Review atas Toleransi Keagamaan
Dody S. Truna
Batas Toleransi dan Identitas Kelompok
Menurut pandangan Dr. Dody, keragaman agama atau keyakinan memiliki garis batas masing-masing yang harus diakui dan dihormati. Keberadaan garis pemisah tersebut harus diakui dan setiap orang tidak dapat memaksakan orang lain untuk menghapus garis pemisah dan menerobos ke ruang keyakinan orang lain. Mengabaikan batas akan mengaburkan dan bahkan memadamkan karakteristik khusus agama, mengubah identitasnya, dan mungkin mengancam keberadaannya. Sebaliknya, menjaga batas-batas, memahami perbedaan dan garis pemisah antara satu agama dengan agama yang lain justru menegaskan eksistensi agama itu sendiri.
Batas Toleransi dan Identitas Kelompok
Menurut pandangan Dr. Dody, keragaman agama atau keyakinan memiliki garis batas masing-masing yang harus diakui dan dihormati. Keberadaan garis pemisah tersebut harus diakui dan setiap orang tidak dapat memaksakan orang lain untuk menghapus garis pemisah dan menerobos ke ruang keyakinan orang lain. Mengabaikan batas akan mengaburkan dan bahkan memadamkan karakteristik khusus agama, mengubah identitasnya, dan mungkin mengancam keberadaannya. Sebaliknya, menjaga batas-batas, memahami perbedaan dan garis pemisah antara satu agama dengan agama yang lain justru menegaskan eksistensi agama itu sendiri.
A. Toleransi dan Batas-batasnya
Toleransi adalah "the
disposition to be patient with or indulgent to the opinion or practices of
others, freedom from bigotry or other undue severity in judging the conduct of
others."[1]
Toleransi beragama dipahami sebagai sikap seseorang untuk menerima perbedaan
pandangan, keyakinan, dan praktek atau prilaku sambil pada saat yang sama menangguhkan
penilaian, serta pemahaman mengapa orang lain memiliki keyakinan dan melakukan
praktek keagamaan atau berperilaku tertentu yang berbeda dengan yang
dilakukannya. Ia juga memberi peluang kepada mereka yang berbeda itu untuk
mengekspresikan pengalaman religius mereka tanpa gangguan atau ancaman. Suatu
kelompok masyarakat yang terdiri dari beragam latar belakang sosial dan
budaya dituntut untuk membangun semangat toleransi di antara para anggotanya.
Corak pemikiran keagamaan setiap
orang berpengaruh terhadap pemahamannya tentang konsep toleransi. Seorang
pendukung pluralisme agama dan multikulturalisme meyakini bahwa toleransi adalah
sesuatu yang mulia (tolerance is a
virtue)[2]
dan karenanya ia harus dikembangkan seluas-luasnya. Menurut Yong Ohoitimur,
“toleransi mendorong usaha menahan diri untuk tidak mengancam atau merusak
hubungan dengan orang beragama lain. Agama lain tidak dilihat sebagai ancaman,
melainkan sebagai pandangan atau jalan hidup yang mengandung kebaikan dan
kebenaran walaupun belum sempurna. Karena kandungan kebenaran dan kebaikan itu,
agama lain dibiarkan hidup.[3]
Tanpa bermaksud menyangkal pandangan
para pluralis, kelompok yang menolak pluralisme agama menegaskan bahwa memang
ada toleransi dalam Islam; akan tetapi, toleransi dalam Islam mengenal
batas-batas yang jelas yang diatur dan dikehendaki oleh syari’at Islam.
Batas-batas itu pun tentu tidak sama antar satu pendapat dengan pendapat yang
lain. Hal ini amat bergantung kepada interpretasi mereka terhadap ajaran Islam
yang mengatur masalah toleransi dan batas-batasnya. Batas-batas tersebut
misalnya sebagaimana yang dikemukakan dalam al-Qur’an Surat al-Mumtahamah
ayat 8. Pada beberapa pernyataan lainnya dalam kitab suci al-Qur’an ada pula
ditegaskan batasan-batasan yang berkaitan dengan interaksi antar kelompok
berbeda agama, perkawinan antar pemeluk berbeda agama, mengangkat pemimpin
bagi umat Islam, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian terdahulu. Dalam
sejarah Nabi Saw., beliau berhenti berjalan dan diam berdiri tatkala ada jenazah
orang Yahudi diusung melewati beliau, tetapi beliau tidak berdo’a, shalat
jenazah, atau mengantar ke kuburan. Sebuah hadits juga menegaskan tentang
hak-hak pertentanggaan yang di sana terdapat perbedaan hak antar tetangga Muslim
dan tetangga nonMuslim.[4]
Di suatu tempat di lingkungan Pecinan, saya juga pernah ditegur dan dilarang
masuk ke suatu kompleks tempat ritual untuk beribadat karena saya tidak
seagama dengan mereka.
Hal ini jelas bahwa keragaman agama
atau keyakinan memiliki garis batas masing-masing yang harus diakui dan
dihormati. Keberadaan garis pemisah ini harus diakui dan setiap orang tidak
dapat memaksakan orang lain untuk menghapus garis pemisah ini dan menerobos
ke ruang keyakinan orang lain (passing over). Mengabaikan batas akan
mengaburkan dan bahkan memadamkan karakteristik khusus agama, mengubah identitasnya,
dan mungkin mengancam keberadaannya. Sebaliknya, menjaga batas-batas,
memahami perbedaan dan garis pemisah antara satu agama dengan agama yang
lain justru menegaskan eksistensi agama itu sendiri. Mengenai pentingnya
dibangun batas-batas toleransi tersebut tercermin dari kekhawatiran Ubed
Abdillah S. terhadap toleransi yang tanpa batas. Dalam hal ini ia
menjelaskan bahwa,
Politik toleransi dalam wacana
postmodernisme lebih mendekati pada politik
permisifisme, gaya hidup serba boleh, membiarkan perbedaan yang ada muncul
dan membangun wacananya sendiri. Terjadi proses dialogis yang mempengaruhi proses transkulturasi dan
pembentukan identitas baru, termasuk penyimpangan identitas.[5]
Meski demikian, tentu saja, seorang
pemeluk agama tidak harus hidup dalam isolasi dan keterasingan. Dia harus
berinteraksi dengan orang lain. Namun, dia juga harus mengenali batas-batas
toleransi dalam interaksi dan mampu mempertahankan dan menegakkan imannya
dalam interaksi dengan penganut agama yang berbeda. Mohammed Fathi Osman
menyatakan:
Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa Tuhan
dan ajaran-Nya haruslah diletakkan di
atas setiap kepatuhan kepada kelompok atau wilayah tertentu. Namun demikian,
sejauh prinsip ini diamati, kepatuhan kepada keluarga seseorang dan himpunan
manusia lainnya dan kepada tanah air seseorang diperkenankan (9: 24) karena
kaum muslim hidup dalam kelompok-kelompok yang lebih luas dan dalam
wilayah-wilayah di mana mereka dapat tumbuh berkembang dan mereka harus hidup
dengan agama-agama dan sekte-sekte lain.[6]
Dalam melakukan upaya seperti ini
orang beragama harus mengakui dan menegaskan batas-batas interaksi dengan
pemeluk agama lain. Hal ini penting untuk membangun interaksi produktif antara
kelompok-kelompok yang memiliki karakteristik yang berbeda. Menegaskan batas
toleransi tidak berarti menciptakan intoleransi hanya karena mereka tidak
bisa menerima beberapa bentuk keyakinan dan praktek atau tindakan orang yang
beragama berbeda. Sebaliknya, mengembangkan batas toleransi adalah penegasan
toleransi dalam arti "Neither accepting nor condoning others' belief
or action. Non-acceptance of others is not equivalent to intolerance."[7]
Dalam kesadaran seperti ini, agama bisa membangun interaksi produktif dan berbagi beberapa komitmen, meskipun tidak
semua. Martin E. Marty menekankan pada civic pluralism sebagai,
The creative interaction among people
who may share some religious commitments but not all, whose stories are
incommensurable, cannot wait for answers that are finally satisfying to the
philosopher. They have to live “in the meantime, “ seeking civil peace and just
societies among those who are different because they came as strangers, and
thus as menaces, to each other – but who, by practicing “counter-intolerance” and
hospitality, made it possible to minimize conflict and produce works of civil
value.[8]
Sikap toleran dan kesadaran terhadap
batas-batas toleransi menurut Islam tercermin dari pandangan para dosen
penulis buku Pendidikan Agama Islam (PAI) di perguruan tinggi. Mereka setuju
bahwa toleransi dalam bermuamalah dalam batas-batas tertentu perlu dipelihara
dan dikembangkan, umat Islam harus bertindak adil terhadap non-Muslim,
membiarkan mereka menjalankan kewajiban agamanya, mendirikan tempat ibadah,
menjalankan hukum agamanya secara khusus. Akan tetapi, ada juga batas-batas
yang tidak boleh ditembus. Misalnya, dalam Islam tidak ada toleransi dalam
aspek teologis (akidah) dan dalam aspek ibadah ritual,
sementara dalam berinteraksi antara Muslim non-Muslim terdapat batas-batas yang
dibangun untuk menjaga kemuliaan, kemerdekaan, dan kebebasan internal
masing-masing agama.
Realitas ini tidak boleh menjadikan
manusia berputus asa untuk tetap membangun toleransi dalam koridor yang diatur
oleh masing-masing agama dan telah disepakati bersama antar anggota masyarakat.
Batas-batas yang dibangun oleh masing-masing agama, justru untuk memberikan
kebebasan kepada mereka dalam lingkup yang telah diatur tersebut. Fathi Osman,
mengutip Rescher, mengingatkan kepada orang yang tidak mau menerima realitas
keberbedaan dan overoptimistic terhadap kesatuan agama-agama, bahwa
“Ajakan pendekatan mufakat kepada kebenaran ialah mudah dimengerti. Tetapi, kepraktisannya (prakteknya/penerapannya,
Penulis) adalah hal lain”. Rescher sampai kepada kesimpulan: “mufakat
adalah tidak adanya jalan yang bebas menuju kebenaran, dan tidak adanya pengganti
kriteria yang obyektif”.[9]
Pembatasan juga diperlukan terhadap
hak kebebasan beragama, meskipun hak kebebasan tersebut dilindungi oleh UUD 1945 maupun UDHR. Pembatasan
diperlukan untuk membangun keseimbangan antara hak untuk mengajarkan agama dan
hak orang lain untuk tidak dilanggar forum internum-nya. Terdapat
beberapa dasar untuk pembatasan dengan
merujuk kepada beberapa yurisprudensi tertentu, yaitu:
1.
Pembatasan demi perlindungan keamanan
publik;
2.
Pembatasan untuk melindungi
tatanan/ketertiban publik;
3.
Pembatasan dalam rangka perlindungan
kesehatan publik;
4.
Pembatasan dalam rangka perlindungan
moral;
5.
Pembatasan demi melindungi hak-hak
dan kebebasan fundamental orang lain;[10]
Butir-butir di atas menunjukkan bahwa
ada batas-batas yang perlu dibangun dalam konsep toleransi dan diatur dalam
bentuk legislasi yang melindungi kepentingan publik dan rasa aman pada orang
lain,[11]
sehingga dalam hal ini intervensi pemerintah sangat dimungkinkan.
B. Identitas
Kelompok
Tajfel
dalam Hogg (1988), sebagaimana dikutip Ardiningtiyas Pitaloka, menyatakan bahwa pada setiap
individu melekat berbagai identitas, tidak hanya identitas personal yang
membedakan individu A dengan individu B. Keduanya juga memiliki identitas lain
yakni identitas sosial, misalnya sebagai laki-laki, mahasiswa, lurah, atau identitas
etnis bahkan kebangsaan. Identitas ini menunjukkan adanya perasaan memiliki
pada suatu kelompok sosial, dan melibatkan emosi dan nilai-nilai signifikan pada
diri individu terhadap kelompok tersebut. Dalam identitas sosial, individu
dipacu untuk meraih identitas positif kelompoknya. Dan dengan
demikian, hal ini juga akan meningkatkan harga diri (self-esteem) individu
sebagai anggota kelompok.[12]
Konsep identitas sering digunakan
untuk menggambarkan konsep tentang pengetahuan dan/atau perasaan individu
tentang siapa dirinya. Identitas adalah suatu mekanisme individu untuk mempertahankan
keberlangsungan diri melalui susunan informasi yang teratur tentang dirinya.
Pengukurannya dilakukan berdasarkan pernyataan yang disampaikan individu
sendiri maupun pengaturan dalam kategori sosial, seperti jenis kelamin, usia,
dan ras.[13]
Di sisi lain, ada istilah konsep diri (self-concept). Konsep diri
adalah fenomena kognitif yang terdiri atas serangkaian sikap yang diyakini
oleh seorang individu tentang dirinya sendiri. Identitas mendefinisikan siapa
orang tersebut, sedangkan konsep diri mengacu pada refleksi individu tentang
identitasnya itu. Ada dua sumber utama identitas seorang individu: (1) Peran
sosial yang merupakan definisi bersama terhadap suatu perilaku tertentu, dan
(2) Sejarah kehidupan individu. Setiap individu akan mendasarkan konsep
identitas diri masing-masing kepada dua sumber tersebut.
Di samping konsep identitas individu,
ada pula konsep identias sosial, untuk menunjuk kepada suatu kelompok sosial,
kelompok etnis, atau kelompok lainnya dengan latar sosial budaya tertentu.
Konsep identitas sosial mengacu pada bagaimana orang lain mengidentifikasi
seseorang berdasarkan kategori sosial
atau atribut tertentu, seperti pekerjaan usia, atau etnis.[14]
Identitas sosial, seperti juga konsep diri, sebagian besarnya didasarkan
kepada peran sosial. Pada yang pertama, orang lain menentukan perilaku yang
sesuai bagi individu dalam peran tersebut, dan pada yang kedua individu menginternalisasi
definisi ini untuk membentuk bagian konsep dirinya. Identitas dibangun
melalui serangkaian identifikasi. Sebagaimana dikatakan Erikson,
"identitas bukanlah penjumlahan dari identifikasi pada masa kanak-kanak,
melainkan kombinasi baru dari fragmen-fragmen identifikasi lama dan baru.[15]
Arnold Dashefsky mendefinisikan
identifikasi kelompok sebagai sikap yang mengindikasikan keterikatan pribadi
untuk kelompok dan orientasi positif untuk menjadi anggota kelompok. Oleh
karena itu, identifikasi kelompok etnis terjadi ketika kelompok yang dimaksud
adalah kelompok yang diyakini si individu bahwa ia memiliki nenek moyang yang
sama berdasarkan karakteristik individu dan atau pengalaman sosial budaya
bersama. Kelompok tersebut dapat dilihat oleh anggota dan atau oleh orang lain
sebagai agama, ras, kebangsaan, bahasa, atau geografis. Singkatnya, dapat
disimpulkan bahwa identifikasi etnis adalah proses, seperti dikatakan Gregory
Stone, dan produk, sebagimana ditekankan oleh Bernard Rosen.[16]
C. Batas Toleransi dan Identitas Kelompok
Dalam proses interaksi, suatu
kelompok akan membangun batas-batas interaksi dan batas-batas toleransi untuk
tujuan memelihara dan mempertahankan ciri, identitas, dan eksistensi kelompoknya. Data dalam
Tabel 1 adalah contoh yang menunjukkan fenomena sikap dan pandangan penulis
buku ajar PAI, sebagai agregat eksklusif kelompok Islam, terhadap pluralitas
agama dengan berbagai implikasinya dan upaya mereka membangun batas-batas
interaksi tersebut sehingga tidak mengancam identitas dan eksistensi
kelompok eksklusif masing-masing.[17]
Tabel
1: Pluralitas Agama, Toleransi, dan Batas-Batasnya
Pluralitas
Agama dan Toleransi
|
Kecenderungan
|
a.
Pluralitas agama sebagai
Sunnatullah
|
Menyatakan
kesepahamannya tentang realitas multikultur sebagai sunnatullah
|
b.
Menyamadudukan semua Agama
|
Menyamadudukkan
semua agama adalah sinkretik
|
c.
Keaslian Kitab suci agama non-Islam
|
Tidak
mengakui keaslian Kitab-kitab agama
non-Islam karena sudah ada campur tangan manusia.
|
d.
Status non-Muslim adalah kafir
|
Membeda-bedakan
status manusia dari agamanya. Non-Muslim adalah “kafir” dan masuk neraka
|
e.
Doktrin trinitas
|
Menyatakan
doktrin trinitas sebagai suatu penyimpangan Tauhid.
|
f.
Fenomena aliran sesat
|
Menyatakan
aliran-aliran baru memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan mainstream
Islam sebagai aliran sesat.
|
g.
Pahala bagi amal baik non-Muslim
|
Menyatakan
bahwa amal baik non-Muslim itu sia-sia saja di hadapan
Allah.
|
h.
Hak ahli waris berbeda agama
|
Menyatakan
bahwa ahli waris yang berbeda
agama kehilangan hak warisnya.
|
i.
Perkawinan beda agama
|
Mengharamkan
perkawinan antar pemeluk berbeda agama
|
j.
Toleransi dalam muamalah (hubungan antar sesama umat manusia)
|
Terdapat
kesamaan sikap dan pandangannya
tentang pentingnya memelihara toleransi dalam aspek-aspek mu’amalah antar
sesama manusia, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam
aspek-aspek yang lebih spesifik.
|
k.
Toleransi dalam aqidah
|
Menyatakan
bahwa tidak ada toleransi dalam hal aqidah.
|
l.
Non-Muslim sebagai pemimpin
|
Menegaskan
bahwa salah satu syarat pemimpin
umat Islam adalah Muslim.
|
Para penulis buku tersebut menegaskan
bahwa pluralisme agama di antara umat manusia tidak terelakkan lagi. Bahkan itu telah merupakan sunnah
Tuhan (sunnatullah). Islam mengakui eksistensi dan hak hidup agama-agama
lain; dan membiarkan para pemeluk agama-agama lain untuk menjalankan
ajaran-ajaran agama masing-masing. Namun jelas, pembiaran bukan berarti
pembenaran, sehingga meskipun pluralitas diakui sebagai sebuah realitas
dalam masyarakat, secara implisit para penulis buku tersebut mengisyaratkan
perbedaan kedudukan agama Islam dari agama lainnya dengan menyatakan bahwa
agama Islam sebagai satu-satunya agama yang benar. Salah seorang penulis
bahkan menyatakan tidak bolehnya menyamakan
antara semua agama karena hal itu merupakan sikap sinkretik.
Para penulis menegaskan pandangan
eksklusifnya karena doktrin trinitas merupakan penyimpangan terhadap
ajaran Tauhid, maka penganutnya dikategorikan kafir. Semua
aliran dan agama yang menyimpang dari ajaran Tauhid dipandang sebagai aliran
sesat. Aliran-aliran baru yang kini sangat marak di Indonesia, baik yang mengajarkan
ajaran baru, mengaku nabi baru, maupun mengaku tuhan atau titisan tuhan, semuanya
dikategorikan sebagai aliran sesat karena berbeda dengan mainstream teologi
Islam yang selama ini diakui. Implikasi lebih jauh dari aspek teologis ini adalah terhadap beberapa
aspek dalam hukum Islam, misalnya
terhadap hak waris dan perkawinan.
Para penulis juga mengemukakan
pandangan-pandangannya tentang toleransi antar umat beragama. Dalam hal ini
para penulis sependapat bahwa toleransi antar umat beragama merupakan sesuatu
yang perlu dipelihara dan dikembangkan. Namun demikian para penulis menegaskan
bahwa toleransi tersebut hanya dalam urusan-urusan hubungan antar sesama
manusia dan tidak menyangkut masalah teologis atau keyakinan, karena dalam
aspek ini tidak ada toleransi. Hal yang sama berlaku untuk aspek hukum Islam,
akan tetapi hanya sedikit penulis yang membahas masalah ini dari perspektif
pluralisme agama, yaitu klaim keunggulannya dan imperatif penerapannya.
Dalam aspek muamalah, dengan
mengambil contoh beberapa aspek yang lebih spesifik sebagaimana disajikan pada
tabel di atas, para penulis berbeda pendapat tentang beberapa aspek dalam bidang
muamalah, khususnya dalam aspek interaksi sesama manusia. Dalam aspek ini terdapat
batas-batas toleransi yang dibangun oleh mereka, termasuk di dalamnya
pengangkatan seorang pemimpin bagi umat Islam.[18]
Pernyataan para penulis di atas
menunjukkan adanya sikap toleransi di kalangan mereka dan penegasan adanya
batas toleransi yang dibangun sehingga tidak sampai menginfitrasi keyakinannya
serta tidak sampai intervensi terhadap aspek keyakinan orang yang berbeda
agama. Sikap toleransi merupakan sikap yang mulia, akan tetapi para penulis
tampaknya menunjukkan perlunya dibangun batas-batas toleransi dalam beragama.
Laporan penelitian kedua adalah
penelitian di
kalangan perempuan berjilbab (berhijab). Dengan menggunakan pendekatan
psikologi, peneliti melihat motivasi berjilbab subjek melalui konsep-konsep
seperti sikap, pengaruh kelompok, dan lainnya yang signifikan, pada perilaku
individu, serta pembentukan identitas diri pada subjek yang termasuk dalam
kategori dewasa muda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ajaran agama bukan
satu-satunya faktor dan bukan merupakan faktor utama yang memotivasi
mayoritas subjek untuk memulai berjilbab. Kebutuhan untuk berafiliasi dengan
kelompok yang sebagian besar anggotanya berjilbab dan identifikasi dengan
sesama teman lebih berperan dalam proses pemakaian jilbab yang dialami oleh
subjek. Selain itu, ditemukan adanya kecenderungan untuk menjadikan jilbab sebagai
identitas kelompok. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari sejumlah aktivitas
keagamaan yang selalu berkaitan dengan masalah jilbab, seperti Jilbab Day
dan mentoring.
Penelitian ketiga
adalah yang dilakukan oleh Aryadi
Gunawan terhadap
komunitas musik reggae di Jakarta. Penelitian ini bertujuan mengetahui
kuat-lemahnya identitas kelompok, tinggi rendahnya self-esteem, dan
pengaruh identitas kelompok terhadap self-esteem pada komunitas reggae
di Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang agak
rendah dan signifikan dari identitas kelompok terhadap self-esteem pada
komunitas reggae Jakarta. Artinya lemah-kuatnya identitas kelompok pada
subjek penelitian berpengaruh terhadap self-esteem subjek. Namun pengaruhnya
hanya sebesar 32,8% (=0,328). Hal itu berarti terdapat variabel lain yang juga
berpengaruh terhadap self-esteem subjek. Diperoleh temuan juga bahwa
subjek yang memiliki identitas kelompok kuat lebih banyak dari pada yang
memiliki identitas lemah. Semakin lama subjek menyukai reggae maka semakin kuat identitas
kelompoknya dan pembentukan band merupakan faktor yang mempengaruhi
lemah-kuatnya identitas kelompok. Begitu pula subjek yang memiliki self-esteem
tinggi lebih banyak dari pada yang memiliki self-esteem rendah, dan
cenderung dimiliki oleh subjek yang berusia lebih tua.
Dari contoh hasil penelitian di atas,
ada indikasi yang menunjukkan bahwa kelompok-kelompok homogen dalam masyarakat
akan merasa hidup nyaman dalam kelompoknya. Ketika ada infiltrasi yang mengancam
keutuhan keyakinan mereka maka akan muncul resistensi (resistance).
Dalam konteks infiltrasi etnik asing pada suatu kelompok etnik tertentu, hal
ini dapat menimbulnya sikap xenophobia.
Laporan-laporan penelitian di atas
juga sepertinya menunjukkan kecenderungan bahwa gejala ini berlaku umum dan
meluas. Kelompok homogen cenderung memelihara kohesivitas dan memberi identitas
bagi dirinya untuk membedakannya dari kelompok lain yang berbeda karakteristiknya
dari kelompok homogen tersebut. Pemeliharaan kohesivitas dan identitas ini
penting untuk menegaskan eksistensi kelompok tersebut di tengah-tengah
kekuatan globalisme yang cenderung menghilangkan ciri-ciri lokalitas dari
suatu kelompok sosial. Dalam upaya memelihara kohesivitas dan homogenitas,
sesuatu yang berbeda akan cenderung ditolak untuk masuk ke dalam komunitas
homogen tersebut.
Bagaimana dengan konsep toleransi
dalam interaksi sosial kelompok masyarakat dengan latar sosio-kultural yang
berbeda? Apabila mencontoh sistem biologis makhluk hidup yang cenderung resisten
terhadap kehadiran sel asing dalam tubuh, maka penolakan sejenis bisa terjadi
pada suatu kelompok masyarakat. Malahan, ketika tubuh manusia mengalami
toleransi imunitas terhadap kehadiran sel asing, hal itu menunjukkan bahwa
daya tahan tubuh menurun atau kehadiran sel asing itu dilakukan dengan bantuan
supresan dari luar tubuh.
Dalam konteks masyarakat manusia, hal
ini berarti masyarakat lokal harus melemah untuk bisa menerima perbedaan
(kehadiran sesuatu yang asing). Hal ini menjadi bukti bahwa masyarakat yang
toleran sejatinya lemah dari sudut pandang kesatuan bangsa atau keyakinan.
Bangsa yang toleran cenderung mudah disusupi oleh kehadiran pihak asing dengan
berbagai kepentingan dan cenderung permisif terhadap pengaruh budaya asing,
dan malah menerima kehadiran mereka sebagai bagian penting dan decisive
dalam proses pengambilan keputusan politik.[19]
Koeksistensi secara sehat di tengah
keanekaragaman hanya dapat tercapai bila ada suatu bingkai atau kerangka berpikir
yang disepakati seluruh komponen baik lokal maupun asing.[20]
Bingkai inilah yang harus dicari,
disepakati, dan harus dapat diaplikasi pada semua kelompok berbeda untuk menjadi kerangka bersama
yang menjamin koeksistensi.
D. Refleksi
1. Beragama sebagai Masalah Keyakinan (a Matter of Believing)
Seorang
penganut percaya bahwa agama yang benar adalah agama yang dianutnya. Secara
meyakinkan mereka harus mengklaim dan declare bahwa
agamanya adalah satu-satunya yang akan membawa mereka kepada keselamatan.
Sekali seseorang percaya kepada jalan keselamatan yang ditempuhnya, wajib
hukumnya untuk menyebarkannya kepada orang lain, sehingga orang lain pun akan
mengikuti jalan yang sama agar mencapai keselamatan. Inilah dimensi dakwah, propagation,
atau penyelamatan pada semua agama, yaitu semangat mengajak oang lain kepada
kebenaran dan keselamatan.
Pengikut
suatu agama juga harus meyakini bahwa agamanya mencakup sistem teologi yang lengkap, yang
akhirnya akan menjadi way of life. Sebagai
sistem teologi dan
way of life yang lengkap, suatu agama apa pun tidak lagi memerlukan unsur-unsur
keagamaan dari agama lain yang berbeda (the others). Sebaliknya, sebuah
agama yang mengambil unsur-unsur keagamaan tertentu dari agama lain
menunjukkan bahwa ia belum menjadi agama yang full-fledged.
Islam menekankan komitmen Beriman
kepada Allah dan Muhammad sebagai Utusan-Nya. Ini adalah truth-claim yang
mencakup fondasi ideologis pemikiran dan gerakan Islam.
Keyakinan ini membentuk suatu fondasi
yang di atasnya dibangun ideologi, komitmen, tanggung jawab, pengabdian total, pemujaan dan
keberanian menghadapi kematian demi membela agama Allah (jihad).
2. Pengakuan
Keberadaan Agama Lain sebagai Masalah Etik
Sebuah truth claim oleh seorang
pemeluk suatu agama tidak harus mengakibatkan ancaman bagi truth claim pengikut agama lainnya. Hal itu lebih merupakan masalah etik
ketimbang masalah teologis. Hal itu berkaitan juga dengan budaya suatu
masyarakat di mana seorang pemeluk hidup. Setiap agama telah merangkai suatu petunjuk
(guidance) bagi setiap pemeluknya tentang bagaimana seharusnya ia
berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Petunjuk ini disusun dalam suatu kerangka etik yang harus
dikembangkan sedemikian rupa sebagai seruan atau ajakan.
Umat
Islam Indonesia sejauh ini telah mengembangkan diskursus keislaman tentang
pluralisme. Hal ini dapat dilihat pada buku-buku dan artikel yang ditulis oleh
intelektual Muslim Indonesia yang terbit sejak akhir tahun 1960-an atau awal 1970-an hingga
sekarang. Konsep ini dikembangkan dalam kaitannya dengan
upaya pemerintah Indonesia untuk
menciptakan kerukunan beragama pada masyarakat Indonesia.
Pluralitas
agama merupakan fenomena sosiologis. Ini adalah kehendak Tuhan untuk menguji
seseorang apakah ia konsisten dengan agamanya. Tuhan berkata, "Jika Allah
menghendaki, Dia akan menciptakan kamu satu bangsa saja, tetapi Dia hendak
mengujimu terhadap apa yang telah Ia karuniakan kepadamu…”. Realitas
pluralitas agama harus direspons seperti itu sesuai dengan kehendak Allah
ketika menciptakan pluralitas, seperti yang tertulis dalam al-Qur'an.
Dalam
wacana yang berkembang selama ini, pluralisme sering diartikan sebagai konsep
untuk mengenali dan menerima kebenaran setiap agama. Paham ini bahkan sudah
lebih jauh menuntut setiap orang untuk mengakui bahwa semua agama adalah sama
dan benar. Paham ini berpendirian bahwa tidak ada yang dapat mengklaim hanya agamanya yang benar,
sedangkan yang lain adalah salah dan sesat.
Dalam
merespons gagasan pluralisme agama, seorang
Muslim, dan begitu juga setiap pengikut agama apa pun, harus kritis. Sikap
bijak seorang beragama yang baik adalah bahwa dia tegas dan konsisten memegang
agamanya, dan memahami serta menghormati pilihan umat yang beragama lainnya.
Dengan kata lain, take one, respect other. Namun demikian, dalam
konteks dakwah dan pekabaran (evangelism), seorang beragama dituntut
untuk memahami mengapa orang lain menganut agama yang berbeda dari agamanya
sendiri. Ketika ia menganggap bahwa agama yang dianut orang lain adalah salah,
maka wajib baginya untuk memberitahu mereka dan membimbing mereka sampai mereka
memahami dan mengikuti agama yang kita yakini, akan tetapi pilihan keputusan
tetap berada pada orang itu. Pada semua kitab suci agama besar, dimensi pekabaran
ini pasti ada.
3. Menyelenggarakan Dialog yang Adil dan Terbuka
Masalah
teologi (akidah) bukan sekedar dimensi intelektual agama. Ini menyangkut aspek
psikologis “keyakinan; believing” yang tidak bisa dibagi dan
dikompromikan. Ini adalah aspek yang amat
mendasar, yang menyangkut perasaan religius dan melibatkan emosi. Seorang Muslim,
meskipun ia tidak begitu saleh, akan merasa tersinggung jika emosi keagamaannya disinggung. Perbedaan mendasar dalam domain ini berpotensi untuk membangkitkan konflik dalam
masyarakat yang terdiri atas pengikut agama-agama yang berbeda.
Banyak
orang percaya bahwa agama hanya berisi nilai-nilai universal kebajikan, dan
karenanya tidak akan mengundang konflik. Mereka percaya bahwa konflik antara
penganut berbagai agama disebabkan oleh faktor di luar agama, seperti ekonomi,
sosial, etnis, dan politik. Penyangkalan tersebut, pada gilirannya, hanya mengabaikan
aspek penting untuk menciptakan harmoni sosial antara orang-orang dalam masyarakat
plural. Dalam kenyataannya, kita harus mengakui bahwa agama, sebagaimana
dipahami penganutnya, berkontribusi pada kasus konflik.
Tampaknya
pemerintah dan pemimpin agama enggan untuk membuka dialog mengenai perbedaan
mendasar dari agama-agama yaitu aspek teologis, aspek ideologis, dan aspek
doktrinal dari suatu gerakan agama,
padahal itu sangat penting. Jika benar, maka usaha-usaha untuk menciptakan
keharmonisan antara penganut berbagai agama tidak akan sepenuhnya berhasil dan
kita tidak bisa menghindari konflik yang mungkin terjadi pada mereka.
Berdiskusi
tentang teologi,
ideologi, dan aspek doktrinal lainnya akan dapat membuat semua pihak menyadari
wilayah yang membentuk batas-batas
yang harus dihormati. Pengakuan ini membawa semua pihak untuk saling memahami
dan tidak menghakimi. Hidup dalam batas-batas yang dikenali tersebut berarti
menghormati eksistensi orang lain dengan segala identitasnya, menjaga
konsistensi, dan pada saat yang sama menciptakan harmoni sosial di kalangan
penganutnya.
Daftar Pustaka
1979. The Compact Edition of the Oxford English
Dictionary, Vol. II London: Oxford University Press.
Ardiningtiyas Pitaloka, R. R. “Pembelaan
Demi Identitas Kelompok” Repository.binus. ac.id/content/.../
D006437196.doc.ý.
Arnold
Dashesky (ed.). 1975. Ethnic Identity in Society. Chicago: Rand McNally College Publishing Company.
Dody
S. Truna. 2012. Muatan Pendidikan
Multikulturalisme dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan
Tinggi Umum di Indonesia. Jakarta:
Balitbang Kementerian Agama.
Fathur
Rahman. 1966. Hadits
al-Nabawi. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Louis
J. Hamman. 1988. “The Limits of
Tolerance” dalam Louis J. Hamman
and Harry M. Buck (eds.) Religious Tradition and the Limits of Tolerance. Pensyvania, Chambersburg: ANIMA Publication.
Manfred
Nowak dan Tanja Vospernik, “Permissible Restrictions on Freedom of Religion or
Belief” hlm. 147-160.
Martin
E. Marty. 2005. When Faiths Collide. Oxford, UK,: Blackwell Publishing.
Mohammed
Fathi Osman. 2006. Islam, Pluralisme
dan Toleransi Keagamaan:
Pandangan al-Qur’ān, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Paul
Kurtz, The Limit of Tolerance”, dalam http://www.secular
human ism.org/library/fi/kurtz_16_1.2.
html.
Rahman, M.T., 2010. Pluralisme Politik. WAWASAN:
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 34(1), pp.1-13.
Robert
Paul. 1988. “Nonacceptance
is Not Intolerance” in Louis J. Hamman
dan Harry M. Buck (eds)., Religious Traditions and the Limits of Tolerance. Chambersburg, Pennsylvania: Anima
Publication.
Yong
Ohoitimur. 2001. “Panggilan
Bersama Membangun Persaudaraan Sejati”, dalam Th. Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Interfidei.
[1] The Compact Edition of the Oxford English
Dictionary, Vol. II London: Oxford University Press, 1979, p. 3343.
[2]
Louis J. Hamman “The Limits of Tolerance” dalam Louis J. Hamman and Harry M.
Buck (eds.) Religious Tradition and the Limits of Tolerance (Pensyvania,
Chambersburg: ANIMA Publication, 1988), hlm. 1.
[3]
Yong Ohoitimur, “Panggilan Bersama Membangun Persaudaraan Sejati”, dalam Th. Sumartana,
dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia (Yogyakarta:
Interfidei, 2001), hlm. 142.
[4]
Sebuah hadits Riwayat Thabarani mengklasifikasi tetangga ke dalam tiga macam:
“Tetangga ada tiga macam, (1) tetangga yang memiliki tiga macam hak, yakni hak
pertetanggaan, hak kekerabatan, dan hak keIslaman, (2) tetangga yang memiliki
dua macam hak, yakni hak pertetanggaan dan hak keIslaman, dan (3) Tetangga yang
hanya memiliki satu hak ketetanggaan. Ia adalah orang musyrik ahli kitab.”
Fathur Rahman, Hadits al-Nabawi (Yogyakarta: IAIN, 1966), hlm. 180.
[6]
Mohammed Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan: Pandangan
al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Paramadina,
2006), hlm. 5-6.
[7]
Robert Paul, “Nonacceptance is Not Intolerance” in Louis J. Hamman dan Harry M.
Buck (eds.), Religious Traditions and the Limits of Tolerance (Chambersburg,
Pennsylvania: Anima Publication, 1988), pp. 76-79.
[10]
Lihat Manfred Nowak dan Tanja Vospernik, Permissible Restrictions on Freedom
of Religion or Belief, hlm. 147-160. Untuk yang pertama, perlindungan
keamanan publik dimungkinkan diberlakukan pembatasan-pembatasan terhadap
manifestasi agama dalam ranah publik jika suatu bahaya tertentu muncul dan
mengancam keselamatan orang-orang atau keselamatan harta benda. Pembatasan
yang kedua dimaksudkan untuk menghindari gangguan pada tatanan/ketertiban
publik dalam pengertian sempit dalam arti pencegahan kekacauan publik,
misalnya manifestasi keagamaan yang mengganggu arus lalulintas. Yang ketiga
dimaksudkan untuk mengijinkan pihak yang berwenang untuk intervensi dalam
rangka mencegah wabah atau penyakit lain. Demikian halnya jika manifestasi
suatu agama tertentu melibatkan kegiatan-kegiatan yang membahayakan
kesehatan anggotanya dan pihak lain. Yang keempat menyangkut perlindungan
moral. Bagian ini adalah yang paling abstrak dan kontroversial karena pada
dasarnya setiap agama biasanya mengklaim sistem nilai mereka merupakan
tuntunan moral yang paling penting. Hal ini menyulitkan untuk merumuskan
konsep moral yang lebih tinggi dan secara universal dapat diterima oleh
semuanya dan bisa digunakan oleh negara sebagai dasar pembenaran untuk
pembatasan manifestasi agama. Di sisi lain, ketiadaan suatu standar moral yang
seragam secara universal dan regional, maka negara mempunyai batasan
penilaian (diskresi) yang cukup luas ketika memberlakukan pembatasan terhadap
agama berdasarkan alasan moral. Yang kelima, dan sangat penting, menyangkut
kecenderungan setiap agama untuk berinteraksi dengan agama lain yang kadang-kadang
terjadi dengan cara yang mengganggu kebebasan beragama orang-orang lain. Dalam
hal ini negara perlu melakukan intervensi terhadap kebebasan untuk memanifestasikan
agama demi melindungi kebebasan beragama orang lain.
[11]
Paul Kurtz menegaskan bahwa “it is clear
that tolerance does not apply to all actions; we are tolerant of beliefs and
the expression of beliefs, of thought and conscience, and speech. But where
belief or speech translate into action, a civilized society has the right to
regulate conduct and to enact legislation to protect the public good. We
cannot, for example, condone violence; nor can we allow people to do whatever
they wish if this will harm others, or prevent them from exercising their
rights…” Lihat Paul Kurtz, The Limit of Tolerance” http://www.secularhuman ism.org/
library/fi/kurtz_16_1.2.html.
[12] R.R. Ardiningtiyas Pitaloka, S.Psi
“Pembelaan Demi Identitas Kelompok.” Repository.
binus.ac.id/content/.../ D006437196.doc.ý
[13]
Arnold Dashesky (ed.) Ethnic Identity in Society, 1975, Chicago: Rand
McNally College Publishing Company, hlm. 5.
[17]
Dikutip dari Dody S. Truna mengenai Muatan Pendidikan Multikulturalisme dalam
Buku Ajar Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum di Indonesia,
2012, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Agama, Kementerian Agama.
[18]
Beberapa ayat yang sering dijadikan argumen tidak bolehnya mengangkat orang
non-Muslim sebagai pemimpin di antaranya adalah Surat Ali Imran: 28, yaitu: “Janganlah
orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mu’min…”, al-Maidah: 51, yaitu: “Hai orang-orang yang beriman
janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin
(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa
di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka….”
[19]
Lihat, misalnya Catatan Harian Dokter
Indra, yang menjelaskan tentang identitas kelompok dan toleransi dalam
sistem tubuh manusia. Ada penjelasan menarik mengenai bagaimana sistem sel
dalam tubuh itu resistens terhadap sel asing yang tidak termasuk kelompok sel
yang sama dan toleransi sebagai indikasi menurunnya sistem kekebalan tubuh
yang mengancam.
[20] Rahman, M.T., 2010. Pluralisme Politik. WAWASAN:
Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, 34(1), pp.1-13.
Komentar
Posting Komentar