KARAKTER EKOLOGIS


Ekologis adalah sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi dan selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
Pemikiran Hijau Radikal

Suatu hari seorang anak bertanya pada bapaknya, “Pak, kenapa bapak memelihara burung, kolam dan taman di rumah kita?” “Sebab bapak ingin kembali hidup bersama alam, nak, jadi kita bikin yang miniaturnya di rumah” kata sang Bapak. “Kenapa tidak yang alam besarnya aja Pak?” “Itulah nak, yang alam besar itu sudah banyak dirusak oleh manusia.”
Dialog di atas menyuguhkan kita akan betapa kasihannya manusia yang menginginkan kembali ke alam, tetapi tidak bisa, karena alam sudah rusak. Padahal, alam kecil itu pun hanya semata-mata “hiburan” palsu. Sebab, apa yang alam kecil tadi berikan kalau tidak hanya pandangan mata dan penyedap pendengaran telinga saja. Alam kecil tidaklah terlalu bisa memberikan serapan air dan mengeluarkan oksigen seperti alam besar. Ia pun tidak memberikan keanekaragaman hayati sehingga banyak yang tertolong kehidupannya seperti yang diberikan alam besar. Dan berbagai argumen lain. Problem kerusakan alam memang bukan hanya problem sebagian orang. Ia telah menjadi problem manusia secara global.

Masalah Global
Secara umum, apa yang menjadi perhatian global (global concern) sekarang ini adalah: (1) industrialisasi yang semakin cepat berkembang; (2) pertumbuhan penduduk yang cepat; (3) menyebarnya kekurangan gizi; (4) kekurangan sumber daya alam yang tak bisa diperbaharui; dan (5) semakin memburuknya kondisi lingkungan. Dan semua itu bisa saling terhubung menjadi problem besar kemanusiaan.
Alam memang bisa rusak dan kita bisa terkena kerusakannya itu. Tetapi, apakah kerusakan alam itu memang dari alam itu sendiri ataukah kita yang merusaknya? Bencana alam seperti gempa, gurung berapi, tsunami, dan lain-lain seringkali disinyalir sebagai sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Tetapi polusi (baik air, udara atau tanah) adalah dari sebab tangan-tangan manusia. Penggunaan yang berlebihan terhadap tanah membawa pada erosi dan gagalnya produksi makanan. Sumber daya semakin berkurangan karena terus-terusan dipakai oleh penduduk dunia yang makmur; dan panen pun banyak gagal. Dari situ produksi makanan menjadi berkurang dan angka kematian menjadi meningkat. Begitu pula pemanasan global. Semua adalah hasil tangan-tangan kita, umat manusia.
Namun, pertanyaan pun kemudian muncul, “Sampai dimanakah kekuatan alam ini menampung keserakahan kita?”
Muncullah suara-suara yang meneriakkan bahwa kita harus membatasi diri kita untuk kelangsungan kehidupan kita, sebab jika tidak, kita akan “ditelan” oleh kecerobohan kita. Suara ini kemudian didefinisikan sebagai “masyarakat berkesinambungan” (sustainable society).

Masyarakat Berkesinambungan    
            Ide masyarakat berkesinambungan mensyaratkan kita untuk mengubah cara kita memperlakukan alam. Kaum ekologis berargumen bahwa peduli lingkungan menuntut adanya perubahan yang radikal dalam hubungan kita dengan alam. Apa yang disuarakan, kemudian, adalah bahwa dalam rangka menuju masyarakat berkesinambungan, ada dua hal yang perlu diperhatikan: (1) konsumsi barang-barang material oleh masyarakat, terutama oleh “negara-negara industri maju” harus dikurangi; dan (2) kebutuhan manusia tidak dapat dipuaskan oleh pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus maju seperti yang kita pahami sekarang.
            Pertumbuhan yang terus-menerus dan tidak terbatas adalah tidak mungkin. Juga, bahwa konsumsi pada level-level yang semakin meningkat itu tidak mungkin karena limit produktif Bumi itu sendiri yang terbatas.
            Mengurangi konsumsi berarti membuat masyarakat menjadi agak kurang materialistik. Di sini kita perlu membedakan mana yang benar-benar kita butuhkan (needs) dan mana yang hanya keinginan (wants). Namun dalam kenyataannya, apa yang kita inginkan “berubah” menjadi apa yang kita butuhkan disebabkan adanya kekuatan-kekuatan persuasif yang kuat, misalnya oleh iklan-iklan yang gegap gempita di berbagai media.
            Bumi sendiri mempunyai kapasitas yang terbatas (untuk penduduk), kapasitas produktif (untuk sumber segala jenis), dan kapasitas menyerap (polusi).

Kebutuhan Kita pada Alam
            Ada dua argumen mengapa kita harus peduli lingkungan: pertama, sebab kita memerlukan lingkungan tersebut; kedua, sebab alam itu sendiri berhak untuk berkesinambungan.
            Kita memang membutuhkan hutan, misalnya. Karena hutan memberi kita oksigen, bahan-bahan pengobatan, dan juga mencegah longsor. Atau, secara lebih luasnya, kita harus melestarikan alam karena alam itu: (1) merupakan penyedia keanekaragaman genetis untuk pertanian, pengobatan, dan tujuan lain; (2) sebagai bahan untuk kegiatan ilmiah; (3) untuk rekreasi; dan (4) untuk kesenangan keindahan dan inspirasi spiritual.
Dari alam pula kita belajar berfalsafah. Misalnya, dari keanekaragaman alam kita belajar untuk bertoleransi, adanya stabilitas, dan tumbuhnya demokrasi; dari kesalingtergantungan (interdependensi) memunculkan sikap persamaan; dari kelangsungan hidup menimbulkan cinta akan tradisi; dan dari anggapan bahwa alam itu merupakan “perempuan” akan menimbulkan kesadaran gender.
            Oleh karena itu, kita harus hidup “di dalam” lingkungan, dan bukan menentang lingkungan.

Gerakan Hijau
Gerakan yang mengkampanyekan untuk kembali ke alam, peduli alam, dan menghormati alam biasanya disebut gerakan “hijau.” Gerakan ini kini sudah berada di berbagai lini. Di antara gerakan hijau, ada yang berupaya untuk ikut pemilu atau hanya berupa kelompok penekan (pressure group) dalam agenda Hijau. Kegiatannya berupa lobby pada proses demokrasi dengan membawakan berbagai petisi kepada pemerintah/parlemen atau melakukan aksi-aksi langsung (direct action). Gerakan Hijau berjuang untuk menghindari masyarakat yang mengeksploitasi alam dan komunitas manusia. Nilai-nilai inti Gerakan Hijau itu didasarkan pada berbagai filsafat yang mendukung hubungan manusia dengan Bumi, hubungan manusia dengan manusia lain, dan hubungan manusia dengan seluruh kehidupan.
            Gerakan Hijau mengupayakan keseimbangan melalui pengakuan bahwa planet kita dan semua kehidupan di dalamnya adalah aspek-aspek yang unik dan integratif. Selain itu, juga melalui pemahaman bahwa semuanya berada dalam kondisi saling ketergantungan (interdependent).  Atas nama manusia secara keseluruhan, Gerakan Hijau menyatakan bahwa setiap generasi manusia harus bertanggung jawab untuk generasi berikutnya untuk tidak menyalahgunakan sumber daya yang merupakan warisan yang sangat berharga.
            Gerakan Hijau tidak bermaksud mengeksploitasi manusia dan Bumi. Gerakan Hijau memelihara cinta, kasih sayang, dan kerendahan hati. Gerakan Hijau merupakan proses penyembuhan yang fleksibel dan bertanggung jawab, sebuah proses yang membawa kita kembali kepada keseimbangan hidup antara manusia, komunitas, dan alam.
            Gerakan Hijau mempunyai Sepuluh Nilai Kunci gerakan:
1. Ecological Wisdom (kebijaksanaan ekologis): menghormati alam dan menggunakan sumber daya alam secara bijak;
2. Community-based Economy (ekonomi yang berbasis komunitas): membantu ketahanan pangan dan kebutuhan pokok serta kesetaraan dalam bermasyarakat; menggunakan teknologi yang manusiawi, yang membebaskan dan akrab lingkungan;
3. Grassroots Democracy (demokrasi akar rumput): mendorong dan membantu partisipasi warga masyarakat lokal dalam pembuatan keputusan;
4. Decentralization (desentralisasi): memberdayakan rakyat, lembaga rakyat, dan komunitas rakyat agar menjadi lebih mandiri;
5. Gender and Racial Equity (keadilan gender dan ras): mendukung interaksi yang kooperatif dan hak-hak persamaan bagi perempuan dan kaum minoritas;
6. Personal and Social Responsibility (tanggung jawab personal dan sosial): menekankan pada gaya hidup yang sehat dan bertanggung jawab bagi setiap orang dan masyarakat secara keseluruhan;
7. Respect for Diversity (menghormati kemajemukan): menghormati dan mendukung kemajemukan budaya, etnis, rasial, sekstual, dan spiritual pada masyarakat;
8. Nonviolence (anti-kekerasan): berjuang untuk perdamaian abadi baik pada tingkatan personal, nasional, maupun global;
9. Global Responsibility (tanggung jawab global): belajar dari dan membantu bangsa-bangsa Dunia Ketiga dengan slogan “think globally, act locally” (berpikir global, bertindak lokal);
10. Future Focus (pandangan mendepan): berpikir dan bertindak dalam kerangka masa depan berjangka panjang, bukan kepentingan egoistis jangka pendek dan bertindak dengan menghormati generasi masa datang.

Kelemahan Gerakan Hijau adalah apabila gerakan itu tergoda untuk mendapatkan kekuasaan. Sedangkan disadari bersama bahwa kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt). Maka, sebelum menjadi gerakan yang berkuasa atau ikut berkuasa dalam pemerintahan koalisi, Gerakan Hijau sangat efektif sebagai penekan dalam setiap kebijakan pemerintah yang merugikan manusia dan lingkungannya. Namun penerimaan Gerakan Hijau pada cara politik yang kapitalistik menimbulkan jawaban baru bagi radikalisasi isu hijau, yaitu munculnya Ekologi Sosial.

Ekologi Sosial
            Ekologi sosial itu berakar pada keseimbangan alam, kesinambungan, kemajemukan, spontanitas, kebebasan, dan holisme. Masyarakat yang dicita-citakan ekologi sosial adalah masyarakat yang dapat mengurangi segala hierarki dalam alam dan masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat ekologis, dominasi dan hierarki akan diganti oleh persamaan dan kebebasan. Ekologi kebebasan akan menyatukan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia. Munculnya sensibilitas ekologis dengan pendekatan budaya yang analitis dapat menimbulkan kesadaran baru. Maka kemajuan ilmu dan teknologi dapat dibarengi dengan cara hidup ekologis. Cara ini mengakui adanya saling ketergantungan antara manusia dan alam.
            Ekologi sosial membedakan antara ekologi dan environmentalisme. Environmentalisme mengadopsi pandangan mekanistik dan instrumental pada dunia modern sehingga melihat alam hanya sebagai sumber daya bagi manusia dan manusia juga merupakan sumber daya bagi kehidupan ekonomi. Environmentalisme tidak mempertanyakan tentang mereka yang sedang berkuasa (status quo), tetapi memfasilitasi dominasi manusia terhadap alam dan manusia terhadap manusia lain. Sedangkan ekologi memandang interaksi di antara makhluk hidup dan yang tidak hidup dapat menimbulkan potensi alternatif. Sosial ekologi ingin bekerja untuk keharmonisan manusia dengan alam.
            Dari perspektif ini, komunitas manusia dan ekosistem alamiah berinteraksi satu sama lain. Tidak hanya manusia yang mengubah alam, tetapi alam juga dapat mengubah manusia. Alam tidaklah hanya penerima pasif dari tindakan manusia, tetapi pengubah yang aktif dari perilaku manusia.
            Bagi ekologi sosial, untuk menghindari kerusakan ekologis, manusia harus mengakui dan hidup di dalam syarat-syarat wilayah biologis. Ekosistem di dalam wilayah biologis membatasi pilihan manusia untuk menguasai alam. Teknologi, praktek pertanian dan ukuran komunitas perlu selalu disesuaikan dengan kondisi-kondisi wilayah biologis yang diperlukan. Di masyarakat seperti itu akan ada desentralisasi untuk menghindari polusi, ada pemeliharaan kehidupan tanaman dan binatang asli sejalan dengan institusi sosial baru yang sesuai dengan sensibilitas ekologis (Rahman, 2001).
            Ekologi sosial menekankan implikasi manusiawi dari sistem produksi ekonomi yang menggunakan alam. Ekologi sosial melihat dunia di mana kebutuhan manusia terpenuhi melalui ekonomi yang sesuai dengan lingkungan yang berkelanjutan. Ekologi sosial mengajukan ilmu yang berorientasi pada nilai-nilai sosial dan menginginkan perubahan yang dinamis, sebagai dasar untuk memahami dunia alamiah.
            Untuk pedoman politik sosial, Bookchin (1980a), seorang pioneer gerakan ekologi sosial, pun mempunyai banyak program. Berikut di antara kata-katanya tentang masalah politik ekologis,
…Organic or ecological in a word, Green means literally the evolution of a politics of the organism in the very real sense that we begin with the cellular level of social life: the community, be it neighborhood, city, town, or village, not the abstract ‘nation’ with its imperatives of national parties, bureaucracies, ‘executives,’ and the like. Green politics means that we apply ecological principles and processes to our way of functioning politically at grassroots levels in face-to-face, democratic, and popular assemblies. It means an intimate politics that is based on education, not simply mobilization, such that we help to create active, politically concerned, participatory citizens, not passive, privatized, and spectatorial ‘constituents’ who have no control over their destinies.

(…Hijau organik atau hijau ekologis secara harfiah berarti evolusi politik organisme dalam arti yang sebenarnya yang kita mulai dengan tingkatan sel pada kehidupan sosial, komunitas, baik berupa rukun tetangga, kota besar, kota kecil, maupun desa, bukannya ‘bangsa’ yang abstrak dengan segala perangkatnya seperti gerakan nasional, birokrasi, ‘eksekutif,’ dan sebagainya. Politik hijau berarti bahwa kita mengaplikasikan prinsip dan proses ekologis pada cara kita memfungsikannya secara politis –pada tingkatan akar rumput dalam majelis-majelis tatap muka, demokratis, dan partisipatif, bukanya ‘para pemilih’ yang pasif, privat, dan hanya menonton sehingga mereka tidak dapat menguasai nasib mereka sendiri…)
           
Begitulah pandangan ekologi sosial. Pandangannya telah mengembalikan masalah ekologi ke masyarakat sendiri. Demikian sehingga yang harus diperbuat oleh masyarakat adalah hasil pemikiran dan kesadaran masyarakat itu sendiri. Demikian seperti dikatakan Bookchin. Di antara kaum ekologis, dialah yang paling teoretis dan filosofis. Buku terakhirnya, The Third Revolution, pun menjadi rujukan kaum ekologis. Di buku tersebut, dia memperjuangkan sebuah visi politik radikal dalam rangka melawan kekuatan kapitalisme global yang sedang dianut sebagian besar manusia, termasuk di Dunia Ketiga dengan pembangunan yang sering hanya mengeksploitasi alam saja.

Pendidikan Ekologis
            Kesadaran ekologis perlu ditanamkan sejak dini. Anak-anak harus tahu apa yang akan diperbuat mereka terhadap alam sekeliling. Sampah harus dibuang ke tempatnya, harus menghemat energi, harus bisa memanfaatkan kembali apa yang biasanya sudah dibuang (recycle), menyayangi binatang, menghargai keanekaragaman hayati, dan lain-lain adalah sikap yang sudah harus diajarkan kepada anak-anak. Demikian sehingga sikap-sikap hidup tersebut melekat pada mereka, sehingga pada waktu dewasa nanti mereka sudah bisa membedakan apa yang baik dan benar diperbuat untuk alam dan apa yang buruk, salah, dan merusak untuk alam tersebut.
            Pendidikan ekologi harus dilakukan di berbagai ranah keberadaan anak. Di rumah, keluarganya harus mengajarkan dan mengkondisikan cara-cara hidup ekologis. Meninggalkan barang-barang yang bersifat spray (obat nyamuk, pengharum ruangan, minyak wangi, dll.), misalnya, karena mengandung chloro fluor carbons (CFCs). Mengajarkan kesadaran lingkungan ketika melihat berita atau acara TV. Di sekolah, murid-murid harus selalu diajarkan dan dikondisikan supaya berkesadaran lingkungan, baik itu melalui kurikulum maupun ko-kurikulum; di kelas maupun di luar kelas. Misalnya, kesadaran lingkungan diajarkan ketika sedang mengajar pelajaran IPA, IPS atau geografi. Dalam ekstra-kurikuler, kepedulian pada lingkungan ditanamkan ketika acara penjelajahan dalam Pramuka, misalnya. Dan di berbagai kesempatan lainnya.
            Tetapi pendidikan ekologi itu bukan hanya untuk anak-anak atau murid-murid saja. Pendidikan ini harus diberikan untuk semua orang dan berlangsung sepanjang hayat, mengingat perlunya untuk mengingatkan terus-menerus akan arti ekologi bagi manusia. Dengan berbagai media, peraturan, dan bahkan hukuman manusia bisa dididik menjadi makhluk yang beradab. Begitu juga halnya kesadaran akan perlunya mengkonservasi alam. Berbagai macam kampanye (di TV, radio, reklame, dll), peneguhan aturan konservasi (di tingkat DPR, DPRD ataupun pemerintah), dan penegakan hukum (penghukuman mereka yang melakukan penebangan ilegal dan mereka yang mencemari lingkungan, dsb.) harus terus dijalankan. Sebab, hanya dengan kesadaran yang kontinue-lah manusia menjadi tidak ada waktu lagi untuk lengah dan menjadi rusak. 
            Maka, secara keseluruhan, menjadi manusia yang bermartabat adalah menjadi manusia yang ekologis. Bermartabat karena manusia ekologis adalah manusia yang berpandangan jauh ke depan, ke arah nasib generasi setelahnya, yang juga berhak mendapatkan alam yang baik, yang dapat membuat mereka hidup wajar, sepergi generasi sebelumnya. Ia pun bermartabat karena manusia ekologis adalah mereka yang memperjuangkan nasib sesama mereka, manusia yang ada di sekelilingnya. Bermartabat juga karena manusia ekologis adalah manusia yang menghormati alam, persis seperti dirinya sendiri, karena dirinya juga alam.

Daftar Pustaka
Bookchin, Murray (1980a), The Ecology of Freedom: The Emergence and Dissolution of Hierarchy, California: Cheshire Books.
Bookchin, Murray (1980b), Towards an Ecological Society, Montreal: Black Rose Books.
Rahman, M. Taufiq (2001), Menelusuri Pemikiran Gerakan Hijau Radikal, Bandung: Kangkung, Agustus.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020