Historiografi Sufi dalam Perspektif Fenomenologi
Ajid Thohir
Historiografi Ulama
E. Oto Kritik terhadap Fenomenologi
Historiografi Ulama
Sejarah
sebagai disiplin ilmu sosial dan humaniora, masih memerlukan
kajian dan metodologis yang sangat luas dan komprehensif. Fenomena
kemanusiaan yang nyatanya sangat kompleks juga memerlukan wadah yang bisa
menghimpun,menampung secara utuh, bahkan berbagai upaya yang dapat
menjelaskannya. Realitas tersebut melibatkan bukan hanya
fenomena lahiriyah, tapi juga aspek-aspek bathiniyahnya yang sebenarnya juga
dominan melahirkan gerak sejarah.
Pandangan positivisme yang membatasi fenomena
sejarah hanya sebatas aspek-aspek lahiriyah, tidak bisa menyelesaikan dan
menjawab arti penting fenomena ruhaniyah dan sejumlah fenomena sejarah di dunai
Timur yang selalu saja mereka sebut sebagai mitos dan mistis. Sebagai sebuah
upaya bagi kajian ilmu humaniora, fenomenologi berupaya memahami bagaimana
realitas sufistik yang sangat penting dalam sejarah muslim itu dijelaskan.
Karena dalam historiografi Islam seluruh totalitas fenomena manusia telah
diwadahi secara utuh apa adanya. Inilah yang membedakan
antara historiografi Barat dan historiografi Islam.
A. Pendahuluan
Mengkaji pengertian sejarah secara komprehensif, akan melibatkan berbagai hal yang berkait
dengannya. Pertama, ia akan
berhubungan dengan situasi
ke-masalalu-an (kajian filosofis). Kedua,
akan berhubungan dengan berbagai jenis tulisan yang menggambarkan peristiwa-peristiwa ke-masalalu-an
dan para sejarawan yang melibatkan dirinya dengan berbagai kajian
masa lalu tersebut (kajian historiografi). Ketiga, berkaitan dengan rekaman sosial atau sikap masyarakat yang mengabadikan pada
ingatan masa lalu tersebut, yang ditunjukkan oleh cerita rakyat, termasuk mitologi
yang selalu hadir di tengah-tengah masyarakat mengenai sesuatu masa lalu tersebut (kajian antropologis). Keempat, menunjukkan disiplin ilmu
yang dikembangkan secara profesional dan akademik terhadap studi masa lalu tersebut
(epistemologi). Kelima, berkait
dengan kajian metodologis terhadap berbagai madzhab pemikiran tentang sejarah, teori dan metodologinya. [1]
Pada butir kelima ini Penulis tampaknya perlu mengulas dan mendiskusikan,
bagaimana upaya mengembangkan konsep dan metodologi baru untuk melihat dunia
sejarah dengan seluruh atributnya yang sangat kompleks itu, agar bisa dipahami
secara akademik. Mengingat objek kajian sejarah selalu bermuara mengenai bagaimana gambaran masa lalu tentang
keseluruhan dari totalitas aktivitas manusia. Apakah
fenomena spiritual/ruhaniyah seseorang yang seringkali membentuk dalam wujud
fakta mental dan seringkali dikaitkan sebagai bagian dari “memori” anak
manusia adalah juga bagian dari objek kajian sejarah? Apakah layak objek-objek
seperti itu dikaji secara historis? Bukankah perjalanan “Isra dan Mi’raj Nabi
Muhammad Saw. adalah juga telah disepakti oleh para ahli sejarah Islam disebut
sebagai realitas sejarah kenabian, bukan sebagai mitos? Menentukan teori dan
metodologi untuk membaca teks-teks sejarah Islam yang terkandung dalam
historiografi Islam, tampaknya perlu dikedepankan sebelum para
akademisi melakukan vonis terhadap realitas model-model
penulisan sejarah Islam.
B. Tinjauan Filosofis dan Metodologis
Salah satu objek kajian sejarah yang cukup unik adalah
kajian terhadap fenomena sufistik. Apakah
realitas sufistik itu mitos atau historis? Jika dipandang sebagai mitos
mengapa tulisan tentang realitas dunia sufi begitu banyak dituliskan secara
serius oleh para sejarawan muslim dan karya-karya mereka banyak digunakan
sebagai penguat bagi argumentasi keagamaan oleh para ulama dan cendikiawan
muslim. Ibn Taymiyah sebagai pioner dalam penegakan hukum oleh
fatwa-fatwanya yang sangat terkenal itu, juga menggunakan cerita sufi sebagai
argumentasi-argumentasi hukumnya.[2]
Oleh karenanya pengalaman-pengalaman sufistik yang unik dan subjektif itu, sebenarnya terkandung
realitas-realitas yang objektif sebagai fenomena sejarah. Hanya persoalannya
mereka yang belum pernah mengalami situasi dan kondisi sebagaimana yang para
sufi rasakan, selalu menegasikan, mengucilkan bahkan menuduhnya sebagai
mitos bukan sebagai realitas sejarah. Semua ini sebenarnya dipengaruhi oleh
cara berpikir generalisasi dan dominasi posistivisme, yang memandang bahwa
fenomena sejarah adalah fenomena yang bisa dirasakan oleh semua manusia.
Persoalnnya adalah, antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya tidak semuanya diberi
kesempatan yang sama yang bisa diukur secara bersama-sama. Menanamkan solusi
kesadaran bahwa pengalaman orang lain memang objektif adalah sesuatu yang
sangat mahal, bukan hanya memerlukan argumentasi serta nalar-nalar filosofis
yang rasional, tapi juga para ilmuan sejati perlu “keluar dari kungkungan”
untuk sementara dari pemujaan terhadap positivsisme.
Oleh karena itu realitas sufistik sebagai fenomena kesejarahan yang unik
dalam dimensi sejarah manusia memerlukan teori dan metodologi secara khusus pula,
termasuk kajian khusus juga terhadap model historiografi yang dimunculkannya.[3] Oleh karena itu upaya untuk memahami
dan menjelaskan secara utuh situasi dan kondisi apa yang menyebabkan
lahirnya historiografi sufi adalah wilayah
kajian yang tidak boleh dibaikan begitu saja, meskipun semua itu tentunya
dilakukan dengan berbagai keterbatasan akademiknya.
Mengkaji historiografi Islam khususnya tentang fenomena sufistik yang
selanjutnya lebih populer disebut manaqib (hagiografi sufi),[4] diperlukan kesadaran “emik” yakni
cara-cara yang empati namun kritis terhadap karya-karya sejarah mereka. Cara
yang dipakai salah satunya adalah melalui “review”
atas karya-karya sejarah yang dihasilkan mereka, secara konkrit tidak terlalu
menukik pada persoalan-persoalan teoritisnya tapi lebih pada aspek-aspek
empirisnya, seperti pada bentuk tulisan, ekspresi, interpretasi, redaksi dan
lain-lain. Hingga saat ini penulis menyadari, bahwa seluruh fenomena sufistik
atau yang pernah dilakukan para sufi, tentunya belum bisa sepenuhnya dipahami
dan dijelaskan secara hakikinya, apalagi secara menyeluruh tentang hal-hal
yang berkait dengan berbagai fakta kesejarahan dan keunikan semacam karamah-karamah
yang terjadi pada para wali, karena ada wilayah-wilayah yang menyangkut
dimensi spiritulitas.[5]
Secara khusus beberapa karya tentang sufisme sangat beragam, dari mulai
kajian tentang doktrin, maupun tentang refleksi pelaksanaannya yang banyak
dijelaskan dalam berbagai kisah-kisah sufisme. Karya historiografi tentang
sejarah sufisme, misalnya Abu Nu’aim, Hilyât
al-Awliyâ wa Thâbaqât al-Ashfiya; al-Hujwiry, Kasyf al-Mâhjûb; al-Sya’rany, Thâbaqât
al-Kubrâ. Demikian pula karya-karya berupa kitab manaqib yang secara
khusus mengupas biografi tokoh sufi tertentu misalnya, Yahya al-Tadafy, Qalâid al-Jawâhir fi Manâqib Syaikh ‘Abd
al-Qôdir; Muhammad Iyadl, Mafâkhir
al-‘Aliyyah fi Ma’atsir al-Syadziliyyah; dan Ibn al-Jauzy, Multaqath al-Hikâyat.
Gambar 1: Kategori Karya Tulis yang Berkait Erat
dalam Dunia Sufi
![]() |
|||||
|
|||||
![]() |
|||||

|
![]() |
|||
|
|||
Oleh karena itu menentukan grand theory yang relatif tepat untuk memotret objek historiografi sufi
--meskipun sebagiannya mungkin akan meminjam dari model dan metode penelitian
ilmu-ilmu sosial-- adalah sesuatu yang sangat mungkin untuk dilakukan. Hal ini
tentunya sebagai salah satu upaya untuk memudahkan dalam memetakan dan
melakukan pengkajian secara detil dari unsur-unsur dalam subjek penelitian ini.
Beberapa teori dan
metodologi atau bahkan beberapa aliran filsafat yang ada, juga telah dicoba
untuk bisa memotret subjek penelitian ini namun hasilnya kurang begitu
memuaskan. Mungkin dari sekian banyak model perspektif yang penulis anggap
relatif mendekati untuk melihat fenomena sufisme ini adalah fenomenologi.[6] Karena perspektif fenomenologi mengajarkan
mengenai subjek penelitian untuk membiarkan dirinya berbicara apa adanya.[7] Dalam kajian antropologi dan
sosiologi model penelitian yang seringkali
digunakan untuk memahami objek atau subjek penelitian dari dalam, adalah apa
yang biasa disebut sebagai “perspektif emic”,
tinjauan dari dalam. Lawannya adalah “perspektif etik” yang biasanya melihat objek penelitian dari luar objeknya. Terkadang si peneliti terus
melakukan penilaian, pengadilan dan investigasi terhadap sejumlah apa yang
mereka lihat.[8]
Selama ini kesalahan yang seringkali muncul adalah akibat terjadinya reduksi dan pengekangan
terhadap objek penelitian atau subjek materi yang dilakukan
oleh sejumlah peneliti yang belum memahami posisi dan keberadaan mereka dari dalam. Lantas dengan cepat mereka membuat kesimpulannya
sendiri, atau mereka divonis dengan kacamata si peneliti yang pada umumnya
berbeda dari dunia mereka sendiri.
Dalam kehidupan praktis sehari-hari, manusia memang
bergerak di dalam dunia yang telah diselubungi dengan penafsiran-penafsiran dan
kategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafatnya. Namun penafsiran-penafsiran
tersebut seringkali diwarnai oleh kepentingan-kepentingannya, situasi-situasi
kehidupan dan kebiasaan-kebiasaannya, sehingga ia telah melupakan “dunia apa adanya”, dunia kehidupan yang murni, tempat
berpijaknya segala bentuk penafsiran.
Dominasi paradigma positivisme selama bertahun-tahun
terhadap dunia keilmuan,
tidak hanya dalam ilmu-ilmu alam tetapi juga terhadap ilmu-ilmu sosial
bahkan ilmu humaniora, sehingga mengakibatkan munculnya
berbagai krisis ilmu pengetahuan. Persoalannya bukan penerapan pola pikir
positivistis terhadap ilmu-ilmu alam, karena hal itu memang sesuai, melainkan
positivisme juga melanda dan banyak mendominasi dalam pengembangan ilmu-ilmu
sosial, yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk historis.[9]
Problematika positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang
menghilangkan peranan subjek
dalam membentuk ‘fakta sosial’, telah mendorong munculnya upaya
untuk mencari dasar dan dukungan metodologis baru bagi ilmu
sosial dengan ‘mengembalikan’ peran subjek ke dalam proses keilmuwan
itu sendiri. Salah satu pendekatan tersebut adalah pendekatan
fenomenologi yang secara ringkas dibahas dalam uraian di bawah ini.
C. Fenomenologi sebagai Metode Ilmu
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati
fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang
nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan
suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat
mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang
fenomenolog hendak menanggalkan
segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena
sebagaimana adanya: "Zu den Sachen
Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).[10]
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin
keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang
berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu
mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang
fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi
berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang
menampakkan diri menuju kepada benda yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk
mencapai “Hakikat segala sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus
ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang
berarti: “menunda keputusan” atau
“mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan
yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan
putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran
adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal
penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda atau dikurung dulu dalam
kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.[11]
Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam:
1.
Method of historical
bracketing: metode yang
mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari adaptasi, agama maupun ilmu pengetahuan.
2.
Method of existensional bracketing: meninggalkan atau abstain terhadap semua
sikap keputusan, atau sikap diam dan menunda.
3.
Method of transcendental
reduction: mengolah data yang kita
sadari menjadi gejala yang
transendental dalam kesadaran murni.
4.
Method of eidetic
reduction: mencari esensi fakta,
semacam menjadikan fakta tentang
realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.
Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari
realitas yang dia amati.
Fenomenologi
sebagai sebuah metode penelitian sosial telah digagas dan
dikembangkan oleh Alfred Schutz dengan karyanya, Der sinnhafle Aufbau der sozialen Welt (1932) yang diterjemahkan
menjadi The Phenomenology of the Social World
(1967). Keberhasilannya dalam merumuskan metode penelitian fenomenologi ini
banyak didukung oleh para peneliti sosial dari New School for Social Research di New
York. Schutz mengupas pemikiran Max Weber tentang metodologi
ilmu-ilmu sosial, dan melakukan kritik terhadapnya, bahwa
pandangan sosiologi yang banyak berurusan dengan “pemahaman
interpretatif” terhadap tindakan sosial, perlu penjelasan lebih jauh
melalui “analisis fenomenologi” terhadap struktur realitas sosial dan
terhadap penafsiran realitas itu sendiri dalam penelitian
sosialnya. Peneliti harus bisa membedakan antara objek natural sciences (ilmu-ilmu alam) dengan social sciences (ilmu-ilmu sosial dan humaniora).[12]
Untuk kasus
kajian yang cukup rumit dan sulit dipahami oleh madzhab positivisme,
khususnya terhadap teks-teks sufi yang menggambarkan bagaimana historiografi
mengenai fenomena ruhaniyah manusia bisa dijelaskan secara objektif sebagai
fakta (mental), fenomenologi memberi jalan metodologi.
D. Kontribusi Fenomenologi terhadap Ilmu
Pengetahuan
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan
pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep
ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka
jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek
pengetahuan.
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt)
merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah
mengalami krisis akibat pola
pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta
sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah
terjadinya 'matematisasi alam' di mana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka).
Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis
telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami
kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis
tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah
unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia
sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau
merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi
yang sangat kaya kepada
ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia
sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja
lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan
terutama melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan
dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial
mendekati wilayah observasinya adalah
memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu
daripada para pelaku dalam dunia sosial itu sendiri. Oleh karena itu, dengan
cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya
ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia
harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan
itu. Dalam penelitian sosial lain disebut “partisipant observer”, peneliti yang terlibat dalam subjek yang
ditelitinya. Atau dalam antropologi bisa juga dikenal “perspektif
emic”, yakni
peneliti tidak akan memberi penilaian baik buruk, melakukan pengadilan atau
sejenisnya terhadap fenoma yang ditemukannya.[13]
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah
deskripsi atas sejarah dunia kehidupan (lebenswelt) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang
merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat
dari sudut intensionalitas
(kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek
intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana “endapan makna” yang
detemukan itu benar-benar direkonstruksi dari dunia kehidupan sosial, di mana banyak
subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan
dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang
harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini
artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses
terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
E. Oto Kritik terhadap Fenomenologi
Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena
sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam
teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu
pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang
benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya
sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi
menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial,
sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga
banyak dipakai oleh para ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai
kajian keilmuan mereka termasuk
bidang kajian agama.
Di balik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya
juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan
pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan
sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan
sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui
bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh
Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan
implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan
objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku
sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh
pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian
fenomenologis tidak pernah dapat terwujud secara sempurna.[14]
Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap
subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara
subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau
kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya
berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu
tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
fenomenologi merupakan
suatu metode analisis juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha
memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari
kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi
dunia ilmu pengetahuan. Ia telah
mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan
peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik –
saintistik.
Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara
kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi mana pun sebelumnya. Oleh
karena itu, oleh para fenomenolog,
fenomenologi dipandang sebagai rigorous
science (ilmu yang ketat). Hal
ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J. B. Connant, bahwa: "The scientific way of thinking requires the
habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions.
Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles”.
F. Contoh: Fenomena Ruhani dalam Historiografi Sufi
Konsep dan Fenomena Ruh Manusia dalam perspektif Sufi: Muhyiddin Irbily dalam karyanya Tafrikh al-Khatir,[15] digambarkan secara jelas antara halaman 4-6. Secara padat
ia menguraikan sebagai berikut:
Perjalanan ruh manusia melalui tiga
tahap:
Ketika ruh dalam alam kesendirin (arwah mujarradah)
Ketika ruh berinteraksi dengan jasad (arwah
mutasharrifah) untuk meraih kesempurnaan
duniawi dan ukhrawinya. Bentuk interaksinya seperti halnya
hubungan antara pengendara dan kendaraannya, dan posisi ruh sama sekali tidak menyatu dan tidak menetap dalam
tubuh. Berbeda halnya dengan ruh biologis (sel-sel senyawa) yang ada dalam
setiap makhluk hidup.
Ketika ruh terpisah dari tubuh (arwah
mufariqoh) saat kematian, namun ia masih akan tetap berinteraksi lagi
dengan tubuh pada saat kebangkitan, pengumpulan (khasyr), pengadilan (mizan), pengelompokan ke surga atau neraka (nasyr).
Ruh orang-orang yang sempurna dalam spiritualitasnya, memiliki tiga
eksistensi dan potensinya.
Menjelma secara material baik sebelum berinteraksi dengan tubuh, seperti halnya yang terjadi
pada ruh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika membebaskan Salman al-Farisi dari
terkaman binatang buas. Demikian juga ketika ruh berinteraksi dengan tubuh dan
sesudah ia terpisah dari tubuhnya, seperti penjelmaan orang-orang sempurna (al-mursyid al-kamil) kepada para
pecintanya dan kepada para muridnya dalam keadaan
terjaga melalui kontak bathin (rabithah)
maupun ketika ia dalam keadaan
tertidur melalui mimpi. Mereka bisa berdialog dan memberi petunjuk kepada para murid-muridnya. Fenomena lain dari ruh orang yang
demikian, bisa menjelma menjadi beberapa person pada waktu yang bersamaan di
dalam ruang dan tempat yang berbeda. Seperti yang terjadi pada Qadlib al-Ban
al-Maushily sebagaimana dicerita oleh kitab-kitab mereka. Kejadian ini bisa
juga terjadi pada setelah ruh mereka terpisah dari jasad, seperti halnya
Rasulullah Saw. saat malam Mi’raj melihat ruh para Nabi di langit dan shalat
bersama mereka di Bait al-Maqdis.
Ruh beraktivitas dalam jasad agar jasad bisa merefleksikan diri menjadi
ruhaniyah yang bercahaya (ruhaniyah
nuraniyah). Seperti yang terjadi pada jasad Nabi Muhammad Saw. karena
asal penciptaan beliau berasal dari nuraniyah
dan ruhaniyahnya berasal dari rahasia alam malakut (sirru malakutiyu) sehingga oleh karenanya beliau tidak terlihat bayangannya
sendiri di muka bumi, baik di pagi hari maupun sore harinya. Demikian juga
jasad Bilal dan Uais Qarny seperti adanya, sebagaimana diriwayatkan dalam Kitab Muntakhab Kanzul ‘Umal dari Abu
Hurairah ra. Bahwasanya Rasululullah Saw. bersabda, Wahai Bilal! Ceritakan padaku
amalan yang paling engkau andalkan manfaatnya dalam Islam, karena aku tadi
malam mendengar gerak sandalmu di hadapanku di surga. Dia menjawab,
“aku tidak melakukan amalan yang lebih aku
harapkan kecuali bahwa setiap aku wudhu baik siang
maupun malam, pasti aku melakukan shalat sunat dengan wudhu itu dengan sekemampuanku.
Diriwayatkan juga dari Abdullah bin Buraidah
ia berkata: bahwa Rasulullah Saw. berkata, “Surga ditampakkan kepadaku, dan
aku melihat istri Abu Thalhah di dalamnya (Ummu Sulaim), kemudian aku mendengar suara sandal dihadapanku,
ternyata ia adalah Bilal”. Dalam riwayat Jabir Rasulullah bersabda, “aku
masuk surga lalu aku mendengar suara sandal, maka
aku Tanya, “Suara apa ini”? Mereka menjawab, “Itu suara sepatu al-Ghamisha binti Milhan”.
Tertulis dalam sebagian catatan guru sufi, Rasulullah Saw. melihat dari
jarak yang sangat dekat sekitar dua meter seorang laki-laki duduk di tempat yang mulia di hadapan Allah
Swt., dengan berselimut seluruh tubuhnya. Maka aku
cemburu dan berkata, Wahai Tuhanku ini tempat yang
terhormat, siapa laki-laki ini? Maka terdengarlah suara dari (arah) Allah Swt.,
ini adalah Uais Qarny, ia istirahat setelah tujuh puluh tahun dan
ia meminta kepada-Ku agar Aku menyembunyikan dan merahasiakannya, maka Aku
mencintainya.
Ruh berinteraksi dengan benda-benda materi yang mewujud dalam bentuk yang lembut (jism lathif). Terkadang hal ini
dilakukan oleh para malaikat dan jin seperti yang terjadi pada penampakan singgasana Bilqis ketika Nabi Sulaiman
memintanya agar singgasananya dihadirkan di hadapannya.
Sebagaimana di ceritakan dalam al-Qur’an dalam sekejap mata singgasana itu
muncul di hadapan keduanya. Kehadiran singgasana
secara proses material nampaknya tidak mungkin bisa terjadi, kecuali hal itu
dilakukan oleh potensi jims lathif
yang berinteraksi melalui doanya Ashaf bin Barkhiya As., atau atas kerja
ruhaniyahnya.
Ketahuilah bahwa emanasi ruh sempurna (yakni ruh orang-orang yang telah
disempurnakan) merefleksi dalam tiga bentuk:
1. Memberikan pengajaran di alam lahir
melalui perkataan dan berhadapan (tatap muka)
seperti biasa dalam pengajaran umum.
2. Tidak melalui menampakkan fisik,
akan tapi proses pengajaran terus berjalan antara si pendidik dan yang di
didik, seperti halnya pengajaran Nabi Muhammad Saw. terhadap Uais al-Qarni
yang juga hidup sezaman, tapi ia dengan Nabi tidak bertemu secara fisik. Bentuk pendidikan ruhani yang
juga tidak terjadi melalui pertemuan jasad fisik antara Imam
Ja’far al-Shadiq terhadap Abu Yazid yang berjauhan dalam
kurun waktu kehidupannya, namun antara keduanya terjadi proses
penyampaian pengetahuan. Begitu juga pendidikan Nabi Muhammad Saw. kepada
umatnya setelah beliau tiada.
3. Bentuk pendidikan melalui mimpi,
sebagaimana biasa dilakukan oleh ruh-ruh suci terhadap mereka-mereka yang
dikehendaki Allah Swt.
Dengan demikian para ulama tasawuf menyebut dua model komunikasi ruhani yakni jenis kedua dan
ketiga (tarbiyah ruhaniyah tanpa muwajahah
dan musyafahah serta pendidikan ruhani
melalui mimpi) disebut pendidikan ruhani melalui Emanasi Barakah (faidl al-barakah).
Pendidikan terhadap Ruh yang masih di alam kesendiriannya, contohnya seperti ruh Nabi Muhammad
Saw. memberikan pengajaran kepada ruh para nabi. Pengajaran
demikian dinamakan dengan tarbiyaturruh.
Pada dasarnya bentuk pendidikan ruhani yang sempurna adalah adanya
keselarasan yang hakiki antara pendidik dan yang dididiknya. Keselarasan yang sempurna
dicirikan oleh adanya tiga aspek, yakni dengan melaksanakan dan merasakan (al-qidam),
dengan ucapan atau tutur kata yang benar (lisan
al-shidq) dan dengan hati yang benar (al-qlb
al-shadiq).
Al-qidam yakni melaksanakan dan merasakan
seluruh perjalanan ruhaninya dengan berpedoman pada etika tasawuf dan
perjalanan suluk si salik dalam rangka mengembangkan akhlak, ibrah dan maqamat jiwa, qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa.
Lisan al-shidq adalah istilah penanaman
kesempurnaan terhadap para pencari kebenaran ruhani dengan sejumlah
pengetahuan sebagaimana yang Allah Swt. ajarkan
melalui wahyu, ilham dan melalui pendengaran ajakan dari Allah atau dari para
malaikat-Nya atau dari mereka yang memiliki penuturan yang benar (para
mursyid). Mereka para mursyid tersebut,
perkataannya benar, syafaatnya telah diterima, doa-doa-nya terkabul, ilmunya menapaki jalan kebenaran, menjauhkan
kebathilan, menyingkapkan berbagai rahasia makna, kata-katanya terbukti, talqinnya
bisa menembus dan mengantarkan kepada al-mathlub
al-haqiqy (Allah Swt.). Ia telah dianugrahi oleh karamah seperti itu.
Al-qolb al-shadiq bisa dipahami dengan dua
pengertian: (1) Yakni tersingkapnya berbagai
peristiwa yang ghaib dan yang nampak di dalam hati orang yang sempurna dan
disempurnakan oleh Allah Swt., yang tergambar secara jelas baik dalam keadaan
terjaga maupun melalui mimpinya. Hal demikian
karena kapasitasnya sebagai insan kamil sehingga ia memiliki kemampuan untuk
menangkap fenomena kegaiban tersebut. (2) Yakni
terkuasainya makna-makna hakiki tentang sesuatu yang
tidak bisa dijelaskan dalam bahasa ilmiah. Dalil naqli tentang hal ini sebagaimana
dijelaskan dalam al-Qur’an: ma kadzaba
al-fuadu ma ra’a; hati nurani tidak akan membohongi apa yang terlihat dalamnya.
Ayat berikutnya: fa awha ila ‘abdihi ma
awha, maka Allah mewahyukan kepada hamba-Nya apa pun yang akan Ia wahyukan.
Mengetahui penjelasan tentang fenomena ruhani orang-orang sempurna di
atas, cukup untuk menghilangkan keraguan dan kebimbangan orang-orang yang lemah keyakinannya
ketika mendengarkan manaqib para awliya Allah.
G. Penutup
Demikianlah beberapa persoalan
penelitian yang seringkali dialami para peneliti ketika menentukan potret yang hendak digunakan saat mengamati objek yang ditekuninya. Dalam kaca mata fenomenologi, objek penelitian sebaiknya tidak lagi disebut sebagai “objek penelitian”, namun harus dipandang sebagai sesuatu yang lebih
manusiawi dan lebih hidup (humanities, humaniora) dalam memberikan kontribusi pengetahuan kepada peneliti. Sehingga harus diperlakukan sebagai “subjek penelitian”, bukan dipandang sebagai “objek”. Karena keberadaannya yang akan mengantarkan pada objektivitas sebuah penelitian.
Namun demikan, sebenarnya belum
ada kata final bagi para sejarawan dalam menggambarkan “tentang sesuatu” atau “objek sejarah”, mengingat penjelasan sejarah selalu berangkat dari sejarawan
sendiri dengan berbagai multi interpretatif-nya. Namun pesan moral dari pemikiran fenomenologi ini, adalah untuk membekali
kepada para sejarawan agar tidak melakukan interpretasi dan rekonstruksi
seenaknya terhadap apa yang dikajinya. Semoga.
Daftar Pustaka
Adam
Kuper and Jessica Kuper. 2001. The
Social Science Encyclopedia, Routledge USA.
Carr, Edward Hallet. 1976. What is History. London:
Penguin Paper Back.
Hasan
al-Syârqawy. 1987. Mu’jam Alfâdl
al-Shûfiyyah. Kairo: Muassasah Mukhtâr.
Ibn
Taymiyah. 1990. Majmu’ al-Fatawa, Juz 8-10. Dār al-Fikr.
Jary, David and Julia Jary. 1991. The Harper Collins Dictionary of Sociology. USA: Harper Perenial.
Kuntowidjoyo.
2008. Penjelasan (Explanasi) Sejarah. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Muhyiddin Irbily. 1328 H. Tafrikh
al-Khâtir fi Manâqib Syaikh ‘Abd al-Qôdir. Mustaha Bab al-Halaby.
Nadel, H. (ed.). 1965. Studies in the Philosophy of History: Selected Essays from History and
Theory. New York: Harper Torchbooks.
Quentin
Lauer. 1959. Phenomenology:
Its Genesis and Prospect. New York: Harper and Row.
Rahman, M. Taufiq. "Rasionalitas Sebagai Basis Tafsir
Tekstual (Kajian atas Pemikiran Muhammad Asad)." Al-Bayan: Jurnal
Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir 1.1 (2016): 63-70.
Titus, Harold H. et al. 1979. Living Issues in Philosophy. California:
Wadsworth Publishing Company,Inc.
[1] Edward Hallet Carr, What is History, Penguin Paper Back, London, 1976: 1-36; David Jary and Julia Jary, The Harper Collins Dictionary of Sociology, Harper Perenial, USA,
1991, hlm. 212.
[2]
Lihat karya Ibn Taymiyah dalam Majmu’
al-Fatawa juz 8-10 ketika menjelaskan perbedaan dan kriteria-kriteria
antara awliya al-Rahman dan awliya al-Syaithon dengan jelas mengutip
cerita-cerita sufistik, khususnya manaqib Syaikh Abdul Qodir al-Jailany.
[4]
Manaqib/hagiografi yakni studi
sejarah terhadap keunggulan, ketokohan baik
intelektual, spiritual dan sosial seseorang. Hagiografi
sufi benyak bermunculan sebagai penguat dalam pembentukan madzhab-madzhab
Islam.
[5] Meskipun demikian kompleksnya pengertian sejarah secara ontologis dan epistemologis
seperti dijelaskan pada beberapa point di atas, namun kajian historiografi
sufi nampaknya akan lebih dibatasi dan diarahkan untuk mencari penjelasan secara
spesifik pada temuan tentang historisitas dan signifikansi Kitab Manaqib Syekh
Abdul Qadir al-Jailany (disingkat KMSA) dalam historiografi Islam. Meskipun demikian, aspk-aspek ontologis dan
epistemologis seperti yang disebutkan di atas, nampaknya secara tidak langsung akan
terakumulasi dan terlibat dengan sendirinya dalam pembicaraannya. Ketika berbicara
tentang historisitas KMSA, maka secara tidak langsung akan membicarakan tentang aspek-aspek kualitas dari kelima
unsur di atas, meskipun mungkin hanya sambil lalu dan menempati penjelasan
dengan sekedarnya saja.
[6] Munculnya aliran fenomenologi sebagai sebuah metode
penelitian, adalah sebuah kritik epistemologis terhadap dominasi metodologi
sains modern yang berasal dari posivitisme, yang mengajarkan dominasi peneliti
terhadap objek penelitian untuk memandangnya sebagai objek. Istilah objektivitas
seringkali menjadi perdebatan dalam menentukan hasil penelitian. Padahal seringkali
terjadi dalam prosesnya penelitiannya, seorang peneliti sangat dominan dalam
menentukan apa yang dikajinya. Sementara fenomenologi yang asal mulanya dibangun
oleh Edmund Husserl yang kemudian sejalan dengan pemikiran eksistensialisme
Jean Paul Sartre, memberikan peluang terhadap objek penelitian bukan hanya
sebagai objek tapi juga sebagai subjek yang bisa menentukan pikiran si peneliti. Lihat
Adam Kuper and Jessica Kuper, The Social
Science Encyclopedia, Routledge
USA, 2001, hlm. 603.
[9] John Passmora, Expalanation in Everyday Life, in
Science, and in History” dalam George H.Nadel (ed.) Studies in the Philosophy of History: Selected Essays from History and
Theory, Harper Torchbooks, New York, 1965, hlm. 16-34.
[11] Harold H. Titus et al., Living Issues in Philosophy, Wadsworth Publishing Company, Inc.
California USA, 1979, hlm. 398.
[15] Muhyiddin Irbily, Tafrikh
al-Khâtir fi Manâqib Syaikh ‘Abd al-Qadir, Mustaha Bab al-Halaby, 1328 H.
Komentar
Posting Komentar