POLITIK INFORMASI DALAM PENGOBATAN TRADISIONAL
Rully Khairul Anwar, Agus Rusmana, M. Taufiq Rahman
Abstrak
Tulisan ini mengkaji tentang bagaimana
politik informasi pengobatan tradisional dilakukan di masyarakat perdesaan di Kabupaten Bandung
Barat. Proses
politik informasi di sini mencakup kegiatan bagaimana pihak pengobatan
tradisional mempromosikan pengobatan tradisional pada masyarakat.
Di sini pun dipelajari
juga bagaimana pemerintah, sebagai pihak pengobatan modern, merespons informasi
mengenai pengobatan tradisional tersebut. Untuk memperdalam masalah tersebut, metode
yang digunakan dalam tulisan ini adalah kualitatif dengan teknik pengumpulan
data melalui observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada
kegiatan politik
informasi dilakukan oleh para pengelola pengobatan
tradisional, pasien, dan pihak pemerintah. Di satu sisi,
praktek politik informasi tersebut telah menyebabkan
terpeliharanya ilmu dan
pelayanan pengobatan tradisional, walaupun sifatnya pun masih tradisional, yaitu bersifat lisan dan tidak terdokumentasikan. Di sini lain
terdapat kekhawatiran dari pihak pemerintah akan tidak adanya tanggung jawab
professional ketika terjadi kesalahan dalam pengobatan tersebut. Di sini
masyarakat mempunyai keleluasaan untuk menjadi lebih dewasa dalam melakukan
pengobatan sendiri dengan melakukan pemikiran yang bijak atas pilihan
pengobatannya.
Kata Kunci:
pengobatan tradisional, manajemen informasi, pengetahuan lokal, politik informasi, kebijakan publik
PENDAHULUAN
Masyarakat
informasi memiliki kebutuhan utama untuk memenuhi informasi yang dibutuhkan
sebagai penunjang berbagai aktivitas keseharian maupun tuntutan-tuntutan yang
lain. Kebutuhan akan informasi dirasakan akan terus bertambah bagi seseorang
setiap kali ia ingin mengetahui terhadap sesuatu. Begitu pula, rasa ingin tahu
timbul ketika seseorang ingin menambah daftar panjang khazanah pengetahuannya.
Menurut Wersig (2003), kebutuhan informasi didorong oleh a problematic
situation dimana seseorang merasa harus memperoleh masukan dari
sumber-sumber di luar dirinya.
Perkembangan
dan pemanfaatan teknologi informasi (TI) yang pesat dewasa ini telah menjadikan
TI sebagai kekuatan pendorong bagi perkembangan masyarakat di berbagai bidang,
sehingga berimplikasi pula terhadap pembangunan sosial dan ekonomi sekarang dan
di masa mendatang. TI melahirkan era baru yaitu berbagai barang dan jasa
dibeli, dikirim, dibayar, dan digunakan tanpa meninggalkan sistem informasi dan
jaringan komunikasi.
Sementara
itu, ketersediaan pelayanan pengobatan tradisional yang mempunyai manfaat medis
masih banyak dimanfaatkan dan tetap ada penggunaannya oleh masyarakat umum. Hal
ini menjadi kenyataan yang mesti dilakukan perhatian dengan melakukan kajian
yang berkaitan dengan hal tersebut.
Kecenderungan
meningkatnya pemanfaatan pengobatan tradisional ini menyebabkan
informasi-informasi ilmiah yang berkaitan dengan pengobatan tradisional
memiliki kedudukan penting, baik untuk menjadi landasan ilmiah di mana pemanfaatan
pengobatan tradisional oleh masyarakat dan perusahaan maupun sebagai rujukan “state of the art” penelitian pengobatan
tradisional bagi para saintis.
Idealnya,
semua informasi ilmiah ini dalam bentuk cetakannya ataupun dalam bentuk file
elektroniknya bisa didapatkan dari perpustakaan terdekat. Seringkali kondisi
ini tidak dapat terpenuhi karena beberapa sebab, salah satunya adalah cukup
tingginya biaya untuk berlangganan sumber informasi ilmiah.
Sebagai
alternatif, internet merupakan pilihan yang tepat untuk dijadikan sumber
informasi. Situs web sebagai bagian penyedia informasi dalam internet semakin
meningkat jumlahnya dari waktu ke waktu. Bukan hanya itu, masyarakat pun secara
swakelola mempunyai jaringan-jaringan kontak yang menggunakan internet untuk
saling berkomunikasi tentang masalah pengobatan tradisional ini. Misalnya
adalah dengan banyaknya grup-grup facebook
yang bertemakan pengobatan tradisional.
Di
lain pihak, mengiringi kebutuhan masyarakat akan pengobatan tradisional ini,
ada regulasi-regulasi pemerintah yang mengatur dan mengawasi perkembangan
pengobatan tradisional dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari berbagai
dampak-dampak yang membahayakan dari praktik-praktik pengobatan tradisional. Di
sinilah, kemudian terekam adanya political
will dari pemerintah. Hal itu, misalnya terlihat dari diberlakukannya
Peraturan Pemerintah No. 103 tentang Kesehatan Tradisional Tahun 2014.
Dalam
rangka menyahuti kebijakan politik pemerintah terhadap perkembangan pengobatan
tradisional ini, masyarakat, terutama penyedia layanan pengobatan tradisional,
mau tidak mau harus memperhatikan informasi-informasi yang bersifat politis
dari pemerintah, sehingga tidak bertabrakan dengan regulasi-regulasi
pemerintah. Di sinilah pentingnya politik informasi dalam hal pengobatan
tradisional.
TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai
penelitian yang berkaitan dengan kebijakan politik banyak dilakukan, khususnya penelitian
yang menyoroti masalah kebijakan politik tentang kesehatan pada kajian naskah
buku, dokumen, dan kenyataan di lapangan medis seperti di rumah sakit dan pusat
kesehatan masyarakat (puskesmas). Namun yang membahas politik
informasi pengobatan tradisional jarang sekali. Padahal, seperti bidang-bidang
yang lain, pengobatan tradisional pun berada dalam wilayah publik, ia berada di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, pengobatan tradisional pun berada di
wilayah politik informasi. Demikian karena politik informasi ini melibatkan
pencarían dan kebijakan informasi, peran pemerintah, organisasi-organisasi yang
terlibat, transformasi kebijakan, dan lain-lain (Baumgartner & Jones,
2015).
Tujuan
politik informasi adalah untuk mengidentifikasi gambaran-gambaran berikut: (1) Karakter umum
proses yang dengannya anggota kultural baru ‘terdifusi’, yaitu, dididik dan dilatih; (2) Institusi dan
otoritas khusus yang memegang kendali kegiatan politik informasi ini; (3) Mekanisme yang
dengannya budaya dipegang secara stabil dan selalu siap digunakan; (4) Lingkungan dan
tujuan yang sebenarnya yang diasosiasikan dengan penggunaannya; (5) Proses yang
dengannya perubahan terjadi;
dan (6) Distribusi dari kepercayaan atas status seperti
profesional atau amatir, laki-laki atau perempuan, dokter atau pasien, ilmuwan
atau teknisi (Strydom,
2000).
Para ahli
politik menekankan bahwa sistem kepercayaan yang diterima tidak
dapat dihitung secara layak disebabkan oleh masuk akalnya, atau pengalaman
saja. Akal dan pengalaman memang penting dalam cerita informasi (pembelajaran dan transmisi sosial-kultural tidak akan dapat dipahami
tanpa keduanya), tetapi itu tidak cukup. Selalu ada keperluan untuk mengenalkan
lebih lanjut unsur-unsur latar belakang, fakta-fakta konsekuensial, dll.
Demikian karena sesuatu itu terjadi dalam konteks sosialnya. Kesimpulan dan
reaksi individual kita harus berkoordinasi dan diakui secara kolektif sebelum
dihitung sebagai pengetahuan, bukan sebagai kepercayaan subjektif, keanehan,
atau kesalahan
(Barber & McCarthy, 2013).
Buku
baru Tim Jordan, Information Politics:
Liberation and Exploitation in Digital Society, mengeksplorasi banyak cara
bahwa informasi - didefinisikan sebagai "perbedaan yang bergerak"
(2015, hal. 17) - sangat terjalin dalam kehidupan modern, dimulai dengan
penegasan Bahwa "informasi sebagai politik eksploitasi dan pembebasan
sekarang menjadi pusat abad kedua puluh satu" (2015, hal.1). Beralas dalam
karya teori kanonik seperti Deleuze, Haraway, dan Derrida, buku ini terbuka
dengan renungan teoretis mengenai sifat informasi dan bagaimana hal itu telah
diubah oleh penghitungan. Penonton umum dapat menunda bagian pertama, ditulis
dengan jelas dalam pemikiran akademisi; Pembaca umum akan melakukannya dengan
baik untuk melompat ke bagian kedua dan ketiga, yang didasarkan secara empiris,
namun memberikan wawasan penting tentang politik informasi yang muncul.
Jordan
juga menghubungkan hacktivisme dengan "gagasan untuk bocor sebagai
tindakan politik, sekali lagi dalam tradisi yang dikembangkan di awal politik
online untuk melihat Internet sebagai arena kunci arus informasi yang
bebas" (2015, hal 189), dicontohkan oleh WikiLeaks dan Snowden. Seperti
yang dicatat Jordan, “Politik informasi di sini merupakan politik aktivis dalam
dirinya sendiri. . . Politik informasi memberikan taktik yang mungkin bisa
dilakukan oleh hampir semua perjuangan. . . . Memahami sifat informasi sebagai
antagonisme politik kemudian penting untuk memahami peran informasi dalam
perjuangan politik manapun di abad kedua puluh satu.” (2015, hlm. 190-191).
Hal
lain dari wilayah penelitian ini adalah wilayah kajian pengobatan tradisional. Secara
umum, ada dua aliran yang dijadikan objek penelitian tentang pengobatan, yaitu
pengobatan medis, yaitu yang dilakukan di rumah sakit, puskesmas, dan
balai-balai pengobatan atau klinik yang menggunakan pengobatan modern; yang
kedua adalah aliran tradisional, yang ada di balai-balai pengobatan tradisional
dengan layanan yang berlainan seperti akupunktur, herba, reparasi patah tulang,
dan lain-lain.
Pelayanan
kesehatan yang banyak diminati masyarakat Indonesia saat ini adalah pengobatan
alternatif atau pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional merupakan
pengobatan yang menggunakan cara alat atau bahan yang tidak termasuk dalam
standar pengobatan kedokteran dan dipergunakan sebagai alternatif atau
pelengkap pengobatan kedokteran tersebut. Data menunjukkan bahwa pasien yang
menggunakan pengobatan tradisional lebih banyak dibandingkan dengan yang datang
ke dokter. Di Australia sebesar 48,5% masyarakatnya menggunakan terapi
tradisional, di Perancis sebesar 495 dan Taiwan sebesar 90% pasien mendapat terapi
konvensional yang dikombinasikan dengan pengobatan tradisional Cina. Jika
ditinjau dari segi jenis penyakit diketahui bahwa penggunaan terapi tradisional
pada penyakit kanker bervariasi antara 9% sampai dengan 45% dan penggunaan
terapi tradisional pada pasien penyakit saraf bervariasi antara 9% sampai 56%.
Penelitian di Cina menunjukkan bahwa 64% penderita kanker stadium lanjut
menggunakan terapi tradisional (APECHWG, 2013).
Saat
ini pengobatan tradisional banyak diminati oleh masyarakat. Pengobatan tradisional
(Battra) merupakan bagian integral dari kebudayaan masyarakat, karena konsep
mengenai kondisi sakit dan cara pengobatannya itu tidak berdiri sendiri, tetapi
terintegrasi dengan kebudayaan lainnya. Cara pengobatan tradisional masih
digunakan di kalangan masyarakat pendukungnya disebabkan fungsinya yang mampu
memenuhi persyaratan yang berhubungan dengan kesehatan. Menurut World Health
Organization (WHO), negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin masih
menggunakan pengobatan tradisional sebagai pelengkap pengobatan primer yang
mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari penduduk menggunakan obat
herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003). Faktor pendorong terjadinya
peningkatan penggunaan obat tradisional di negara maju adalah usia harapan
hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya
kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit tertentu diantaranya kanker,
serta semakin luas akses informasi mengenai obat tradisional di seluruh dunia.
WHO
merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk obat herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama
untuk kronis, penyakit degeneratif dan kanker. Hal ini menunjukan dukungan WHO
untuk “back to nature” yang dalam hal
yang lebih menguntungkan. Untuk meningkatkan keselektifan pengobatan dan
mengurangi pengaruh musim dan tempat asal tanaman terhadap efek, serta lebih
memudahkan standarisasi bahan obat maka zat aktif diekstraksi lalu dimurnikan
sampai diperoleh zat murni. Di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi
peningkatan produksi obat tradisional.
Badan
kesehatan Dunia PBB (World Health Organization) menunjukkan kepedulian tentang
perkembangan dan pengembangan pengobatan tradisional. Bahkan, badan dunia ini
sudah mengeluarkan buku panduan umum penelitian pengobatan tradisional. Dalam
buku panduan ini, dikemukakan metodologi penelitian dan evaluasi penelitian
terhadap jenis pengobatan tradisional. Sementara jenis pengobatan tradisional
yang dikembangkan dan dijadikan kajiannya, dikelompokkan menjadi dua jenis,
yaitu pengobatan berdasarkan herbal dan terapi yang berdasarkan prosedur
tradisional, yang termasuk ke dalam pengobatan tradisional herbal, yaitu
penggunaan bahan asli tanaman seperti daun, bunga, buah, akar, atau bagian lain
dari tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan. Pengolahan tumbuhan ini dilandaskan
pada produk tumbuhan yang sudah diselesaikan, atau beberapa produk pengolahan
tanaman hasil dari ekstraksi, pelarutan fraksianisasi, purifikasi, konsentrasi
atau proses pengolahan fisikawi. Jenis pengobatan tradisional yang kedua adalah
terapi. Terapi yang dilandaskan pada prosedur tradisional adalah terapi –
terapi yang digunakan dengan teknik bervariasi, terutama yang tanpa menggunakan
medikasi. Misalnya akupuntur dan teknik – teknik chiropractic, osteopathy,
manual therapies, qigong, tai ji, yoga, naturopathy, thermal medicine dan
terapi fisik lainnya.
Saat
ini istilah pengobatan tradisional lebih dikenal dengan pengobatan alternatif.
Hal tersebut dikarenakan masyarakat menggunakan pengobatan tersebut sebagai
pengganti dari sistem pengobatan modern. Pengobatan tradisional dimaksudkan
sebagai bentuk pelayanan pengobatan yang menggunakan cara, alat, atau bahan
yang tidak termasuk dalam standar pengobatan kedokteran modern (pelayanan
kedokteran standar) dan dipergunakan sebagai alternatif atau pelengkap
pengobatan kedoktean modern tersebut (www.MedikaHolistik.com [24-06-2017]).
Kajian
ini adalah tentang politik informasi dalam proses pencarian serta aksesibilitas
tentang informasi pengobatan tradisional yang peneliti lakukan, baik melalui
penelitian lapangan yang dibiayai sumber-sumber resmi ataupun penelitian personal.
Pada tahapan ini, penelitian dilakukan terutama untuk mendalami tema-tema
sentral terkait dengan fokus penelitian yang sudah dikemukakan di atas, yakni
kajian mengenai bagaimana pemerintah memetakan kebijakan tentang pengobatan
tradisional dan bagaimana masyarakat baik sebagai pelanggan (konsumen) maupun
produsen mempersepsi regulasi pemerintah dan bagaimana mereka mempraktekkan pengobatan
tradisional, yaitu dengan cara: mengidentifikasi, mengenali, merekam, mendokumentasikan, menyimpan, mentransfer, dan menyebarkan informasi tentang pengobatan tradisional.
Penelitian tentang pengobatan tradisional sudah banyak
dilakukan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kajian tentang herba atau
tanaman obat, tentang praktik akupunktur, praktek spiritual healing, dan
sebagainya. Yang baru dari penelitian ini adalah bagaimana ranah ilmu politik
seperti kebijakan publik masuk ke dalam ranah informasi yaitu bagaimana
pemerintah mengemas informasi untuk masyarakat tentang kebijakan mereka, lalu
bagaimana pula pengetahuan masyarakat mengenai pengobatan tradisional dalam pendekatan
yang relatif baru, yaitu politik informasi yang dijelaskan di atas.
Walaupun
begitu, kerangka kajian literasi informasi dapat dipergunakan
di sini sebagai dasar bagi kajian politik informasi dalam penelitian tentang
pengobatan tradisional ini. Dalam praktiknya, proses
penelitian yang akan dilakukan pun akan terus bersinergi, baik dari
pendekatan-pendekatan yang ada maupun pada hasil akhir yang diinginkan,
disesuaikan dengan pandangan-pandangan teoretis dan
pendekatan empiris.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif, karena memfokuskan telaahnya pada makna-makna subyektif, pengertian-pengertian,
metafor-metafor, simbol-simbol, dan deskripsi-deskripsi ihwal suatu kasus
spesifik yang hendak diteliti. Pendekatan ini dipilih agar studi ini memperolah
gambaran detail dan mendalam akan informasi mengenai
suatu gejala sosial tertentu yang bersifat fenomenologis. Berdasarkan
tujuannya, penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang berusaha menggambarkan rincian-rincian spesifik dari situasi, setting atau relasi-relasi sosial yang
berlangsung dalam lingkup subyek penelitian (Travers, 2001; Newman, 1994).
Pemilihan studi kasus dipakai sebagai pendekatan penelitian karena
penelitian ini berangkat dari fenomena kontemporer yang terdapat di lapangan
yaitu masyarakat yang
berada di tengah-tengah berbagai macam informasi mengenai pengobatan
tradisional, yang juga
telah disikapi oleh pihak pemerintah dengan adanya regulasi-regulasi.
Selanjutnya penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian,
bagaimana kegiatan politik
informasi tentang pengobatan
tradisional. Hal
tersebut senada dengan penjelasan Yin (2009) bahwa pendekatan studi kasus cocok
digunakan untuk penelitian yang berkenaan dengan pertanyaan penelitian
bagaimana (how) dan mengapa (why) serta
penelitian melihat fenomena yang kontemporer.
Melalui metode
studi kasus, pemaparan yang akan dikemukakan dalam hasil penelitian tidak lain
merupakan fakta-fakta yang ditemukan selama penelitian dilakukan dan pemaparan
hasil penelitian akan dilakukan secara deskriptif berdasarkan data kualitatif
dan kuantitatif yang ada.
Teknik yang digunakan dalam proses pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Keseluruhan teknik itu adalah
observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Dalam observasi para penulis
terjun langsung ke lokasi penelitian dengan mengadakan eksplorasi dan
pengamatan terhadap objek penelitian, yaitu masyarakat perdesaan di Kabupaten
Bandung Barat. Dalam in-depth interview (wawancara mendalam),
informasi dicari informasi dari yang diwawancarai baik itu pihak pemerintah,
pelaku pengobatan tradisional, pelanggan, maupun masyarakat secara umum, yang
dianggap mengetahui hal-hal yang diperlukan dalam penelitian dan dianggap
representatif untuk kepentingan dan tujuan penelitian. Dan dalam studi dokumentasi,
peneliti mencoba untuk mengumpulkan bahan-bahan berupa tulisan-tulisan yang
berhubungan dengan permasalahan penelitian yang kemudian dikorelasikan dengan
hasil wawancara yang dilakukan. Studi dokumentasi ini juga dilakukan dengan
menggambarkan mekanisme pengobatan tradisional yang dipraktikkan oleh para pemberi
layanan pengobatan dan bukti-bukti dokumentasi lainnya.
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini akan diuraikan
hasil penelitian tentang proses politik informasi masyarakat
pedesaan mengenai pengobatan tradisional di Kabupaten Bandung Barat. Hasil
penelitian diperoleh dari pengamatan di lapangan yang dilakukan di Bandung
Barat dan wawancara dengan beberapa informan (key informants)
yang menjadi pelanggan atau yang menekuni tentang pengobatan tradisional dengan
berpedoman pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sesuai dengan fokus dan
tujuan dari penelitian.
Politik informasi pengobatan tradisional di Kabupaten Bandung Barat
telah cukup sukses masuk ke kesadaran masyarakat. Masyarakat Kabupaten Bandung Barat kebanyakannya
menyambut baik kebijakan-kebijakan yang mengatur pengobatan tradisional, agar
semua pihak menjadi hati-hati. Para pelaku pengobatan tradisional pun sangat
taat mengikuti apa yang menjadi regulasi pemerintah. Walaupun memang, diakui
oleh pihak pemerintah sendiri, petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk
teknis (juknis)-nya masih diperbincangkan antara pemerintah provinsi Jawa Barat
dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk Kabupaten Bandung Barat (Wawancara
dengan dr. NL, Pegawai DKK Bandung Barat, 9/6/2017).
Dari segi
perubahan informasi di masyarakat, Kab. Bandung Barat telah menyaksikan adanya
berbagai kemajuan peraturan tentang pengobatan, yang dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan dari aspek sosial, budaya, bahkan teknologi
kesehatan. Namun masyarakatnya tetap banyak yang masih menggunakan pengobatan
tradisional.
Dari segi distribusi
informasi, semua responden mengetahui tentang pengobatan tradisional. Mereka
rata-rata mengetahui pengobatan tradisional yaitu dari saudara dan teman,
tetapi ada juga yang mengetahui dari media massa. Responden juga mengetahui
tentang jenis-jenis pengobatan tradisional di mana yang paling popularnya
adalah pengobatan alternatif (akupuntur, pijat, herbal) dan terapi energi, dan
pendapat terbanyak menurut responden tentang pengertian pengobatan tradisional
adalah pengobatan yang obatnya berasal dari tumbuhan, hewan, dan bahan mineral
(Wawancara dengan AA, pelaku pengobatan religi, 10/6/2017)..
Pemanfaatan pengobatan
tradisional yang dilakukan oleh masyarakat adalah untuk berobat dan untuk
terapi. Jenis pengobatan yang sering dilakukan oleh masyarakat yaitu herbal
teknik pengobatan dengan cara meminum jamu sesuai dengan jenis penyakit yang
dideritanya. Jenis penyakit yang diperiksakan mulai dari jenis penyakit ringan
sampai penyakit yang berat, yaitu jenis penyakitnya flu, rematik, diabetes,
kanker, gagal ginjal, down syndrome, gizi buruk, obesitas, kolesterol,
penyempitan syaraf, lambat berbicara, gagal prostrate, usus mepet, dan tumbuh
kembang otak lambat. Selanjutnya pijat, akupressure dan akupuntur adalah jenis
pengobatan yang sering dilakukan oleh responden untuk menyembuhkan penyakit
yang sedang dideritanya (Wawancara dengan AK, pelaku pijat totok, 10/6/2017).
Sistem pelayanan kesehatan
merupakan bagian penting dalam meningkatkan derajat kesehatan. Dengan adanya
sistem kesehatan ini tujuan pembangunan dapat tercapai efektif, efisien, dan
tepat sasaran. Keberhasilan sistem pelayanan kesehatan bergantung pada berbagai
komponen yang ada baik dana, fasilitas penunjang maupun sumber daya manusia
yang ada, dalam hal ini perawat, dokter, radiologi, ahli fisioterapi, ahli
gizi, dan tim kesehatan lain. Seluruh bidang pelayanan kesehatan sedang
mengalami perubahan dan tidak satupun perubahan yang berjalan lebih cepat
dibandingkan yang terjadi pada bidang perawatan. Perawatan adalah pelayanan
esensial yang diberikan oleh perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat
yang mempunyai masalah kesehatan. Pelayanan yang diberikan adalah upaya
mencapai derajat kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang
dimiliki dalam menjalankan kegiatan di bidang promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan. Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004 Puskesmas UPTD kesehatan
kabupaten yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembekalan kesehatan di suatu
wilayah kerja (Wawancara dengan dr. NL, Pegawai DKK Bandung Barat,
9/6/2017).
Pusat Kesehatan
Masyarakat, disingkat Puskesmas, merupakan organisasi fungsional yang
menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata,
dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif
masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat.
Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada
pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal,
tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Puskesmas merupakan unit
pelaksana teknis kesehatan di bawah supervisi Dinas Kesehatan Kabupaten.
Dapat dikatakan mereka harus memberikan pelayanan preventif, promotif,
kuratif sampai dengan rehabilitatif baik melalui upaya kesehatan perorangan
(UKP) atau upaya kesehatan masyarakat (UKM). Puskesmas dapat memberikan
pelayanan rawat inap selain pelayanan rawat jalan. Hal ini disepakati oleh
puskesmas dan dinas kesehatan yang bersangkutan. Sesuai dengan kebijakan
menteri kesehatan republik Indonesia program pokok Puskesmas merupakan program
pelayanan kesehatan yang wajib di laksanakan karena mempunyai daya ungkit yang
besar terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya
(Wawancara dengan SN, Pegawai Puskesmas, 9/6/2017).
Program Pengembangan pelayanan
kesehatan Puskesmas adalah beberapa upaya kesehatan pengembangan
yang ditetapkan Puskesmas dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan
permasalahan, kebutuhan dan kemampuan puskesmas. Dalam struktur organisasi
puskesmas program pengembangan ini biasa disebut Program spesifik lokal. Salah
satunya adalah Pengobatan Tradisional,
adalah program pembinaan terhadap pelayanan pengobatan tradisional,
pengobat tradisional dan cara pengobatan tradisional. Oleh karena itu yang dimaksud
pengobatan tradisional adalah pengobatan yang dilakukan secara
turun temurun, baik yang menggunakan herbal (jamu), alat (tusuk jarum, juru
sunat) maupun keterampilan (pijat) (Wawancara dengan YY, Pegawai Rumah
Sakit, 9/6/2017).
Setiap program yang
dilaksanakan di puskesmas dilengkapi dengan pelaksana program yang terlatih dan
sesuai dengan keahlianya, peralatan kesehatan (alat pelayanan dan bahan habis
pakai kesehatan), dilengkapi juga dengan pedoman pelaksanan program dan
sasaran program (populasi sasaran dan target sasaran) termasuk sistem
pencatatan (register pencatatan pelayanan) dan pelaporannya serta standar
operasional prosedur pelayanan kesehatan programnya, dan beberapa
kelengkapan lainnya misalnya kendaran roda dua dan empat. Kelengkapan
program Puskesmas ini selalu mendapatkan pengawasan, evaluasi dan
bimbingan dari Dinas Kesehatan Kabupaten (Wawancara dengan dr. NL, Pegawai DKK
Bandung Barat, 9/6/2017).
Di antara langkah
politik informasi pemerintah di Kabupaten Bandung Barat kepada masyarakat
adalah melalui:
1. Melalui jalur
media konvensional, seperti koran ataupun radio.
2. Melalui
komunikasi formal, baik kepada para pemimpin formal, yaitu kepada para pegawai
pemerintah sampai ke tingkat bawah;
3. Melalui
komunikasi tradisional, yaitu pihak pemerintah mendekati para pemimpin
masyarakat juga para pemimpin informal, seperti para pemimpin organisasi
masyarakat.
4. Melalui website
http://www.bandungbaratkab.go.id/ di mana di dalamnya
terdapat portal terbuka bagi masyarakat untuk berkomunikasi langsung dengan
pemerintah.
5. Melalui jalur
komunikasi personal seperti handphone, sms, dll.
6. Melalui jalur
media sosial seperti facebook, WhatsApp, dll. (Wawancara dengan dr. NL, Pegawai
DKK Bandung Barat, 9/6/2017).
Program Pengembangan pelayanan
kesehatan Puskesmas adalah beberapa upaya kesehatan pengembangan
yang ditetapkan Puskesmas dan Dinas Kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan
permasalahan, kebutuhan dan kemampuan puskesmas. Dalam struktur organisasi
puskesmas program pengembangan ini biasa disebut Program spesifik lokal. Di
antara program pemerintah untuk pengobatan tradisional
adalah program pembinaan terhadap pelayanan pengobatan tradisional,
pengobat tradisional dan cara pengobatan tradisional. Oleh karena itu yang
dimaksud pengobatan tradisional adalah pengobatan yang dilakukan
secara turun temurun, baik yang menggunakan herbal (jamu), alat (tusuk jarum,
juru sunat) maupun keterampilan (pijat) (Wawancara dengan dr. NL,
Pegawai DKK Bandung Barat, 9/6/2017).
Setiap program yang
dilaksanakan di puskesmas dilengkapi dengan pelaksana program yang terlatih dan
sesuai dengan keahliannya, peralatan kesehatan (alat pelayanan dan bahan habis
pakai kesehatan), dilengkapi juga dengan pedoman pelaksanan program dan
sasaran program (populasi sasaran dan target sasaran) termasuk sistem
pencatatan (register pencatatan pelayanan) dan pelaporannya serta standar
operasional prosedur pelayanan kesehatan programnya, dan beberapa
kelengkapan lainnya misalnya kendaran roda dua dan empat. Kelengkapan
program Puskesmas ini selalu mendapatkan pengawasan, evaluasi dan
bimbingan dari Dinas Kesehatan Kabupaten (Wawancara dengan SN, Pegawai Puskesmas,
9/6/2017).
Pada masyarakat yang sudah maju,
ilmu pengetahuan dipelajari melalui jalur pendidikan, baik yang bersifat formal
maupun nonformal. Dalam masyarakat tradisional ilmu pengetahuan lebih banyak
diperoleh dengan cara mewarisinya secara turun-temurun. Dengan demikian sebagai
warga masyarakat yang mengalami proses sosialisasi dan interaksi dalam arena
pergaulan sehari-hari, tentunya lingkungan kehidupan masyarakat terbuka terdapat
kemungkinan untuk tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman sebagai warisan dari
generasi pendahulunya.
Penelitian ini lebih memfokuskan
perhatian pada upaya mendeskripsikan pemanfaatan sistem pengobatan tradisional,
dan faktor-faktor yang mempengaruhi serta keefektifan dari sistem pengobatan
tradisional yang disediakan di puskesmas.
Alden dkk. (2012) membuat model
perilaku tentang “pilihan berobat”, di mana adaptasi lintas budaya yang
terdapat dalam model kepercayaan kesehatan (health belief model)
digunakan untuk menjelaskan pengambilan keputusan tentang pengobatan. Perumusan
Young meliputi 4 unsur utama, yakni: (1) “Daya tarik” (gravity), yaitu
tingkat keparahan yang dirasakan oleh kelompok referensi individu (anggapan
bahwa hal itu ada sebelum jatuh sakit, yakni kesamaan pendapat dalam kelompok
tentang berat ringannya tingkat keparahan dari berbagai jenis penyakit). (2)
Pengetahuan tentang cara-cara penyembuhan popular (home remedy), yang bersumber pada sistem rujukan awan (yaitu jika
pengobatan tidak diketahui, atau setelah dicoba ternyata tidak efektif, maka
individu akan beralih pada sistem rujukan professional). (3) “Kepercayaan” (faith)
atau tingkat kepercayaan terhadap keberhasilan dari berbagai pilihan pengobatan
(terutama dari penyembuhan tradisional). (4) “Kemudahan” (accessibility), meliputi biaya dan tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan;
sama halnya dengan “kendala yang dirasakan” pada model kepercayaan kesehatan
dan “faktor kesanggupan”.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi
responden menggunakan pelayanan pengobatan tradisional yang disediakan oleh
pusat-pusat pengobatan tradisional adalah dikarenakan pengobatannya menggunakan
bahan herbal, sudah percaya karena pengobatannya sudah dilakukan secara turun
temurun, selain itu biaya lebih murah dari pengobatan tradisional yang lain,
ataupun lebih murah dari pengobatan yang dilakukan di pengobatan umum,
puskesmas ataupun rumah sakit pada umumnya (Wawancara dengan KS, keluarga
pasien, 9/6/2017).
Efektifitas dari pengobatan
tradisional (Battra) yang dirasakan oleh responden yaitu: penyakit yang
diderita oleh pasien sembuh (Wawancara dengan ST, pasien patah tulang,
9/6/2017). Demikian juga, pasien cocok
dengan teknik pengobatan yang dilakukan di pengobatan tradisional dan juga
cocok mengkonsumsi obat yang diberikan, misalkan saja cocok dengan herbalnya
atau cocok dengan kapsul herbalnya (Wawancara dengan LH, pelanggan herbal,
9/6/2017). Keefektifan yang dirasakan
responden ini dibuktikan dengan rata-rata responden menggunakan pengobatan
tradisional mereka sudah hampir lebih dari satu tahun. Hal ini diakui
responden, karena responden cocok menggunakan pengobatan tradisional, dan juga
penyakitnya sembuh.
DISKUSI
DAN KESIMPULAN
Maraknya kembali pengobatan
tradisional sebagai alternatif pengobatan masyarakat dapat dialamatkan
terutama pada adanya kerinduan masyarakat untuk kembali kepada sebelum
kemodernan (Rahman, 2011). Kemodernan di dunia pengobatan dapat dicirikan dengan perkembangan
ilmu kedokteran dan farmasi yang sudah ke tingkatan yang canggih, dan
seringkali mahal. Di masyarakat yang sederhana seperti masyarakat perdesaan,
gerakan kembali ke pengobatan tradisional ini sangat mendapat tempat. Temuan
penelitian di atas menunjukkan bagaimana masyarakat begitu antusias untuk
kembali pada pengobatan tradisional sebagai bentuk usaha masyarakat miskin dan
perdesaan atas keberadaan berbagai macam penyakit yang mengganggu kehidupan
mereka.
Tetapi kembalinya pada pengobatan
tradisional itu bukan semata-mata tumbuh secara alami di masyarakat. Karena
pada saat modernisasi pengobatan, pengobatan tradisional ini pernah mengalami
ketidakberdayaan. Hal ini dialami di Indonesia, di mana sejak akhir tahun
1960an hingga akhir tahun 1990an mencanangkan pembangunan di berbagai bidang,
termasuk bidang kesehatan, yang meningkat secara bertahap. Mengiringi itu
semua, pihak pemerintah secara ekstensif dan intensif menyediakan berbagai
fasilitas kesehatan pada masyarakat, yang dalam hal ini adalah pengobatan
modern. Selain penyediaan fasilitas, pemerintah pun biasa melakukan kampanye
kesadaran kesehatan, suatu program yang disebut dengan promosi kesehatan
(Permenkes, 2008). Hal ini dilakukan juga, misalnya, di negeri jiran Malaysia
di mana penggunaan media massa telah menjadi tolak punggung promosi kesehatan,
terutama dari segi penglihatan modern (Jamri, 2017).
Dalam kenyataannya, tidak semua
pihak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. Adanya penyakit-penyakit
yang memerlukan perhatian lebih dengan komplikasi masalahnya telah membuat
usaha penyembuhannya jadi lebih rumit, yang kemudian bisa berakibat pada
mahalnya usaha penyembuhan. Di sini masyarakat kemudian memilih pengobatan
tradisional yang secara kasar dapat dikatakan lebih murah daripada yang ada di
institusi pengobatan modern. Walaupun secara medis tidak dapat
dipertanggungjawabkan, pengobatan tradisional seringkali dipercayai dapat
menyembuhkan.
Kemudian, dari segi layanan, banyak
dari pengobatan modern yang tidak bisa melayani hal-hal yang bersifat tradisi.
Keilmuan kedokteran modern tidak begitu serius menanggapi kebutuhan kesehatan
yang dianggap bersifat remeh temeh, yang hanya bersifat tamasya, seperti pijat,
akupunktur, pengobatan dengan menggunakan bahan alamiah, terafi aroma, terafi
warna, terafi pernafasan, dan lain-lain. Di sini kemudian ranah pengobatan
tradisional masuk. Inilah strategi penyediaan layanan dari pihak pengobatan
tradisional, yaitu menyediakan sesuatu yang di tempat lain tidak disediakan.
Dalam hal ini pihak pengobatan tradisional memberikan product differentiation seperti diajukan oleh Edward Chamberlain
dalam Theory of Monopolistic Competition
(1933), atau dalam kata-kata Baumgartner dan Jones (2015) adalah “choosing among Problems, and picking
Solutions.”
Logika di atas merupakan jalan
pikiran para informan yang berasal dari pengguna atau pelanggan pengobatan
tradisional. Sementara itu, dapat pula dikatakan bahwa penjelasan seperti di
atas itu adalah hasil pemikiran yang berasal dari strategi dan taktik politik
informasi para pelaku pengobatan tradisional. Dengan strategi dan taktik itu
para pelaku pengobatan tradisional mempolitisasi data tentang pengobatan
tradisional dengan tafsiran-tafsiran yang dikehendaki mereka. Dengan banjirnya
informasi seperti sekarang ini, masyarakat sudah saling menginformasikan
tentang berbagai hal, termasuk mengenai kesehatan tradisional. Di sini para
pelaku pengobatan tradisional melakukan penyebaran iklan melalui media sosial,
media tradisional, dan media mainstream. Yang paling penting dalam gerakan ini
adalah isu bahwa sistem pengobatan modern penuh dengan bahan kimia, punya efek
samping, menuntut ketergantungan, berbahaya untuk jangka panjang, dan berbiaya
mahal.
Penjelasan-penjelasan di atas dari
segi informasi sebetulnya sudah merupakan informasi interpretatif dalam rangka
penyerangan terhadap pengobatan modern. Dalam hal ini, terjadi politik
informasi kepada pihak pengobatan modern oleh pihak pengobatan tradisional.
Demikian karena untuk mengukuhkan sesuatu, harus menyerang sesuatu yang
lainnya. Menurut Peter Schroder (2009), strategi politik
adalah rencana untuk tindakan, dimana penyusunan dan pelaksanaan strategi
mempengaruhi sukses atau gagalnya strategi itu pada akhirnya. Dalam hal ini
Schroder menjelaskan bahwa strategi politik dibagi menjadi dua yaitu strategi
ofensif (menyerang) dan strategi defensif (bertahan). Strategi ofensif selalu
dibutuhkan, misalnya apabila partai ingin meningkatkan jumlah pemilihnya atau
apabila pihak eksekutif ingin mengimplementasikan sebuah proyek. Pada dasarnya,
semua strategi ofensif yang diterapkan pada saat kampanye pemilu harus
menampilkan perbedaan yang jelas dan menarik antara kita dengan partai partai
pesaing yang ingin diambilalih pemilihnya. Inilah yang dilakukan para pelaku
pengobatan tradisional.
Namun aliran modern dalam kesehatan,
termasuk pihak pemerintah, pun tidak tinggal diam. Dari hasil analisis dapat
ditarik kesimpulan tentang politik informasi pengobatan tradisional (Battra) di
masyarakat Kabupaten Bandung Barat, yaitu bahwa politik informasi pemerintah Kabupaten Bandung Barat untuk pengobatan
tradisional telah cukup sukses. Masyarakat Kabupaten Bandung Barat kebanyakannya menyambut baik
kebijakan-kebijakan yang mengatur pengobatan tradisional. Di Kab. Bandung Barat
telah terjadi kemajuan pengobatan, baik itu rumah sakit ataupun puskesmas. Secara
tidak langsung, hal-hal ini merupakan strategi penyerangan kepada pihak
pengobatan tradisional. Strategi ofensif (Schroder, 2009) juga dilakukan oleh
pihak pengobatan modern. Di sini pemerintah, misalnya, melarang pertolongan
persalinan bayi oleh dukun beranak, dari pihak pengobatan tradisional. Pemerintah
menyatakan bahwa dukun beranak posisinya adalah sebagai asisten dari bidan.
Namun masyarakatnya masih banyak
yang menggunakan pengobatan tradisional. Demikian karena masyarakat responden
menggunakan pelayanan pengobatan tradisional yang disediakan oleh pusat-pusat
pengobatan tradisional adalah dikarenakan pengobatannya menggunakan bahan
herbal, sudah percaya karena pengobatannya sudah dilakukan secara turun
temurun, selain itu biaya lebih murah dari pengobatan tradisional yang lain
atau dari pengobatan umum, puskesmas ataupun rumah sakit pada umumnya.
Sejalan dengan itu, juga sebagai
respon atas tuntutan masyarakat tersebut, para pelaku pengobatan tradisional di
Bandung Barat pun melakukan preservasi pengetahuan pengobatan tradisional
dengan berbagai kegiatannya seperti mentransferkan pengetahuan tersebut kepada
yang meminatinya. Demikianlah, maka jenis-jenis pengobatan tradisional seperti pengobatan
alternatif (akupuntur, pijat, herbal), terapi energi, dan herbal-herbal yang berasal
dari tumbuhan, hewan, dan bahan mineral pun tetap ada di Bandung Barat.
Maka, yang terjadi kemudian adalah
pengaturan diri (self-regulation)
dari masyarakat tersebut terhadap jenis pengobatan apa yang cocok dengan diri
mereka. Demikian seperti dijelaskan teorinya oleh Cameron (2011). Di sini
masyarakat dituntut untuk lebih dewasa menentukan apa yang paling memuaskan
untuk dirinya dengan segala kondisinya. Ayub et.al. (2017) mengutip Rezal
(2016) menyatakan bahwa seringkali pasien dengan penyakit kronis akan mencari
informasi tambahan, bahkan setelah ia pergi ke dokter. Disinilah, kemudian,
nampak bahwa pada akhirnya, praktek politik informasi pun menjadi milik
individu.

Young. (2012). Adult preferences for physician decision-making style in
Japan and the United States. Asia Pac. J. Publ. Health. 2012;24:173–184.
Anwar, R. K., Rusmana, A., & Rahman, M. T. (2018). The
Politics Of Information On Traditional Medical Practices In Bandung Barat. MIMBAR, Vol. No 1st (June)
2018 pp. 158-165, 34(1), 158-165.
APECHWG. (2013). APEC
Policy Dialogue on The Development of Medicinal Plant and Traditional Medicine.
Medan: APEC Secretariat. http://www.apechwg.org/meetings/policy-dialogue/policy-dialogue-2013/policy-dialogue-on-the-development-of-medicinal-plant-and-traditional-medicine-2013
[29/7/2017].
Ayub, Suffian Hadi;
Mohammad Rezal Hamzah; Sharipah Nur Mursalina Syed Azmi; Wan Abdul Hayyi Wan
Omar; Nor Hafizah Abdullah; Zanirah Wahab; Hishamuddin Salim. “Sexual Health
Communication Among Youth: A Study of Knowledge and Attitude.” Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal of
Communication. Vol. 33 (4) 2017: 233-248. https://doi.org/10.17576/JKMJC-2017-3304-15.
Barber,
Michael and Nolan McCarthy. (2013). “Causes and Consequences of Polarization,”
in Jane Mansbridge and Catie Jo Martin (eds.), Negotiating Agreement in Politics, Washington, DC: American
Political Science Association.
Baumgartner,
Frank R. and Bryan D. Jones. (2015). The
Politics of Information: Problem Definition and The Course of Public Policy in
America. Chicago: The University of Chicago Press Books.
Cameron,
A. (2011). Impermeable Boundaries? Developments in Professional and
Interprofessional Practice. Journal of
Interprofessional Care, 25 (1), 53-8.
Chamberlin, Edward. (1933). Theory of Monopolistic
Competion. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Jamri, Mohamad Hafifi; Nurzali Ismail; Jamilah Hj.
Ahmad; Darshan Singh. “Kempen Kesedaran Kesihatan Awam: Satu Tinjauan Literatur
dari Sudut Penggunaan Media dan Komunikasi di Malaysia.” Jurnal Komunikasi: Malaysian Journal
of Communication. Vol. 33 (3) 2017: 1-20. https://doi.org/10.17576/JKMJC-2017-3303-01.
Jordan, Tim.
(2015). Information Politics: Liberation and Exploitation in the Digital Society, London, UK: Pluto Press–Digital Barricades.
Newman, Brian and Kurt W. Conrad. (1999). "A Framework
for Characterizing Knowledge Management, Methods, Practices, and
Technologies." Dalam The Knowledge Management Theory Papers A series of
papers on the theories, processes and practices behind Knowledge Management.
Permenkes.
(2008). Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/MENKES/PER/ VII/
2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.
Rahman. (2011). Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press.
Schroder,
Peter. (2009). Strategi politik, Jakarta: Friedrich Naumann Stiftung.
Strydom,
P. (2000). Discourse and Knowledge: The Making of Enlightenment Sociology,
Liverpool: Liverpool University Press.
Travers,
Max. (2001). Qualitative Research Through Case Studies. London: Sage
Publications.
Wersig,
G. (2003). “Information Theory,” dalam J. Feather and P. Sturges (eds.), International Encyclopedia of Library and
Information Science, London/New York: Routledge.
Yin, Robert K. (2009). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Press.
Komentar
Posting Komentar