Historiografi Sufi dalam Perspektif Fenomenologi

Ajid Thohir
Historiografi Ulama

Sejarah sebagai disiplin ilmu sosial dan humaniora, masih memerlu­kan kajian dan metodologis yang sangat luas dan komprehensif. Feno­me­na kemanusiaan yang nyatanya sangat kompleks juga memerlukan wa­dah yang bisa menghimpun,menampung secara utuh, bahkan berba­gai upaya yang dapat menjelaskannya. Realitas tersebut melibatkan bu­kan hanya fenomena lahiriyah, tapi juga aspek-aspek bathiniyahnya yang sebe­nar­nya juga dominan melahirkan gerak sejarah. 

Pandangan positivisme yang membatasi fenomena sejarah hanya sebatas aspek-aspek lahiriyah, tidak bisa menyelesaikan dan menjawab arti penting fe­nomena ruhaniyah dan sejumlah fenomena sejarah di dunai Timur yang selalu saja mereka sebut sebagai mitos dan mistis. Sebagai sebuah upa­ya bagi kajian ilmu huma­niora, fenomenologi berupaya memahami ba­gai­mana realitas sufistik yang sangat penting dalam sejarah muslim itu di­jelaskan. Karena dalam historiografi Islam seluruh totalitas fenomena manusia telah diwadahi secara utuh apa adanya. Inilah yang membeda­kan antara historiografi Ba­rat dan historiografi Islam.
A. Pendahuluan
Mengkaji pengertian sejarah secara komprehensif, akan melibat­kan berbagai hal yang berkait dengannya. Pertama, ia akan berhu­bungan de­ngan situasi ke-masalalu-an (kajian filosofis). Kedua, akan berhubung­an dengan berbagai jenis tulisan yang menggambarkan pe­ristiwa-peris­ti­wa ke-masalalu-an dan para sejarawan yang meli­bat­kan dirinya de­ngan berbagai kajian masa lalu tersebut (kajian historiografi). Ketiga, berkaitan dengan rekaman sosial atau sikap ma­syarakat yang meng­abadikan pada ingatan masa lalu tersebut, yang ditunjukkan oleh cerita rakyat, termasuk mitologi yang selalu hadir di tengah-tengah masyara­kat mengenai sesuatu masa lalu ter­sebut (kajian antropologis). Keem­pat, menunjukkan disiplin ilmu yang dikembangkan secara profesional dan akademik terhadap stu­di masa lalu tersebut (epistemologi). Kelima, berkait dengan kajian metodologis terhadap berbagai madzhab pemi­kiran tentang seja­rah, teori dan metodologinya. [1] 
Pada butir kelima ini Penulis tampaknya perlu mengulas dan men­dis­kusikan, bagaimana upaya mengembangkan konsep dan me­to­dologi ba­ru untuk melihat dunia sejarah dengan seluruh atribut­nya yang sangat kompleks itu, agar bisa dipahami secara akademik. Mengingat objek kaji­an sejarah selalu bermuara mengenai bagaima­na gambaran masa lalu tentang keseluruhan dari totalitas aktivitas manusia. Apakah fenomena spiritual/ruhaniyah seseorang yang se­ringkali membentuk dalam wujud fakta mental dan seringkali dikait­kan sebagai bagian dari “memori” anak manusia adalah juga bagian dari objek kajian sejarah? Apakah la­yak ob­jek-objek seperti itu dikaji secara historis? Bukankah perjalanan “Isra dan Mi’raj Nabi Muham­mad Saw. adalah juga telah disepakti oleh para ahli sejarah Islam di­sebut sebagai realitas sejarah kenabian, bukan se­bagai mitos? Me­nen­tukan teori dan metodologi untuk membaca teks-teks sejarah Islam yang terkandung dalam historiografi Islam, tam­pak­nya perlu di­kedepankan sebelum para akademisi melakukan vonis ter­hadap realitas model-model penulisan sejarah Islam.

B. Tinjauan Filosofis dan Metodologis
Salah satu objek kajian sejarah yang cukup unik adalah kajian ter­ha­dap fenomena sufistik. Apakah realitas sufistik itu mitos atau his­toris? Jika dipandang sebagai mitos mengapa tulisan tentang reali­tas dunia sufi begitu banyak dituliskan secara serius oleh para seja­ra­wan muslim dan karya-karya mereka banyak digunakan sebagai penguat bagi argu­men­tasi keagamaan oleh para ulama dan cendi­kia­­wan mus­­lim. Ibn Taymiyah sebagai pioner dalam penegakan hu­kum oleh fatwa-fatwanya yang sangat terkenal itu, juga mengguna­kan cerita sufi sebagai argumentasi-argumentasi hukumnya.[2]  
Oleh karenanya pengalaman-pengalaman sufistik yang unik dan sub­jektif itu, sebenarnya terkandung realitas-realitas yang objektif sebagai fenomena sejarah. Hanya persoalannya mereka yang belum pernah me­ngalami situasi dan kondisi sebagaimana yang para sufi ra­sakan, selalu menegasikan, mengucilkan bahkan menuduhnya se­ba­gai mitos bukan se­bagai realitas sejarah. Semua ini sebenarnya di­pengaruhi oleh cara berpikir generalisasi dan dominasi posistivisme, yang memandang bah­wa fenomena sejarah adalah fenomena yang bisa dirasakan oleh semua manusia. Persoalnnya adalah, antara ma­nusia yang satu dengan manu­sia yang lainnya tidak semuanya diberi kesempatan yang sama yang bisa diukur secara bersama-sama. Me­nanamkan solusi kesadaran bahwa pengalaman orang lain me­mang objektif adalah sesuatu yang sangat mahal, bukan hanya memer­lu­kan argumentasi serta nalar-nalar filosofis yang rasional, tapi juga pa­ra ilmuan sejati perlu “keluar dari kungkungan” untuk sementara dari pe­mu­jaan terhadap positivsisme.
Oleh karena itu realitas sufistik sebagai fenomena kesejarahan yang unik dalam dimensi sejarah manusia memerlukan teori dan me­todologi secara khusus pula, termasuk kajian khusus juga terha­dap model his­to­riografi yang dimunculkannya.[3] Oleh karena itu upa­ya untuk mema­hami dan menjelaskan secara utuh situasi dan kondisi apa yang menye­babkan lahirnya  historiografi sufi adalah wi­layah kajian yang tidak boleh dibaikan begitu saja, meskipun semua itu tentunya dilakukan dengan ber­­bagai keterbatasan akademiknya.
Mengkaji historiografi Islam khususnya tentang fenomena sufis­tik yang selanjutnya lebih populer disebut manaqib (hagiografi su­fi),[4] di­perlukan kesadaran “emik” yakni cara-cara yang empati na­mun kritis ter­hadap karya-karya sejarah mereka. Cara yang dipakai salah satunya adalah melalui “review” atas karya-karya sejarah yang dihasilkan mere­ka, secara konkrit tidak terlalu menukik pada per­soal­an-persoalan teori­tisnya tapi lebih pada aspek-aspek empiris­nya, seperti pada bentuk tu­lis­an, ekspresi, interpretasi, redaksi dan lain-lain. Hingga saat ini penulis menyadari, bahwa seluruh fenome­na sufistik atau yang pernah dilaku­kan para sufi, tentunya belum bi­sa sepenuhnya dipahami dan dijelaskan secara hakikinya, apalagi se­cara menyeluruh tentang hal-hal yang ber­kait dengan berbagai fak­ta kesejarahan dan keunikan semacam kara­mah-karamah yang ter­ja­di pada para wali, karena ada wilayah-wilayah yang menyangkut dimensi spiritulitas.[5]
Secara khusus beberapa karya tentang sufisme sangat beragam, dari mulai kajian tentang doktrin, maupun tentang refleksi pelaksa­na­annya yang banyak dijelaskan dalam berbagai kisah-kisah sufis­me. Karya historiografi tentang sejarah sufisme, misalnya Abu Nu’­aim, Hilyât al-Awliyâ wa Thâbaqât al-Ashfiya; al-Hujwiry, Kasyf al-Mâhjûb; al-Sya’ra­ny, Thâbaqât al-Kubrâ. Demikian pula karya-karya berupa kitab mana­qib yang se­cara khusus mengupas biografi tokoh sufi tertentu misalnya, Yahya al-Tadafy, Qalâid al-Jawâhir fi Ma­nâqib Syaikh ‘Abd al-Qôdir; Mu­hammad Iyadl, Mafâkhir al-‘Aliy­yah fi Ma’atsir al-Syadziliyyah; dan Ibn al-Jauzy, Multa­qath al-Hikâ­yat.  

Gambar 1: Kategori Karya Tulis yang Berkait Erat dalam Dunia Sufi

·       Thabaqat
·       Manaqib
 
 



Historiografi
Islam
 
 
KMSA
 
 






Oleh karena itu menentukan grand theory yang relatif tepat un­tuk me­motret objek historiografi sufi --meskipun sebagiannya mung­­kin akan meminjam dari model dan metode penelitian ilmu-ilmu sosial-- adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan. Hal ini tentunya sebagai sa­lah satu upaya untuk memudahkan da­lam memetakan dan melakukan pengkajian secara detil dari unsur-unsur dalam subjek penelitian ini. Be­berapa teori dan metodologi atau bahkan beberapa aliran filsafat yang ada, juga telah dicoba untuk bisa memotret subjek penelitian ini namun hasilnya kurang begitu memuaskan. Mungkin dari sekian banyak model perspektif yang penulis anggap relatif mendekati untuk melihat feno­mena su­fisme ini adalah fenomenologi.[6] Karena perspektif feno­meno­logi mengajarkan mengenai subjek penelitian untuk membiarkan dirinya berbicara apa adanya.[7] Dalam kajian antropologi dan sosiologi mo­del pe­nelitian yang seringkali digunakan untuk memahami objek atau sub­jek penelitian dari dalam, adalah apa yang biasa disebut se­bagai “per­spek­tif emic”, tinjauan dari dalam. Lawannya adalah “per­spektif etik” yang biasanya melihat objek penelitian dari luar objek­nya. Terkadang si peneliti terus melakukan penilaian, pengadilan dan investigasi terhadap sejumlah apa yang mereka lihat.[8] 
Selama ini kesalahan yang seringkali muncul adalah akibat terja­dinya reduksi dan pengekangan terhadap objek penelitian atau sub­jek materi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti yang belum mema­hami posisi dan keberadaan mereka dari dalam. Lantas dengan ce­pat mereka membuat kesimpulannya sendiri, atau mereka divonis dengan kacamata si peneliti yang pada umumnya berbeda dari du­nia mereka sendiri.
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia memang bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafatnya. Namun pe­naf­siran-penafsiran tersebut seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingan­nya, situasi-situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan­nya, sehingga ia telah melupakan dunia apa adanya, dunia kehi­dup­an yang murni, tem­pat berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun terha­dap du­nia keilmuan, tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga ter­hadap ilmu-ilmu sosial bahkan ilmu humaniora, sehingga menga­ki­batkan mun­culnya berbagai krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerap­an pola pikir positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu me­mang sesuai, melainkan positivisme juga melanda dan banyak mendo­mi­nasi dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, yaitu masyarakat dan ma­nusia sebagai makhluk historis.[9]
Problematika positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang menghi­lang­kan peranan subjek dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah men­dorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan meto­dologis baru bagi ilmu sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek ke dalam proses keilmuwan itu sendiri. Salah satu pendekatan ter­sebut adalah pendekat­an fenomenologi yang secara ringkas dibahas dalam uraian di bawah ini.

C. Fenomenologi sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati feno­me­na-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipa­hami seba­gai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesa­dar­an kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan mau­pun berupa se­suatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang pen­ting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan feno­me­na, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tan­pa prasangka sama sekali. Seorang fe­no­menolog hendak menang­galkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat mema­hami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).[10] 
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keter­kaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang menga­mati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga se­orang fenomenolog: “Sifat realitas itu mem­bu­tuhkan keberadaan ma­nusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menero­bos semua fenomena yang menampak­kan diri menuju kepada ben­da yang sebenarnya. Usaha inilah yang dina­makan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh un­tuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eide­tich vi­sion. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “me­nunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan ter­tentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nam­pak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presup­po­sisi pengamat. Untuk itu, Husserl me­nekankan satu hal penting: Penun­daan keputusan. Keputusan harus ditunda atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau refe­rensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.[11]
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam:
1.    Method of historical bracketing: metode yang mengesampingkan ane­ka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima da­lam ke­hidupan sehari-hari, baik dari adaptasi, agama maupun ilmu pe­nge­tahuan.
2.    Method of existensional bracketing: meninggalkan atau abstain ter­hadap semua sikap keputusan, atau sikap diam dan menunda.
3.    Method of transcendental reduction: mengolah data yang kita sa­dari menjadi gejala yang transendental dalam kesadaran murni.
4.    Method of eidetic reduction: mencari esensi fakta, semacam men­ja­di­kan fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari rea­litas itu. 
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sam­pai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Fenomenologi sebagai sebuah metode penelitian sosial telah di­ga­gas dan dikembangkan oleh Alfred Schutz dengan karyanya, Der sinnhafle Auf­bau der sozialen Welt (1932) yang diterjemahkan men­ja­di The Phe­no­menology of the Social World (1967). Keberhasilan­nya dalam meru­mus­kan metode penelitian fenomenologi ini banyak didukung oleh para peneliti sosial dari New School for Social Re­search di New York. Schutz me­ngupas pemikiran Max Weber ten­tang metodologi ilmu-ilmu sosial, dan melakukan kritik terha­dap­nya, bahwa pandangan sosiologi yang ba­nyak berurusan dengan “pe­mahaman interpretatif” terhadap tindakan sosial, perlu penje­las­an lebih jauh melalui “analisis fenomenologi” ter­ha­dap struktur realitas sosial dan terhadap penafsiran realitas itu sendiri dalam pe­nelitian sosialnya. Peneliti harus bisa membedakan antara ob­jek natural sciences (ilmu-ilmu alam) dengan social sciences (ilmu-ilmu sosial dan humaniora).[12] 
Untuk kasus kajian yang cukup rumit dan sulit dipahami oleh madz­­hab positivisme, khususnya terhadap teks-teks sufi yang meng­gambarkan bagaimana historiografi mengenai fenomena ruhaniyah manusia bisa dijelaskan secara objektif sebagai fakta (mental), fe­nomenologi membe­ri jalan metodologi.

D. Kontribusi Fenomenologi terhadap Ilmu Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembi­ca­­ra­an mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini pen­ting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu penge­tahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk me­nye­lamatkan subjek pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “du­­nia ke­hi­dupan” (lebenswelt) merupakan konsep yang dapat men­jadi dasar ba­gi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah me­ngalami krisis akibat po­la pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – me­kanis seperti halnya kerja me­kanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' di mana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah me­ner­jemahkan pengalaman ma­nusia ke formula-formula impersonal. 
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang le­bih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitas­nya, se­bagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidup­an ini ada­lah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yak­ni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteo­ri­kannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sa­ngat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu du­nia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat di­ketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen il­mu-ilmu alam, me­lainkan terutama melalui pemahaman (verste­hen). Apa yang ingin di­temukan dalam dunia sosial adalah makna, bu­kan kausalitas yang nisca­ya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wi­la­yah observasinya adalah me­ma­hami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu daripada para pelaku dalam dunia sosial itu sendiri. Oleh karena itu, de­ngan cara tertentu ia ha­rus masuk ke dalam dunia kehidupan yang un­sur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus me­mahaminya. Un­tuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu. Dalam penelitian sosial lain disebut “partisipant observer”, peneliti yang terlibat dalam sub­jek yang ditelitinya. Atau dalam antropologi bisa juga dikenal “per­spek­tif emic”, yakni peneliti tidak akan memberi penilaian baik buruk, melakukan pengadilan atau sejenisnya terhadap fenoma yang dite­mu­­kannya.[13]
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah dunia kehidupan (lebenswelt) tersebut untuk mene­mu­kan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka mes­kipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut in­tensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh ma­na “endapan makna” yang detemukan itu benar-benar direkon­struksi dari dunia kehidupan sosial, di mana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fe­nomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang memba­ngunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian yang tidak terpi­sahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengeta­huan sekaligus men­da­patkan dukungan metodologisnya.

E. Oto Kritik terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendes­krip­­si­kan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memani­pu­lasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita te­rima sebelum­nya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, aga­ma, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebu­latan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan de­mi­kian fe­no­menologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pen­dekatan par­tial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh me­nge­nai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pende­katan fenomenologi, se­hingga banyak dipakai oleh para ilmuwan dewasa ini, terutama il­mu­wan sosial, dalam berbagai kajian keilmu­an mereka termasuk bidang kajian agama.
Di balik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapat­kan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pan­dangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengeta­hu­an, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenome­nologi sendiri me­ngakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh ti­dak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Der­ri­da, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak memper­timbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau pe­nelitian bebas nilai, tetapi harus sepe­nuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Se­bagai akibatnya, tuju­an penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud secara sem­purna.[14]
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek un­tuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demi­kian, penge­tahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung sub­jektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam wak­tu tertentu. Dengan ungkapan lain, penge­ta­huan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi. 
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa feno­meno­logi merupakan suatu metode analisis juga sebagai aliran filsa­fat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurnian­nya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, feno­me­nologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia il­mu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu penge­ta­huan, dengan mengem­balikan peran subjek yang selama ini dike­sampingkan oleh paradigma po­sitivistik – saintistik. 
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis ser­ta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh kon­sepsi-konsepsi mana pun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh pa­ra fenomeno­log, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pe­ngetahuan, sebagai­ma­na dinyatakan J. B. Connant, bahwa: "The scientific way of thinking re­quires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles

F. Contoh: Fenomena Ruhani dalam Historiografi Sufi
Konsep dan Fenomena Ruh Manusia dalam perspektif Sufi: Muh­yid­din Irbily dalam karyanya Tafrikh al-Khatir,[15] digambarkan secara jelas antara halaman 4-6. Secara padat ia menguraikan sebagai berikut:
Perjalanan ruh manusia melalui tiga tahap:
Ketika ruh dalam alam kesendirin (arwah mujarradah)
Ketika ruh berinteraksi dengan jasad (arwah mutasharrifah) un­tuk meraih kesempurnaan duniawi dan ukhrawinya. Bentuk inter­aksinya seperti halnya hubungan antara pengendara dan kendara­annya, dan posisi ruh sama sekali tidak menyatu dan tidak menetap dalam tubuh. Berbeda halnya dengan ruh biologis (sel-sel senyawa) yang ada dalam setiap makhluk hidup.
Ketika ruh terpisah dari tubuh (arwah mufariqoh) saat kematian, namun ia masih akan tetap berinteraksi lagi dengan tubuh pada saat kebangkitan, pengumpulan (khasyr), pengadilan (mizan), pengelom­pok­an ke surga atau neraka (nasyr).
Ruh orang-orang yang sempurna dalam spiritualitasnya, memiliki tiga eksistensi dan potensinya.
Menjelma secara material baik sebelum berinteraksi dengan tu­buh, seperti halnya yang terjadi pada ruh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika membebaskan Salman al-Farisi dari terkaman binatang buas. Demikian juga ketika ruh berinteraksi dengan tubuh dan sesudah ia terpisah dari tubuhnya, seperti penjelmaan orang-orang sempurna (al-mursyid al-kamil) kepada para pecintanya dan kepada para mu­ridnya dalam keada­an terjaga melalui kontak bathin (rabithah) mau­pun ketika ia dalam kea­daan tertidur melalui mimpi. Mereka bisa ber­dialog dan memberi pe­tun­juk kepada para murid-muridnya. Fe­nomena lain dari ruh orang yang demikian, bisa menjelma menjadi beberapa person pada waktu yang ber­samaan di dalam ruang dan tempat yang berbeda. Seperti yang ter­ja­di pada Qadlib al-Ban al-Maushily sebagaimana dicerita oleh kitab-kitab mereka. Kejadian ini bisa juga terjadi pada setelah ruh mereka ter­pisah dari jasad, seperti halnya Rasulullah Saw. saat malam Mi’raj meli­hat ruh para Nabi di langit dan shalat bersama mereka di Bait al-Maqdis. 
Ruh beraktivitas dalam jasad agar jasad bisa merefleksikan diri men­jadi ruhaniyah yang bercahaya (ruhaniyah nuraniyah). Seperti yang ter­ja­di pada jasad Nabi Muhammad Saw. karena asal pencip­taan beliau ber­asal dari nuraniyah dan ruhaniyahnya berasal dari rahasia alam ma­la­kut (sirru malakutiyu) sehingga oleh karenanya beliau tidak terlihat ba­yangannya sendiri di muka bumi, baik di pagi hari maupun sore harinya. Demikian juga jasad Bilal dan Uais Qarny seperti adanya, sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Muntakhab Kanzul ‘Umal dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rasululullah Saw. bersabda, Wahai Bilal! Ceritakan pa­daku amalan yang paling engkau andalkan manfaatnya dalam Islam, ka­rena aku tadi malam mende­ngar gerak sandalmu di hadapanku di sur­ga. Dia menjawab, “aku ti­dak melakukan amalan yang lebih aku harap­kan kecuali bahwa se­tiap aku wudhu baik siang maupun malam, pasti aku melakukan sha­lat sunat dengan wudhu itu dengan sekemampuanku. Di­riwayat­kan juga dari Abdullah bin Buraidah ia berkata: bahwa Rasulul­lah Saw. berkata, “Surga ditampakkan kepadaku, dan aku melihat istri Abu Thal­­hah di dalamnya (Ummu Sulaim), kemudian aku mende­ngar suara sandal dihadapanku, ternyata ia adalah Bilal”. Dalam ri­wa­yat Jabir Ra­sulullah bersabda, “aku masuk surga lalu aku men­dengar suara san­dal, maka aku Tanya, “Suara apa ini”? Mereka men­jawab, “Itu suara sepatu al-Gha­misha binti Milhan”.
Tertulis dalam sebagian catatan guru sufi, Rasulullah Saw. meli­hat dari jarak yang sangat dekat sekitar dua meter seorang laki-laki du­­duk di tempat yang mulia di hadapan Allah Swt., dengan ber­seli­mut selu­ruh tubuhnya. Maka aku cemburu dan berkata, Wahai Tu­hanku ini tempat yang terhormat, siapa laki-laki ini? Maka ter­de­ngar­lah suara dari (arah) Allah Swt., ini adalah Uais Qarny, ia is­tira­hat setelah tujuh pu­luh tahun dan ia meminta kepada-Ku agar Aku menyembunyikan dan merahasiakannya, maka Aku mencintai­nya. 
Ruh berinteraksi dengan benda-benda materi yang mewujud da­lam bentuk yang lembut (jism lathif). Terkadang hal ini dilakukan oleh para malaikat dan jin seperti yang terjadi pada penampakan sing­gasana Bilqis ketika Nabi Sulaiman memintanya agar singga­sa­na­nya dihadirkan di ha­dapannya. Sebagaimana di ceritakan dalam al-Qur’an dalam sekejap ma­ta singgasana itu muncul di hadapan ke­duanya. Kehadiran singgasa­na secara proses material nampaknya tidak mungkin bisa terjadi, kecuali hal itu dilakukan oleh potensi jims lathif yang berinteraksi melalui doa­nya Ashaf bin Barkhiya As., atau atas kerja ruhaniyahnya. 
Ketahuilah bahwa emanasi ruh sempurna (yakni ruh orang-orang yang telah disempurnakan) merefleksi dalam tiga bentuk:
1.    Memberikan pengajaran di alam lahir melalui perkataan dan ber­ha­dap­an (tatap muka) seperti biasa dalam pengajaran umum.
2.    Tidak melalui menampakkan fisik, akan tapi proses pengajaran terus berjalan antara si pendidik dan yang di didik, seperti halnya peng­ajar­an Nabi Muhammad Saw. terhadap Uais al-Qarni yang juga hidup sezaman, tapi ia dengan Nabi tidak bertemu secara fi­sik. Bentuk pen­didikan ruhani yang juga tidak terjadi melalui per­te­muan ja­sad fisik an­tara Imam Ja’far al-Shadiq terhadap Abu Ya­zid yang ber­jauh­an da­lam kurun waktu kehidupannya, namun an­tara keduanya ter­jadi pro­ses penyampaian pengetahuan. Begitu juga pendidikan Nabi Mu­ham­­mad Saw. kepada umatnya setelah beliau tiada.
3.    Bentuk pendidikan melalui mimpi, sebagaimana biasa dilakukan oleh ruh-ruh suci terhadap mereka-mereka yang dikehendaki Allah Swt.
Dengan demikian para ulama tasawuf menyebut dua model ko­mu­ni­kasi ruhani yakni jenis kedua dan ketiga (tarbiyah ruhaniyah tanpa mu­wa­jahah dan musyafahah serta pendidikan ruhani melalui mimpi) dise­but pendidikan ruhani melalui Emanasi Barakah (faidl al-barakah).       
Pendidikan terhadap Ruh yang masih di alam kesendiriannya, con­­tohnya seperti ruh Nabi Muhammad Saw. memberikan penga­jar­an kepada ruh para nabi. Pengajaran demikian dinamakan de­ngan tarbi­yaturruh.
Pada dasarnya bentuk pendidikan ruhani yang sempurna adalah ada­nya keselarasan yang hakiki antara pendidik dan yang dididik­nya. Kese­la­rasan yang sempurna dicirikan oleh adanya tiga aspek, yakni dengan melaksanakan dan merasakan (al-qidam), dengan ucapan atau tutur ka­ta yang benar (lisan al-shidq) dan dengan hati yang benar (al-qlb al-shadiq).
Al-qidam yakni melaksanakan dan merasakan seluruh perjalanan ru­haninya dengan berpedoman pada etika tasawuf dan perjalanan suluk si salik dalam rangka mengembangkan akhlak, ibrah dan ma­qa­mat jiwa, qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa.
Lisan al-shidq adalah istilah penanaman kesempurnaan terhadap pa­ra pencari kebenaran ruhani dengan sejumlah pengetahuan seba­gai­ma­na yang Allah Swt. ajarkan melalui wahyu, ilham dan melalui pendengar­an ajakan dari Allah atau dari para malaikat-Nya atau dari mereka yang memiliki penuturan yang benar (para mursyid). Mere­ka para mursyid tersebut, perkataannya benar, syafaatnya telah di­terima, doa-doa-nya terkabul, ilmunya menapaki jalan kebenaran, menjauhkan kebathilan, menyingkapkan berbagai rahasia makna, kata-katanya terbukti, talqin­nya bisa menembus dan mengantarkan kepada al-mathlub al-haqiqy (Allah Swt.). Ia telah dianugrahi oleh ka­ramah seperti itu.
Al-qolb al-shadiq bisa dipahami dengan dua pengertian: (1) Yak­ni ter­singkapnya berbagai peristiwa yang ghaib dan yang nampak di dalam hati orang yang sempurna dan disempurnakan oleh Allah Swt., yang ter­gambar secara jelas baik dalam keadaan terjaga mau­pun melalui mimpi­nya. Hal demikian karena kapasitasnya sebagai insan kamil sehingga ia me­miliki kemampuan untuk menangkap fe­nomena kegaiban tersebut. (2) Yakni terkuasainya makna-makna ha­kiki tentang sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dalam bahasa ilmiah. Dalil naqli tentang hal ini sebagai­ma­na dijelaskan dalam al-Qur’an: ma kadzaba al-fuadu ma ra’a; hati nu­rani tidak akan mem­bohongi apa yang terlihat dalamnya. Ayat berikut­nya: fa awha ila ‘abdihi ma awha, maka Allah mewahyukan kepada hamba-Nya apa pun yang akan Ia wahyukan.
Mengetahui penjelasan tentang fenomena ruhani orang-orang sem­purna di atas, cukup untuk menghilangkan keraguan dan kebim­bangan orang-orang yang lemah keyakinannya ketika mendengar­kan manaqib para awliya Allah. 

G. Penutup
Demikianlah beberapa persoalan penelitian yang seringkali di­alami para peneliti ketika menentukan potret yang hendak diguna­kan saat mengamati objek yang ditekuninya. Dalam kaca mata feno­menologi, objek penelitian sebaiknya tidak lagi disebut sebagai “ob­jek penelitian”, namun harus dipandang sebagai sesuatu yang lebih manusiawi dan le­bih hidup (humanities, humaniora) dalam membe­ri­kan kontribusi pe­nge­tahuan kepada peneliti. Sehingga harus diper­la­kukan sebagai “sub­jek penelitian”, bukan dipandang sebagai “ob­jek”. Karena keber­adaan­nya yang akan mengantarkan pada objek­tivitas sebuah penelitian.
Namun demikan, sebenarnya belum ada kata final bagi para seja­ra­wan dalam menggambarkan “tentang sesuatu” atau “objek seja­rah”, me­ngingat penjelasan sejarah selalu berangkat dari sejarawan sendiri dengan berbagai multi interpretatif-nya. Namun pesan moral dari pe­mikiran fenomenologi ini, adalah untuk membekali kepada para seja­rawan agar tidak melakukan interpretasi dan rekonstruksi seenaknya terhadap apa yang dikajinya. Semoga.     

Daftar Pustaka
Adam Kuper and Jessica Kuper. 2001. The Social Science Encyclo­pedia, Routledge USA.
Carr, Edward Hallet. 1976. What is History. London: Penguin Paper Back.
Hasan al-Syârqawy. 1987. Mu’jam Alfâdl al-Shûfiyyah. Kairo: Muas­sa­sah Mukhtâr.
Ibn Taymiyah. 1990. Majmu’ al-Fatawa, Juz 8-10. Dār al-Fikr.
Jary, David and Julia Jary. 1991. The Harper Collins Dictionary of Socio­lo­gy. USA: Harper Perenial.
Kuntowidjoyo. 2008. Penjelasan (Explanasi) Sejarah. Yogyakarta: Tia­ra Wacana.
Muhyiddin Irbily. 1328 H. Tafrikh al-Khâtir fi Manâqib Syaikh ‘Abd al-Qôdir. Mustaha Bab al-Halaby.
Nadel, H. (ed.). 1965. Studies in the Philosophy of History: Selected Es­says from History and Theory. New York: Harper Torch­books.
Quentin Lauer. 1959. Phenomenology: Its Genesis and Prospect. New York: Harper and Row.
Rahman, M. Taufiq. "Rasionalitas Sebagai Basis Tafsir Tekstual (Kajian atas Pemikiran Muhammad Asad)." Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir 1.1 (2016): 63-70.
Titus, Harold H. et al. 1979. Living Issues in Philosophy. California: Wads­worth Publishing  Company,Inc.



[1] Edward Hallet Carr, What is History, Penguin Paper Back, London, 1976: 1-36; Da­vid Jary and Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology, Harper Perenial, USA, 1991, hlm. 212.
[2] Lihat karya Ibn Taymiyah dalam Majmu’ al-Fatawa juz 8-10 ketika menjelaskan per­bedaan dan kriteria-kriteria antara awliya al-Rahman dan awliya al-Syaithon de­ngan je­las mengutip cerita-cerita sufistik, khususnya manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jailany.
[3] Hasan al-Syârqawy, Mu’jam Alfâdl al-Shûfiyyah, Mu’assasah Mukhtâr, Kairo, 1987, hlm. 6
[4] Manaqib/hagiografi yakni studi sejarah terhadap keunggulan, ketokohan baik  in­te­­lek­tual, spiritual dan sosial seseorang. Hagiografi sufi benyak bermunculan se­ba­gai pe­ng­uat dalam pembentukan madzhab-madzhab Islam.
[5] Meskipun demikian kompleksnya pengertian sejarah secara ontologis dan epis­temo­logis seperti dijelaskan pada beberapa point di atas, namun kajian historiog­rafi sufi nam­paknya akan lebih dibatasi dan diarahkan untuk mencari penjelasan se­cara spesifik pada temuan tentang historisitas dan signifikansi Kitab Manaqib Syekh Abdul Qadir al-Jailany (disingkat KMSA) dalam historiografi Islam. Meskipun demi­kian, aspk-aspek ontologis dan epistemologis seperti yang disebutkan di atas, nam­pak­nya secara tidak langsung akan terakumulasi dan terlibat dengan sendirinya da­lam pembicaraannya. Ketika ber­bi­cara tentang historisitas KMSA, maka secara ti­dak langsung akan membicarakan tentang aspek-aspek kualitas dari kelima unsur di atas, meskipun mungkin hanya sambil lalu dan menempati penjelasan dengan se­ke­darnya saja.
[6] Munculnya aliran fenomenologi sebagai sebuah metode penelitian, adalah se­buah kri­­tik epistemologis terhadap dominasi metodologi sains modern yang berasal dari posi­vitisme, yang mengajarkan dominasi peneliti terhadap objek penelitian un­tuk meman­dangnya sebagai objek. Istilah objektivitas seringkali menjadi perde­bat­an dalam menen­tukan hasil penelitian. Padahal seringkali terjadi dalam prosesnya pe­nelitiannya, seorang pe­neliti sangat dominan dalam menentukan apa yang dikaji­nya. Sementara fenomeno­lo­gi yang asal mulanya dibangun oleh Edmund Husserl yang kemudian sejalan dengan pe­mikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre, mem­be­rikan peluang terhadap objek pene­litian bukan hanya sebagai objek tapi juga se­ba­gai subjek yang bisa menentukan pikiran si peneliti. Lihat Adam Kuper and Jessi­ca Kuper, The Social Science Encyclopedia, Rout­ledge USA, 2001, hlm. 603.     
[7] David Jary and Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology, hlm. 365.
[8] David Jary and Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology, hlm. 141.
[9] John Passmora, Expalanation in Everyday Life, in Science, and in History” dalam George H.Nadel (ed.) Studies in the Philosophy of History: Selected Essays from History and Theory, Harper Torchbooks, New York, 1965, hlm. 16-34.
[10] Quentin Lauer, Phenomenology: its Genesis and Prospect, Harper & Row, New York, 1959, hlm.79.
[11] Harold H. Titus et al., Living Issues in Philosophy, Wadsworth Publishing Compa­ny, Inc. California USA, 1979, hlm. 398.
[12] Adam Kuper and Jessica Kuper, The Social Science Encyclopedia, hlm. 603-604.
[13] Kuntowidjoyo, Penjelasan (Explanasi) Sejarah, Tiara Wacana, 2008.
[14] Harold H.Titus et al., Living Issues in Philosophy, hlm. 404-405.
[15] Muhyiddin Irbily, Tafrikh al-Khâtir fi Manâqib Syaikh ‘Abd al-Qadir, Mustaha Bab al-Halaby, 1328 H.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020