HMI Senior, HMI Junior dan Kritik Identitas Masa Kini



Oleh: Pipin Lukmanul Hakim (Wasekbid Pendidikan dan Pelatihan, Badan Koordinasi Nasional LAPMI PB HMI 2018-2020; pipinlukmanul@gmail.com)

Berbicara tentang HMI mestinya menjadi sebuah pembahasan penting dan itu selalu dijadikan sebuah progresifitas, terutama para anggota dan yang berafiliasi dengannya. Tentu saja, karena dalam sejarahnya, HMI dikenal oleh kawula muda maupun orang tua. Bagaimana bisa seperti itu? Walaupun hanya sebuah romansa sejarah, semuanya mesti dihidup-hidupkan oleh kader-kadernya dalam materi Sejarah Perjuangan HMI (SPH). Dan itu, tidak pernah lekang oleh waktu, tidak usang di makan zaman, kisah tersebut selalu menjadi sebuah bumbu pelengkap pada ajang rekrutmen kader.

Namun demikian, perlu otokritik yang pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk melakukan perubahan budaya dalam suatu komunitas masyarakat, golongan, keluarga, organisasi maupun lembaga dengan melakukan kritik yang dilakukan oleh anggota dari dan untuk kelompok itu sendiri.
Maka dari itu, tulisan ini yang berupa sebuah kegelisahan anggotanya sesaat melihat dan menganalisis HMI – dahulu dan kini – ini bukan merupakan suatu yang jijik. Bahkan suatu hal ini merupakan bagian dari evaluasi terhadap diri sendiri terkhusus dan umumnya bagi semua anggota HMI.
HMI diketahui merupakan bagian terpenting dalam menyongsong kemerdekaan. Kala itu HMI ikut serta dalam menumpas pemberontakan PKI. Dan organisasi ini pula ikut andil dalam pembangunan Negara Indonesia pada masa Orde Baru hingga Reformasi. Begitu mesranya HMI dengan Orde Baru sampai akhirnya memunculkan HMI Majelis Penyelamat Organisasi (MPO). Dua HMI ini yang diketahui yaitu HMI Dipo dan HMI MPO masih ada hingga saat ini. Friksi ini terjadi karena orang-orang HMI yang memutuskan untuk memecah organisasinya tersebut. Karena Dipo menganggap suatu keberhasilan dalam mengarungi Orde Baru dan berhasil menumbangkan Orde Lama adalah menjadi suatu peluang kedekatan dengan birokrasi dan sistem pemerintahan. Namun berbeda dengan MPO yang memilih jalannya yang memegang teguh berdiri independen, dengan tetap menjaga jarak dengan birokrasi dan sistem pemeritahan.
Tetapi ini bukan hanya kisah romansa sejarah yang di jalani HMI. Melainkan ini juga sebuah temuan dan dirasakan oleh anggotanya sendiri. Tidak bermaksud untuk memojokkan HMI pada suatu kekurangan, karena semua tahu  bahwa HMI ini ialah benda mati. Namun di dalam HMI ini terdapat orang-orang yang hidup, dan beberapa oknum yang memaknai dirinya sendiri dan merasa paling senior. Bahkan mengenalkan dirinya menjadi salah seorang yang merasa lebih tahu dan memahami tentang apapun yang wajib dipelajari oleh anggota HMI.
Senioritas ini yang merupakan bagian dari kehidupan berkelompok itu tentu akan ada. Namun selalu disalahartikan dan bertindak dengan kewenangan hasrat pribadinya. Bahkan lebih dari itu, dirinya selalu merasa lebih berjasa terhadap sesuatu yang dapat dilaksanakan oleh juniornya dan sukses demi mewujudkan keinginannya dengan iming-iming demi perkaderan. Sehingga secara tidak langsung atau otomatis oknum senior itu menjadi sebuah locus kepatuhan atas segala saran instruksinya yang belum tentu bisa dianalisis dibalik kebaikannya dengan alasan demi perkaderan. Patutnya seorang anggota HMI dalam menjalani kehidupan dalam berkelompok itu bukan mendewakan seseorang yang diakui, bahkan mengakui dirinya sebagai salah seorang yang segalanya mengatakan mampu.
Biasanya oknum seperti itu bisa kita temui usai dirinya melakukan training di LK 2 dan atau menjadi salah satu pengurus cabang. Namun tidak sampai itu saja, bahkan ada pula yang merasa seperti itu pada tingkat yang sudah lebih tinggi, yaitu saat dirinya mendapat amanah di Badan Koordinasi (Badko) hingga Pengurus Besar (PB) atau sudah tidak memiliki jabatan apapun. Namun masih selalu saja ada oknum yang merasa dan memaknai dirinya sebagai yang lebih tahu dan paham betul tentang HMI. Padahal sebenarnya nihil, hanya saja dirinya memiliki keahlian komunikatif dan pandai dalam mempengaruhi seseorang. Hanya butuh sebuah pengakuan saja untuk keberadaannya tersebut.
Sudah harusnya semua anggota HMI sadar betul dan mampu menilai agar menanggalkan oknum senior tersebut. Bukan berarti seorang anggota HMI tidak memerlukan arahan atau suatu upgrading dari para pendahulunya. Sebab itu, bisa jadi menjadi sebuah acuan untuk bergerak progress dalam organisasi, namun harus kita ketahui lebih jauh: mana senior yang benar-benar memberikan materi yang baik dan mana yang sekedar hanya berucap besar. Dalam hal itu pula tidak bisa di generalisir, sama-sama harus kita ketahui ada yang dinamakan Alumni secara kultur. Sedangkan senior ini hanya sebuah sebutan saja dan umum pada biasanya lalu menjadi sosio kultur.
Kemudian seketika berbicara tentang perkaderan senior ini tidak lahir sendiri melainkan dilahirkan oleh sebuah julukan umum yang menjadi terbiasa. Sehingga oknum yang dianggap sebagai senior itu bisa semena-semena mengarahkan dengan sebuah instruksi untuk melakukan suatu hal yang belum tentu itu benar. Yang terpenting dirinya berhasil dalam mengarahkan juniornya untuk melakukan hal yang belum tentu penting itu.
Perlu kita semua sadari bilamana kita berbicara dari sudut perkaderan di HMI. Tentunya anggota yang memiliki keistimewaan berkesempatan menjadi seorang instruktur atau telah mengikuti jenjang training di Badan Pengelola Latihan (BPL). Senantiasa lebih bijaksana dalam menanggapi hal-hal yang terjadi, namun bukan menjadi seseorang yang diam lalu merasa tidak tahu apa-apa. Malah justru itu menjadi sebuah tanggungjawabnya dalam melalukan perubahan dan berupaya membina kader (anggota HMI). Karena dalam setiap jenjang training di HMI, mulai dari LK 1, LK 2 dan LK 3 kini semata-mata hanya untuk melanjutkan orientasi kedudukan jabatan saja. Sebab itu harus ada dari satu lini HMI yang mampu menjadikan tujuan training sebagai suatu pengabdian dan menempa potensi diri.
Jikalau sudah lupa harus seperti apa berkehidupan di HMI ini, maka jangan pernah lupa dengan satu bundel hasil kongres maupun pedoman-pedoman lainnya. Karena untuk apa diperbaharui setiap dua tahun sekali jika tidak pergunakan dengan semestinya. Ataukah karena sudah berubah orientasi dan kepentingan, maka hal apapun menjadi sebuah formalitas. Jika memang seperti itu maka sia-sia saja berorganisasi. Dan kini sepertinya HMI ini melorot dari segi kawah candradimuka seperti kajian konseptual, dan kajian intelektual itu seperti lenyap. Hanya saja kader HMI ini tidak pernah terlihat bodoh karena hebat beralibi dan berwacana.
HMI kini sudah tidak semenarik dahulu jujur saja jika dilihat dari luar, tetapi jika dilihat dari dalam sebenarnya HMI ini organisasi unik dan menarik. Segala hal diatur dengan teratur, namun kini terlalu banyak oknum yang memanfaatkan ke-beken-an nama HMI untuk mendapatkan posisi nyaman dalam melanggengkan kepentingan pribadinya. Dengan demikian apakah HMI sudah pantas untuk dibubarkan dan siapa yang berhak untuk membubarkannya?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020