PENYAKIT BANYAK BICARA
Oleh: M. Taufiq Rahman
Orang Indonesia, dikatakan, adalah orang yang selalu
banyak bicara, tidak banyak berbuat. Sehingga, apabila ada lalat masuk ke
minuman kita, kita harus rapat dulu, harus dibagaimanakan ini. Orang lain
mungkin hanya buang saja semuanya, lalu ganti minuman. Atau dibuang saja
lalatnya, terus airnya diminum. Tetapi orang kita harus banyak omong dulu, dan
belum tentu diikuti dengan tindakan.
No Action
Cerita tentang orang Indonesia ini bukan mengada-ada.
Banyak sudah kita melihat bahwa kita adalah bangsa yang lebih banyak omong
daripada bertindak. Kita lihat saja kehidupan sehari-hari. Jika anak-anak
Indonesia mau pergi ke suatu tempat, mereka akan rapat dulu dan terjadi
perbantahan yang cukup lama. Tetapi jika kita lihat anak-anak Malaysia, apabila
hendak pergi. Hanya salah satu dari mereka mengajak pergi, anak-anak lain
langsung saja ikut, tanpa percekcokan terlebih dahulu.
Barangkali kita punya karakter demokratis, sehingga
segala sesuatu “harus dibicarakan.” Tetapi demokrasi memang selalu menuntut
banyak omong yang tidak perlu. Kita sudah melupakan azas “musyawarah untuk
mufakat.” Kita perlu berdebat, walaupun ketika sudah berdebat, ditanyakan
kepada diri kita, apa memang perlu omong-omong demikian? Kita katakan, ya…kan
kita perlu eksis, perlu menampakkan bahwa kita itu ada, pandai, dan sebagainya.
Lalu keputusannya? Ya, pasti itu-itu saja. Orang yang bekerja? Itu-itu saja,
dan begitu-begitu saja.
Walhasil, demokrasi kita tidak memberi apa-apa
kemajuan dan kebaikan pada diri kita, kecuali sebagai panggung tampil-menampil.
Dan setiap orang adalah “harimau.”
Bukan, bukan bahwa setiap kita adalah orang yang hebat-hebat, tetapi bahwa
setiap kita adalah orang yang “banyak omong” (talk much). Kan ada pepatah, “mulut kamu harimau kamu, mengerkah
kepala kamu.” Jadi karena kita banyak omong, omongan kita itu ibarat harimau,
yang akan mengerkah kepala kita sendiri.
Tidak percaya? Coba kita telisik, betapa banyak
kata-kata kita yang menyerang kita sendiri. “Kita bukannya ngomongin orang ya, sebenarnya…,” setelah itu kita ngomongin orang. “Bukannya ngegosip ya, tetapi…,” kemudian bikin gosip.
Lalu, kita sering ngomong bahwa orang lain salah, jelek, dan sebagainya. Tetapi
kita juga salah, jelek, dan sebagainya. Kita juga sering sekarang bicara A,
besok bicara B dalam masalah yang sama.
Tetapi peribahasa di atas lebih ngeri daripada itu. Konteks peribahasa itu menunjukkan bahwa kita
bisa kehilangan kepala kita –alias mati—apabila kita bicara sembarangan. Ini
memang titik terekstrem dari kebiasaan terlalu banyak bicara, sehingga
terlebih-lebih kata.
Talk Only
Cuma bicara saja atau omong doang (omdo) memang
jelek. Tidak akan ada apa-apa setelah bicara. Tetapi, bukan hanya itu. Kita
harus terus terang katakan bahwa lebih banyak bicara daripada kerja itu juga buruk.
Karena bahwa kerja kita itu terhalang oleh bicara. Sekarang, kita lihat, bangsa
mana di dunia ini yang banyak omong, terus sukses. Tidak ada kan? Orang Jepang,
pendiam. Orang Inggeris, kurang bicara. Tetapi mereka adalah para penemu dan
orang-orang yang efisien. Tidak heran jika mereka menguasai dunia.
Yang banyak omong, katanya, adalah bangsa-bangsa yang
kurang sukses. Konon di Barat, apabila masuk kereta api, kemudian ada
orang-orang saling bicara, sehingga cukup riuh. Orang yang masuk itu akan
bergumam, “Spanish,” orang Spanyol.
Majukah Spanyol? Tidak, dibanding negara-negara Eropa lainnya, terutama Eropa Barat.
Lalu, kita akan meniru siapa?
Sebetulnya kita tidak perlu meniru siapa-siapa. Kita
sendiri sudah tahu. Peribahasa di atas mengajarkan kepada kita untuk jangan
banyak omong, karena omongan kita itu bisa mencelakakan kita sendiri. Gara-gara
saling menghina, kita bisa saling bunuh. Gara-gara kebohongan kita, nyawa kita
bisa terancam. Sudah sadarkah bahwa nyawa kita itu tidak berharga pada
hari-hari ini? Ini tentu berkaitan dengan cara dan isi kita bicara. Kita ngomong
siap membayar kartu kredit bulanan, padahal kita tidak bisa. Lalu bagaimana? Debt collector datang, menyumpah serapah
kita, bahkan mengancam nyawa kita.
Setiap hari kita dikabarkan adanya tawuran antar
pelajar, antar kampung, bahkan antar mahasiswa, antar anggota Dewan. Apa
sebetulnya yang terjadi? Apa yang perlu diperjuangkan, sehingga harus
mengorbankan nyawa kita? Apa nilai yang kita agungkan sehingga kita harus stress dan saling mencakar, setiap hari?
Apakah kebenaran, keadilan, kejujuran, atau hanya uang, uang, dan uang? Lalu
untuk apa uang itu? Untuk hidup dan kehormatan? Kalau tujuannya memang hidup
dan kehormatan, haruskah kita wujudkan dengan hanya “uang” semata?
Di sini kita harus kembali berpikir, tentang apakah
kita, siapa kita, apa tujuan hidup kita, apa kerjaan kita sehari-hari, bagaimana cara kita menempuh cita-cita
kita, efisiensi cara kerja kita. Dan sebagainya.
Komentar
Posting Komentar