ISLAMISASI KELAS MENENGAH INDONESIA
Moeflich Hasbullah dan M. Taufiq Rahman
ISLAMISASI, POLITIK, DAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Kuntowijoyo (1991) memberikan pemahaman bahwa Islam struktural
meliputi perjuangan yang dilakukan melalui lembaga-lembaga struktur teknis
seperti birokrasi, institusi pemerintah, partai politik dan apa saja yang
berhubungan dengan proses pembuatan keputusan politik. Sebaliknya, segala
aktifitas yang dilakukan diluar media struktur politik pemerintah tersebut
disebut ‘kultural.’ Aktifitas kultural berkaitkan dengan pemberdayaan
masyarakat. Para pelaku dan pendukung proses strategi kultural ini adalah para
pemikir, pendidik (guru/dosen/kiayi), para mubaligh, para aktifis organisasi,
para pemimpin organisasi kemasyarakatan dan sebagainya. Kuntowijoyo (1991: 21) memberikan beberapa contoh: Yusuf Hasyim
meninggalkan karir militernya dan kembali kepada kehidupan sipil dan menjadi
ulama pesantren. E. Zaenal Muttaqien di Jawa
Barat, salah seorang elit Masyumi, setelah organisasi itu dibubarkan, menjadi
dosen di Universitas Islam Bandung (Unisba). Mohammad Natsir, mantan pemimpin
Masyumi, menjadi aktifis Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).
ISLAMISASI, POLITIK, DAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN
Dalam
sejarah politik Islam sejak kemerdekaan, demikian kita melihat, telah terjadi
pergeseran dari “Islam struktural” ke “Islam kultural.” Apakah perbedaan antara
keduanya? Agak sulit juga sebetulnya
mendefinisikan kedua konsep ini secara terpisah.
Islam kultural muncul ketika, di
satu sisi, umat Islam tidak lagi memandang partai politik sebagai satu-satunya
saluran untuk memperjuangkan aspirasi politik mereka. Di sisi lain, terdapat
proses meningkatnya ketaatan pada ajaran Islam dalam berbagai kelompok
masyarakat seperti lapisan kelas menengah, kelompok profesi, partai politik dan
birokrasi pemerintah. Ketika orang-orang Islam yang terhimpun dalam berbagai
kelompok masyarakat ini semakin santri, mulai menunjukkan komitmen pada agama,
mulai terikat oleh simbol-simbol Islam, ekspresi keagamaan otomatis mulai
nampak dalam kehidupan sosial secara luas. Taufik Abdullah menggambarkan
pergeseran dari Islam politik ke Islam kultural sebagai berikut:
Sekarang
Islam politik mulai ditinggalkan – dan karena harus meninggalkan—kemudian
“Islam nasional yang kultural” memerlukan bentuk. Karena itulah orang mukai
mencari. Itu gejala menarik. Tak usah heran bila berbagai gedung yang merupakan
simbol nasional sudah menjadi tempat aktivitas Islam. Bila berbagai universitas
menjadi pusat kegaiatan dakwah anak muda, bahkan praktis kantor-kantor
mempunyai tempat shalat. Itu sebenarnya boleh kita anggap sebagai peralihan
dari “Islam nasional yang politik” menjadi “Islam nasional yang kultural”
(Anwar, 1995: 133).
Karena
tipe Islam ini tidak bernada ideologis, melainkan mengutamakan penekanan sosial
dan kultural, ia kemudian berkembang dengan mudah dan cepat, diterima secara
luas bahkan oleh pemerintah dan aparatnya yang sebelumnya dikenal cenderung
anti Islam. Melalui wajah Islam kultural ini, umat tidak lagi dipandang sebagai
kelompok militan dan dicurigai bertujuan mendirikan negara Islam yang
membahayakan Pancasila. Islam kemudian berkembang keluar menembus batas-batas
organisasi dan partai politik. Hefner (1995: 89) menemukan bahwa penerimaan umat Islam atas
Pancasila telah memunculkan sesuatu yang disebut “unintended consequences” (konsekuensi-konsekuensi tak terduga)
yaitu karena Islam tidak lagi diasosiasikan dengan salah satu partai politik,
melainkan sebagai nilai-nilai luhur yang netral, maka lembaga, organisasi dan
partai-partai politik yang lain mulai mengakui dan mau menunjukkan
kemuslimannya. Islam kemudian mengalami ekspresinya yang luas yang kemudian
disebut sebagai kebangkitan Islam. Ekspresi-ekspresi keislaman ditemukan di
Golkar, PDI, kampus-kampus, kantor-kantor pemerintah, pegawai negeri,
kelompok-kelompok profesional, kelompok bisnis, kalangan artis, anggota DPR,
aktifis LSM dan seterusnya yang sebelumnya tempat-tempat tersebut dikuasai oleh
kelompok abangan. Hubungannya dengan pemerintah, terjadi perubahan sikap yang
mendasar pemerintah terhadap umat Islam dan sebaliknya. Antara kedua pihak
terjadi political rapprochement
(saling pendekatan politik). Di Jawa yang sebelumnya kelompok abangan adalah
hambatan bagi gerakan Islam, laporan media dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa sejak tahun 1980an, banyak orang Jawa yang dulunya adalah penganut
kejawen, mulai berubah dan beralih menjadi santri (Hefner, 1995: 90).
Pergeseran orientasi kepada Islam
kultural juga telah diperkuat oleh lapisan kelas menengah santri yang telah
menyelesaikan studinya baik dalam program Master maupun Doktor, di dalam maupun
di luar negeri. Kelompok masyarakat terpelajar dan intelektual baru ini,
melalui kegiatan-kegiatan diskusi, seminar, ceramah-ceramah, tulisan di media,
terbitan buku-buku dan sejenisnya mempromosikan ide-ide mereka tentang
masalah-masalah Islam dan kehidupan sosial kontemporer. Melalui jalur kegiatan
seperti ini, “mereka berusaha menampilkan citra Islam yang ilmiah, ramah, dan
kompatibel dengan cita-cita pembangunan manusia seutuhnya” (Anwar, 1995: 132).
Mereka yang berada di birokrasi,
yang telah mengadopsi Islam kultural, menyumbangkan santrinisasi dari dalam.
Pelan tapi pasti, kelompok priyayi abangan yang mendominasi pemerintahan
meningkatkan kesetiaan keagamaan mereka dan menjadi lebih santri. Ini adalah
periode dimana dikotomi santri abangan menjadi surut dalam Indonesia Orde Baru.
Karena itulah, sejak saat itu, formulasi Geertz tidak lagi relevan untuk
menganalisis Islam Indonesia.
Pemerintahan Soeharto yang sadar
betul bahwa Islam adalah aset yang sangat penting untuk dukungan politik,
menyambut hangat perkembangan Islam ini. Di masa-masa akhir kekuasaannya,
ketika dukungan dari tentara melemah, dan dia mengangkat Habibie sebagai wakil
presiden,[1]
Soeharto banyak mengadopsi aspirasi umat Islam seperti mengeluarkan izin
pemakaian kerudung untuk perempuan muslimah di universitas-universitas dan
sekolah-sekolah umum, pengesahan UUPA (Undang-undang Peradilan Agama),
pendirian Bank Muamalat, bantuan finansial pemerintah terhadap pembangunan
ribuan masjid di seluruh Indonesia, dan yang paling spektakuler, pendirian
lembaga Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) tahun 1990. Perkembangan
tersebut, secara agama maupun secara politik, jauh lebih “memiliki arti
ketimbang apapun yang pernah dicapai dalam arena politik.” (Hefner, 1995: 90).[2] Perkembangan Islam ini tak terbayangkan
sebelumnya yaitu pada zaman Soekarno dan masa-masa awal periode kekuasaan
Soeharto ketika aspirasi Islam disuarakan oleh partai-partai Islam. Pemandangan
ini mirip seperti apa yang digambarkan Huntington (1996: 112) bahwa manifestasi politik kebangkitan Islam agak
kurang menyerap dibandingkan pengaruh-pengaruh sosial kulturalnya.
Dari penjelasan di atas, nampak
bahwa Islam kultural tidak berarti terpisah secara an sich tanpa
tujuan-tujuan politik. Lapangan kebudayaan sesungguhnya adalah tujuan politik
kelompok kelas menengah Muslim pada masa Orde Baru untuk membuat Islam diterima
secara lebih luas oleh berbagai kelompok termasuk komunitas politik, terutama
negara, dengan merubah wajah dan kesan Islam sebagai ancaman nasional. Ketika
kelompok Islam merubah wajah ekspresi politiknya, pada saat yang sama,
pemerintah pun merubah pandangannya terhadap kelompok Islam. Pada satu sisi
ekstrim, mungkin benar bahwa negara, sebagai diklaim oleh Liddle (1996) dan
Wahid (Schwarz, 1994)
telah mengkooptasi kelompok Islam untuk tujuan-tujuan politiknya. Dugaan ini
dibuktikan oleh terbentuknya Kabinet Reformasi yang dipimpin Presiden Habibie
bahwa walaupun ia telah melakukan beberapa reformasi penting seperti mencabut
UU Subversi, menciptakan kebebasan pers, membebaskan para tahanan politik yang
ditahan masa Soeharto, membuka ruang kebebasan publik, melakukan
restrukturisasi perbankan dan seterusnya, Habibie tetap dianggap segan dan
enggan menggusur Soeharto ke pengadilan atas kasus-kasus korupsi yang dilakukan
keluarga Cendana. Habibie diduga berhutang banyak pada Soeharto atas karir yang
telah ditempuhnya termasuk menjadi ketua ICMI dimana dia dianggap lebih
melindungi Soeharto dari memenuhi tuntutan politik rakyat untuk mengadili
mantan penguasa Orde Baru tersebut.
Tetapi pandangan tersebut tidak
sepenuhnya benar bila melihat perspektif lain. Para politisi Muslim atau
kelompok Islam melihat bahwa negara adalah medium yang strategis untuk
meluaskan pengaruh Islam. Sebagai konsekuensi dari dua pandangan ini, negara
dan kelompok Islam, akhirnya harus saling mengakomodasi untuk menggolkan
kepentingannya masing-masing. Situasi ini telah memunculkan saling pendekatan
politik (political rapprochement) diantara keduanya. Pemerintahan
Soeharto mengkooptasi Islam untuk legitimasi politiknya walaupun akhirnya
terjebak oleh skenarionya sendiri[3]
dan kelompok Islam mengkooptasi negara untuk kepentingan-kepentingan aspirasi
Islam. Islam kultural telah menjadi latar basis dari penemuan hubungan
Islam-negara yang cocok dan menguntungkan ini. Tentang hal ini, Munawir Sadzali (1990: 49 – 53), seorang intelektual dan mantan
menteri agama, mengatakan, “Islam kultural telah menunjukkan atmosfir yang
segar, mengundang simpati dan mendukung hubungan yang lebih baik antara umat
Islam dan negara.”
Diuntungkan oleh efektifitas
politik, Islam kultural kemudian diperkuat oleh usaha-usaha yang lebih
konseptual oleh kalangan kelas menengah Muslim dalam memfokuskan mana target
dan program yang harus diprioritaskan dan mana yang tidak. Kuntowijoyo (1985: 11-13), sejarawan Muslim dari Universitas
Gadjah Mada mengajukan tiga agenda tentang gerakan Islam kultural: gerakan
intelektual, gerakan etik dan gerakan estetik.
Islam sebagai gerakan intelektual
mendukung berkembangnya nilai-nilai Islam sebagai konsep sains guna menghadapi
konsep-konsep sosial, ekonomi dan politik yang ada. Al-Qur’an menuutnya, kaya
dengan nilai-nilai yang dapat menjadi basis konsep-konsep saintifik untuk
menciptakan peradaban manusia yang lebih baik dari peradaban Barat selama ini
yang tengah mengalami krisis multidimensional. Islam sebagai gerakan etik
melihat Islam sebagai pelengkap dari nilai-nilai modern yang ada. Jika etos
kapitalisme adalah pertumbuhan ekonomi, Islam harus menambahkannya dengan
keadilan, persamaan dan seterusnya. Sedangkan Islam sebagai kekuatan estetik
adalah menciptakan sebuah sistem simbol baru dengan makna Islam. Sebagai contoh
sederhana, Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa sejumlah besar mushalla yang berada
di kantor-kantor di kota-kota hanya mungkin ada oleh kesadaran religius.
Mushalla yang berfungsi sebagai simbol kesadaran beragama dalam mengisi
aktifitas sehari-hari menunjukkan bahwa hidup ini tidak hanya cukup diisi oleh
kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan produksi tetapi juga spiritual.
[1] Habibie ketika itu
meluaskan pengaruh politiknya melalui visi hi-tech-nya.
Kalangan militer tidak menyukai Habibie karena “campur tangan Habibie dalam
usaha perolehan alat-alat militer agar menguntungkan bisnis ‘industri
strategisnya’ seperti IPTN (PTDI), dan PT. PINDAD keduanya di Bandung dan PT.
PAL di Surabaya. Militer juga melihat Habibie ketika itu sedang mendekat kepada
Soeharto agar menguatkan pengaruhnya. Terakhir, Habibie berusaha meningkatkan
pengaruhnya yang lebih besar dalam Golkar dengan menyingkirkan para tokoh sipil
dan mereka yang sudah lama berada dalam kekuasaan” (Schwarz 1994: 95).
[2] Proses Islamisasi tidak
hanya terjadi di level kelas menengah dan birokrasi pemerintahan, tetapi juga
nampak di daerah-daerah bahkan di tempat-tempat yang tidak terduga. Misalnya, studi
Stephen C. Headley tentang tradisi ruwatan di Solo, Jawa Tengah, menunjukkan
bahwa frekuensi upacara-upacara yang berasal dari tradisi Hindu ini semakin
menurun rutinitasnya sejalan dengan semakin luasnya dakwah Islam. Kemudian dari
studi Paul Stange tentang mistik Jawa kontemporer menunjukkan gejala yang sama.
Pada pertengahan 1980an dia menulis “walaupun kekuatan Islam secara politik
mungkin sedang mandek, tetapi sebagai agama pengaruhnya terus semakin mengakar
… Perkembangan Islam, menurut saya, telah menghentikan perkembangan Islam
kejawen” (1986: 79-80, Hefner 1995: 118, footnote no. 16).
[3] Ketika Soeharto dipaksa
untuk mundur dari kekuasaannya oleh gelombang protes mahasiswa, tak seorang pun
dari aktifis ICMI --organisasi yang dicurigai telah dikooptasi oleh Soeharto--
yang mendukungnya agar bertahan. Nurcholish Madjid, Yusril Ihza Mahendra dan
Ali Yafie (bersama-sama dengan Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib dan yang
lainnya), mendatangi Soeharto dan menuntut dia untuk mundur dan mendiskusikan
cara terbaik untuk turun dari kekuasaan.
Komentar
Posting Komentar