CIVIL MESTI PUNYA CIVILITY
M. Taufiq Rahman
Dalam Bahasa Inggris, ada kata yang kait
mengait antara satu dengan lainnya: civil
(rakyat), civility (keadaban), dan civilization (peradaban). Dan semua itu
dapat kita gabung dalam satu kata yang menyatukan ketiganya, yaitu karakter,
sebagai sifat khas manusia.
Tidak dapat disangkal bahwa persoalan
karakter dalam kehidupan manusia di muka bumi sejak dulu sampai sekarang dan
juga zaman yang akan datang, merupakan suatu persoalan yang besar dan penting,
kalau tidak dikatakan persoalan hidup dan matinya suatu bangsa. Fakta-fakta
sejarah telah cukup banyak memperlihatkan kepada kita bukti bahwa kekuatan dan
kebesaran suatu bangsa pada hakikatnya berpangkal pada kekuatan karakternya,
yang menjadi tulang punggung bagi setiap bentuk kemajuan lahiriah bangsa
tersebut.
Sebaliknya, kejahatan atau kehancuran
suatu bangsa diawali dengan kemerosotan karakternya, walaupun kelemahan atau
kehancuran itu buat sementara masih dapat ditutup-tutupi dengan
kemajuan-kemajuan lahiriah, dan kekuatan-kekuatan lahiriah itu pada hakikatnya
tidak mempunyai “urat” lagi dalam jiwa bangsa itu.
Bukanlah suatu hal yang terlalu sulit
untuk dipahami, bahwa ketika dalam masyarakat suatu bangsa telah sangat sedikit
orang-orang yang dapat dipercaya, kedustaan dan kecurangan telah merajalela, si
kuat memakan dan menzalimi si lemah dengan seenaknya, dan si cerdik menipu si
bodoh semau-maunya saja; bangsa itu sudah menjadi liar. “Manusia menjadi
serigala bagi manusia lainnya” (homo
homini lupus), dan berbagai ungkapan lainnya. Dalam kondisi ini ketentraman
dan kebahagiaan hidup akan sangat sulit dapat diwujudkan.
Ketika kita menyadari bahwa kita, sebagai
manusia, mempunyai dua unsur pokok (yaitu jasmani dan rohani), dan rohani
itulah yang memegang “komando” terhadap jasmani, maka jelaslah bahwa
pembicaraan karakter manusiawi adalah menyangkut bidang kerohanian.
Maka, usaha pendidikan karakter
sungguh-sungguh sangat diperlukan dewasa ini. Demikian karena, pendidikan
karakter dapat menahan kemerosotan karakter dalam hari-hari mendatang. Selain
itu, pendidikan karakter juga dapat meningkatkan mutu karakter generasi
sekarang dan yang akan datang.
Sebagaimana dimaklumi, karakter manusiawi
itu dalam bentuknya yang baik dan buruk dapat menimbulkan akibat-akibat
berantai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan karakter yang
baik di waktu sekarang, bukan saja akan memperbaiki kehidupan dan masyarakat
kita sekarang saja, tetapi juga akan menjadi landasan yang baik dan teguh untuk
generasi-generasi kita yang akan datang.
Sewaktu manusia lahir dari rahim ibunya,
secara alamiah ia sudah membawa perasaan yang disebut dengan fitrah (keadaan
suci) manusia. Ada lima fitrah manusia yang dibawa semenjak lahir ke dunia,
yaitu: perasaan agama, perasaan intelek, perasaan budi pekerti, perasaan
keindahan, dan perasaan keakuan.
Perasaan-perasaan itu selalu tumbuh dan
berkembang pada diri seseorang sesuai dengan keadaan lingkungan, keluarga, rumah
tangga, pendidikan, dan tuntunan-tuntunan yang mempengaruhi jiwanya; dan
karakter itupun harus dipupuk, dibiasakan, dipelihara, disempurnakan dan
dipimpin, barulah ia dapat mencapai kesempurnaan.
Menurut filsafat manusia, hakikat manusia
itu ada tiga, yaitu: (1) manusia sebagai makhluk moral, yaitu berbuat sesuai
dengan norma-norma susila; (2) manusia sebagai makhluk individual, yaitu
berbuat untuk kepentingan diri sendiri; (3) manusia sebagai makhluk sosial,
hidup bermasyarakat, bekerja sama dan tolong menolong. Ketiga hakikat manusia
itu harus berkembang dan mendapat bimbingan dan pengarahan yang benar semenjak
kecil sampai dewasa, bahkan sampai usia lanjut.
Oleh karena manusia adalah makhluk
individu sekaligus juga anggota masyarakat, maka ia bebas memikirkan dan
mementingkan diri sendiri menurut kehendaknya. Tetapi di dalam kebebasan dan
berbuat untuk kepentingan pribadi itu, ia amat bergantung kepada orang lain,
malah kepada beberapa orang atau golongan, atau dengan kata lain: manusia tidak
dapat berdiri sendiri sebagai individu tetapi selalu menuntut bantuan dan
pertolongan orang lain serta memerlukan kerja sama untuk membina keselamatan
diri atau masyarakatnya.
Semakin sempurna pergaulan hidup, semakin
sempurna pula keselamatan individu. Begitu pula, semakin aman keadaan individu,
akan semakin aman pula keadaan masyarakat. Dengan demikian, antara individu
dengan individu lainnya harus ada interaksi. Dalam hal ini perilaku dan
kesopanan seseorang harus dapat disesuaikan dengan kehendak dan kemauan orang
lain atau masyarakat sekelilingnya. Jika masing-masing individu hanya
berpedoman kepada kepentingan dan kesenangan-kesenangan dirinya sendiri, tanpa
memikirkan dan memperhatikan kepentingan orang lain, atau tidak mau
menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat, maka akan terjadi
kekacauan-kekacauan dan bentrokan-bentrokan dalam masyarakat yang sulit untuk
didamaikan dan ditertibkan.
Maka, untuk mencapai ketenteraman dan
ketertiban hidup bersama (bermasyarakat) diperlukan adanya tata tertib,
tata-krama, sopan-santun, dan terpeliharanya kepentingan bersama dan
tata-susila dalam masyarakat tersebut. Di sinilah pentingnya etika, moral, dan
karakter untuk keselamatan pribadi ataupun untuk ketertiban dan perdamaian
manusia.
Semakin tinggi keadaban (civility) dan peradaban (civilization) tiap-tiap individu dalam
masyarakat semakin tinggi pula derajat masyarakat itu. Kebalikannya, masyarakat
bobrok dan kacau di mana masing-masing orang tidak menghormati dan mematuhi
nilai-nilai dan norma-norma kesopanan, maka masyarakat itu akan sulit
ditertibkan; bentrokan-bentrokan akan terjadi; hak asasi manusia diinjak-injak;
kejahatan akan menjadi-jadi; wanita akan menjadi bola permainan; undang-undang
tidak dapat menjadi hakim. Manusia tidak lagi mencari kebenaran dan keadilan.
Yang menjadi simbol adalah, “yang lemah akan kalah; yang kuat akan berkuasa.”
Berlakulah hukum rimba. Kita tidak lagi menjadi makhluk moral, yang membedakan
kita dengan binatang. Tanpa civility,
kita memang bukan civil, uncivilized, tak beradab.
Komentar
Posting Komentar