jahiliyyah, bahkan pada apa yang kita anggap budaya Islam,
sumber Islam, filsafat Islam, dan pemikiran Islam juga membentuk jahiliyyah,”
demikian Qutb (1981: 21).
Menurut
Ma‘alim, masyarakat baru itu akan diciptakan oleh suatu gerakan Islam
yang aktif yang membawakan pesan Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh
generasi pertama sahabat, suatu generasi Islam yang memisahkan diri mereka dari
masyarakat jahili dan kemudian menciptakan masyarakat baru, masyarakat Islam.
Khulashah
Apabila kita melihat sumber ideologi
Islam, didapatkan bahwa Islam itu modern. Islam itu pro-keilmuan, pro-kemajuan,
pro-prestasi, berorientasi kerja, bersifat logis, kritis, kreatif, dan
inovatif, dll. Apa yang dapat Islam kritik pada modernisme itu adalah bahwa
modernisme telah melahirkan dehumanisasi pada ideologi turunannya, yaitu
kapitalisme. Padahal, Islam itu memuliakan manusia, baik yang kaya maupun yang
miskin; Islam itu pro-keadilan sosial; Islam itu menolak penindasan, dll.
Sementara itu, dapatlah diakui bahwa
Marx telah mencoba melakukan perlawanan terhadap modernisme kapitalistik. Dan
karya-karya Marx terbukti sangat berguna bagi rujukan gerakan sosial. Akan
lebih enak jika kemudian kita dapat mempelajarinya dengan menjadikannya sebagai
teks-teks yang terbuka. Sebab, tanpa keterbukaan menafsirkan teks, kaum
Sosialis-Marxis akan gagal menunjukkan kehebatan ideologi mereka, sebab
terbelenggu oleh kekakuan interpretatif. Begitupun, tanpa keterbukaan menerima
kritik dari pihak lain, kaum agamawan dapat ditinggalkan umatnya. Sang umat
akan mengambil ideologi bikinan manusia sebagai sebuah doktrin yang dapat
menyelamatkan kehidupannya.
Padahal, demikian Qutb, Islam itulah
yang secara kosmologis menawarkan keselamatan. Maka, harus dicatat bahwa bagi
umat Islam, apapun ideologi yang ditawarkan dunia, tidak boleh meninggalkan hal
prinsip. Yaitu, semua harus berdasarkan bimbingan wahyu Tuhan dan contoh
Nabinya, disertai dengan penyesuaian-penyesuaian pengalaman.
Demikian karena, dalam Islam, hukum
Tuhan telah mencakup baik hukum dunia maupun hukum agama. Oleh karena itu,
ketaatan pada hukum adalah totalitas, yaitu mendatangkan kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat. Perubahan-perubahan dalam hukum, pada dasarnya, bersifat
tidak ada. Penyesuaian dengan kebutuhan manusia dalam hal teknis diakui, tetapi
bukan dalam hal doktrin.
DAFTAR
PUSTAKA
Ardalan, Kavous. "Ideology: A Multi-paradigmatic Approach." Journal of Interdisciplinary Economics 31, no. 2 (2019): 124-142.
Aron, Raymond. The opium of the intellectuals. Routledge, 2017.
Bottomore, Tom B., and Maximilien
Rubel. Selected writings in sociology
and social philosophy. Harmondsworth, Eng.: Penguin Books, 1963.
Qutb, Sayyid. Ma‘alim fi al-Tariq, Kairo: Dar al-Shuruq, 1981.
Qutb, Sayyid. Fi Zilal Al-Quran, Beirut: Dār Ihya al-Turath al-‘Araby, 1971.
Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial. 2011. Bandung: Ibnu Sina Press.
Rahman, M. Taufiq. Pengantar filsafat sosial. 2018. Bandung: Lekkas.
Rahman, M. Taufiq. Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John Rawls's and Sayyid Qutb's Theories. Scholars' Press, 2014.
Shepard, William E. “Sayyid Qutb’s Doctrine of Jahiliyya”, International Journal of Middle East Studies, no. 35, (2003): 521-545.
Yusuf, Badmas ‘Lanre. “The History of Fi Zilalil-Qur’an”, The Islamic Quarterly, Vol. 41, No. 2, Second Quarter, (1997), 85-108.
Aron, Raymond. The opium of the intellectuals. Routledge, 2017.
Baudrillard, Jean. For a Critique of the
Political Economy of the Sign. Verso, 2019.
Qutb, Sayyid. Ma‘alim fi al-Tariq, Kairo: Dar al-Shuruq, 1981.
Qutb, Sayyid. Fi Zilal Al-Quran, Beirut: Dār Ihya al-Turath al-‘Araby, 1971.
Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial. 2011. Bandung: Ibnu Sina Press.
Rahman, M. Taufiq. Pengantar filsafat sosial. 2018. Bandung: Lekkas.
Rahman, M. Taufiq. Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John Rawls's and Sayyid Qutb's Theories. Scholars' Press, 2014.
Shepard, William E. “Sayyid Qutb’s Doctrine of Jahiliyya”, International Journal of Middle East Studies, no. 35, (2003): 521-545.
Yusuf, Badmas ‘Lanre. “The History of Fi Zilalil-Qur’an”, The Islamic Quarterly, Vol. 41, No. 2, Second Quarter, (1997), 85-108.
nurna041205@gmail.com
BalasHapusNurnaningsih_S3_RS_NIM 3190310021
ISLAM SEBAGAI ENTITAS POLITIK
Islam diakui sbg agama yg memiliki hukum yg kuat utk akhirnya publikasi nya dianggap sbg politik yg diakui para penganutnya
Bukti Islam ada di kenegaraan salah satunya munculnya partai2 politik berbasis Islam bahkan adanya Majelis Ulama Indonesia yg salah satunya mengatur hukum2 Islam. Islam sbg entitas politik sudah sangat melekat dlm jiwa masing2 pemeluknya.
Pertanyaannya sejauh mana umat Islam secara syariat diperbolehkan dlm pertarungan politik? Sementara Qt mengetahui dg jelas rezim yg terjadi saat ini sangat tdk memihak politik Islam. Bukankah " meninggalkan kerusakan lebih utama drpd mengambil kemanfaatan"?