MASIH MEMIMPIKAN NEGARA ISLAM INDONESIA

Budi Rahayu Diningrat, S.Sos., M.Ud.

Salah satu peristiwa penting yang meninggalkan bekas dalam catatan sejarah negeri ini adalah berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di awal masa kemerdekaan. Topik ini memang selalu dan akan tetap menarik untuk diperbincangkan, lengkap dengan segala pendapat para ahli maupun saksi­-saksi sejarah. NII adalah kependekan dari Negara Islam Indonesia, sebuah gerakan keislaman atau Harakah Islamiyyah[1] yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia. Gerakan ini pernah memproklamasikan berdirinya NKA-NII pada 07 Agustus 1949. NKA-NII disebut juga Darul Islam atau yang disingkat DI[2], komandan tertinggi sekaligus pendiri gerakan ini bernama Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo[3], biasa disingkat S.M. Kartosoewiryo; salah seorang tokoh Masyumi Jawa Barat dan juga pernah menjadi murid dari pahlawan Indonesia, HOS. Cokroaminoto.
Sebenarnya ide tentang Negara Islam ini bukan hasil pemikiran SM. Kartosoewirjo semata, melainkan dia mencoba menindaklanjuti rekonstruksi khilafah yang telah digulirkan oleh HOS. Cokroaminoto dan beberapa ulama dari berbagai belahan dunia pada tahun 1926 di Arab, dengan menyusun brosur hijrah PSII dan mendirikan Institut shuffah di Malangbong. Institut shuffah ini merupakan suatu laboratorium pendidikan, tempat mendidik kader-kader mujahid yang nantinya melahirkan pembela-pembela Islam dengan ilmu Islam yang sempurna dan keimanan yang teguh. Alumnus shuffah kemudian menjadi cikal bakal laskar Hizbullah­ dan Sabilillah[4], laskar inilah yang pada akhirnya menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).
Namun, dalam berbagai publikasi pemerintah dan militer yang terbit sejak 1950-an, DI dinyatakan sebagai gerakan pengacau keamanan[5]. Bahkan di dalam arsip nasional maupun buku-buku sejarah nasional Indonesia yang resmi digunakan di SD, SMP dan SMA/SMK di seluruh Indonesia, Darul Islam mendapat stigma sebagai pemberontak yang mengganggu stabilitas negara, gerakan berbahaya yang perlu ditumpas habis sampai ke akar-akarnya. Pemerintah menghabisi gerakan ini dengan berbagai macam dalih dan cara, baik operasi intelejen, penyusupan, adu domba, perusakan nama maupun operasi militer. Melalui operasi militer inilah akhirnya S.M. Kartosoewiryo tertangkap pada 4 Juni 1962, kemudian ia dieksekusi mati pada tanggal 5 September 1962 di sebuah pulau di teluk Jakarta. Beliau meninggalkan seorang istri Siti Dewi Kulsum dan 12 orang anak.[6]
Setelah Kartosoewiryo wafat, NII terpecah menjadi beberapa faksi, karena terjadi perselisihan paham dan pendapat tentang siapa yang lebih berhak menggantikan posisi Imam NII: Pertama, Kubu Mujahidin dalam wadah Sabilillah di bawah komando Adah Djaelani Tirtapradja. Kubu Sabilillah ini pecah lagi menjadi beberapa faksi, yaitu Faksi Abdullah Sungkar[7], yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, faksi Atjeng Kurnia yang meliputi wilayah Bogor, Serang, Purwakarta, dan Subang, faksi Ajengan Masduki yang meliputi wilayah Puwokerto, Subang, Cianjur, Jakarta dan Lampung, faksi Abdul Fatah Wiranagapati yang meliputi wilayah Garut, Bandung, Surabaya dan Kalimantan, dan faksi Gaos Taufik yang meliputi wilayah Pulau Sumatera. Kedua, Kubu Mujahidin dalam wadah Fillah di bawah komando Djaja Sujadi. Ia adalah Menteri Keuangan[8] pada masa Kartosoewiryo dan diangkat oleh para elite NII menjadi Penanggungjawab DI Fillah pasca Kartosoewiryo. Namun, ia tidak banyak berkiprah karena setelah beberapa bulan diangkat, ia dibunuh oleh salah seorang elite NII.[9] Kemudian tampuk kepemimpinan diserahkan ke Bakar Misbah[10] sebagai Penanggungjawab DI Fillah ke dua, ia menjalani sisa hidup di Kampung Babakan Cipari bersama kelima anaknya.
Sama halnya dengan Jaja Sudjadi, DI Fillah yang dipimpin Bakar Misbah pun tidak berani menampakkan dirinya ke permukaan karena kondisi pada saat itu berada pada dominasi militer yang sangat refresif. Setelah Bakar Misbah meninggal, tampuk kepemimpinan DI Fillah diteruskan oleh anaknya yang bernama Sensen Komara Bakar Misbah. Sepeninggal sang ayah, Sensen bergabung dengan keturunan pengikut Darul Islam yang lain dan diangkat menjadi Penanggungjawab ketiga atas hasil munajat dari para anggota DI Fillah tersebut, ia mengaku telah menghidupkan kembali NII di kampung para petani itu. Sensen anak kedua Bakar Misbah, mendeklarasikan diri sebagai imam ke-15, rumahnya yang berukuran 11 x 11 meter berdinding bambu dan berlantai papan dijadikan pusat komando serta menjadi pusat pemerintahan atau Istana Negara NII. Di sana tidak nampak simbol-simbol kenegaraan NII, apalagi simbol RI seperti gambar Presiden dan Burung Garuda. Di ruangan tamu, hanya ada foto Kartosoewirjo berukuran kuarto.[11]
Awalnya keberadaan NII Fillah ini tertutup dan tidak banyak diketahui oleh khalayak umum, bahkan oleh sebagian besar eks anggota NII sendiri. Sebagian besar dari mereka berkeyakinan bahwa NII sudah mati. Salah seorang diantaranya adalah Abdul Fatah Wirananggapati (mantan kuasa usaha DI). Ia menyatakan bahwa saat ini NII sudah tidak ada lagi karena NII sudah mati.[12] Masyarakat pun berkeyakinan bahwa paham dan gerakkan DI atau NII hanya tinggal sejarah. Namun beberapa tahun ke belakang, tepatnya ketika tahun 1999 masyarakat bahkan pemerintah dibuat heboh, ketika Sensen bersama anggotanya secara terang-terangan menolak terhadap Pemilu pada waktu itu, dengan alasan bahwa Pemilu yang diadakan pada tahun 1999 itu inkonstitusional dan mengkhianati terhadap Undang-undang 1945.
Kemudian pada tahun 2008, lagi-lagi Sensen dan anggotanya membuat geger khalayak umum setelah diangkat di sebuah media koran atas pengibaran bendera Merah Putih bergambar Bulan Bintang, di Kampung Babakan Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Akibat insiden pengibaran bendera tersebut, Sensen bersama kedua menterinya ditangkap kepolisian. Tapi Sensen dilepas karena jiwanya dianggap "terganggu". Sebaliknya, dua menterinya divonis Pengadilan Negeri Garut tiga tahun enam bulan penjara pada 15 Oktober 2008. Dari sinilah informasi tentang NII Fillah terus berkembang sedemikian cepat. Ia dipublikasikan bukan hanya oleh surat kabar atau pun majalah akan tetapi sampai kepada media elektronik.



[1]Pengertian Gerakan Islam secara umum adalah segala aktivitas umat Islam yang bersifat kolektif dan terorganisir yang berupaya mengembalikan Islam agar kembali menjadi panduan kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya. Panduan seluruh gerakan Islam pada prinsipnya sama, yakni Al-Qur an, Hadits atau Sunnah Rasul dan Ijtihad. Namun, dalam tataran interpretasi, terkadang terjadi perbedaan.Perbedaan dalam tataran interpretasi banyak melahirkan perbedaan dalam tataran implementasi, baik sifat gerakan maupun strategi perjuangan.
[2] Darul Islam secara bahasa berarti dunia atau wilayah islam, rumah atau keluarga islam. Secara etimologis berarti wilayah tertentu yang didalamnya berlaku segala macam peraturan yang diambil dari syariat Islam. Lawannya adalah Darul Harb yang artinya wilayah perang atau dunia kaum kafir. Darul Islam berasal dari kata “Daar al-Islam” yang berarti wilayah atau negara yang didiami dan diperintah oleh orang-orang Islam serta didalamnya berlaku hukum-hukum Islam. Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Edisi Khusus. Jakarta: P. T. Ikhtiar Baru, 1992, hlm. 754.
[3] Holk H. Dengel. 1995. Darul Islam dan Kartosoewiryo.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hal. 45. Kartosuwiryo membagi struktur komando ke dalam beberapa bentuk; Pertama, Komandemen Perang Seluruh Indonesia (KPSI). Kedua, Komandemen Perang Wilayah Besar (KPWB). Ketiga, Komandemen Perang Wilayah (KW) meliputi, KW 1 Priangan Utara, KW 2 Jawa Tengah, KW 3 Jawa Timur, KW 4 Sulawesi, KW 5 Kalimantan, KW 6 Aceh, KW 7 Priangan Selatan. Namun pasca ditangkapnya Abu Daud yang menggantikan Kartosuwiryo NII pecah lagi dengan ditambahnya KW 8 Lampung dan KW 9 Jakarta Raya yang meliputi Bekasi, Jakarta,Tengerang dan Banten. Lihat Sukanto, “Membedah Gerakan Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX”, Seminar Bahaya Laten NII KW IX Masuk Kampus di Universitas Sahid, hal. 5.
[4]Hizbullah atau “Tentara Allah” didirikan pada tanggal 8 Desember 1944 atas izin dari Jepang.Sedangkan Sabilillah atau “Jalan Allah” didirikan pada bulan November 1945. Kedua pasukan ini merupakan laskar Islam dari partai Masyumi. Van Dijk. 1983.Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 63-66.
[5] Holk H. Dengel.1995. Darul Islam dan Kartosoewiryo, Jakarta : Pustaka Harapan, hal. 3.
[6]Ibid, hal. 207. Operasi militer penangkapan DI/TII dilakukan dengan apa yang disebut Operasi Pagar Betis, yakni mengerahkan rakyat untuk bersama-sama TNI memagari jalan turun-naik gunung orang-orang DI/TII. Tujuan utamanya adalah agar orang-orang DI/TII kehabisan bekal, merasa serbasalah karena harus menghadapi rakyat sendiri dan jalan untuk mendapatkan logistik bagi anggota DI/TII menjadi tertutup sehingga mereka terisolir.Operasi Pagar Betis ini adalah atas usul Jend. AH. Nasution
[7] Abdullah Sungkar juga kemudian diketahui memiliki hubungan sangat erat dengan Abu Bakar Ba’asyir pendiri Jama’ah Islamiyah yang juga sama-sama memperjuangkan berdirinya negara Islam. Lihat Ahmad Fauzi Abdul Hamid, Repoliticisation of Islam in Southeast Asia (Singapore: Bertelsmann Stiftung, 2009), hal. 7
[8] Hasil wawancara dengan Bapak Abbas selaku anggota DI Fillah
[9]al-Chaidar. 1999. Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewiryo.Jakarta : Darul Falah, hal. 65
[10] Bakar Misbah adalah Bupati Sumedang NII pada masa Kartosoewiryo
[11] Hasil penelitian pada tanggal 02 September 2015.
[12] Dalam Asep Zaenal Ausop. 2011. Ajaran dan Gerakan NII Kartosoewiryo dan NII KW 9. Bandung : Taffakur, hal. 13

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020