PERANAN ELIT ISLAM NASIONAL DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM

M. Taufiq Rahman
ELIT POLITIK ISLAM NASIONAL DAN PENGEMBANGAN PESANTREN DI DAERAH


Pada mulanya pesantren memang institusi pendidikan tradisional. Demikian karena di pesantren itulah ajaran-ajaran Islam yang berdasarkan kitab-kitab klasik diajarkan. Tradisionalisme pesantren semakin nampak apabila dipertentangkan dengan sekolah yang relatif lebih maju karena memakai cara-cara modern. Dan pesantren pun masih nampak tradisional jika dibandingkan dengan madrasah, model sekolah Islam, yang juga modern.

Dengan adanya sekolah dan madrasah, secara praktis pesantren sudah tertantang. Masyarakat Islam di Indonesia sudah punya pilihan lain selain pesantren. Terhadap tantangan ini sebagian pesantren mencoba menyesuaikan diri. Antara lain dengan memasukkan sistem pembelajaran formal seperti yang dilakukan di sekolah dan madrasah. Sistem kiai yang bersifat kharismatik pun menyesuaikan diri dengan sistem guru kolektif. Kepemilikan pesantren yang dulunya bersifat individual dan kekeluargaan, kini berubah menjadi kolektif dan terbuka, yaitu berbentuk yayasan. Untuk hal ini, penilaian dari Weber (1968) bisa masuk, yaitu terjadinya transformasi dari yang dominasinya kepemimpinan karismatik ke arah yang lebih demokratis. Tentang transformasi karismatik ke demokratis ini dikonfirmasi oleh kajian Epley (2015) yang menyimpulkan dari laporan Hefner (2000: 92) mengenai KH. Abdurrahman Wahid yang mengubah organisasi Nahdlatul Ulama (NU), “transforming it from a simple vehicle of ulama representation into an agent of grassroots development and pluralist democracy”.
Begitulah maka teori dari Huse (1979) mengenai proses perubahan suatu organisasi bisa mendapat tempat di pesantren. Yaitu bahwa perubahan itu terjadi setelah disadari adanya ketidaktetapan yang menimbulkan fenomena tekanan dan ketidakpuasan, yang kemudian menimbulkan intervensi dan reorientasi. Maka, dalam rangka perubahan, diagnosis dan pengenalan kepada hal yang baru yang disertai dengan intervensi dan komitmen pun terjadi. Dari situ dapatlah dibuat fase penetapan kembali dengan membuat percobaan dan pencarian sesuatu yang baru disertai dengan penguatan kembali dan penerimaan.
Teori perubahan dari Huse (1979) di atas hampir sama dengan teori A-G-I-L (Adaptation - Goal attainment – Integration - Latent pattern maintenance) dari Parsons (1963) dan Poloma (1979). Karena memang ada proses adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi, dan pemeliharaan pola lama. Proses adaptasi terhadap modernitas dan pembangunan memang tengah berlangsung di pesantren-pesantren. Pesantren yang dulunya hanya satu jenis, yaitu salafi (tradisional) saja, kini sudah menjadi tiga jenis, yaitu dengan tambahan jenis khalafi (modern) dan campuran (kombinasi). Nampak pula bahwa pesantren salafi jumlahnya semakin sedikit dan jenis kombinasi semakin banyak.
Nampaklah bahwa zaman tengah berubah. Hal itupun dialami pesantren. Pesantren-pesantren yang masih kukuh untuk mengambil jalan tradisional pun tengah mengalami modernisasi, baik dari segi ko-kurikulum, legalitas, maupun penggunaan teknologi modern seperti komputer bahkan radio. Demikianlah, perubahan pada pesantren merupakan suatu perubahan yang bersifat sistemik. Artinya, perubahan satu hal akan mengubah pada hal lainnya. Albrecht (1978) mengemukakan bahwa empat sistem utama dalam suatu organisasi, yaitu sistem teknik, sistem sosial, sistem administrasi, dan sistem strategis akan saling mengoreksi diri. Proses perubahan yang serentak itu memang terjadi di pesantren.
            Perubahan (transformasi) yang terjadi pada pesantren adalah pesantren memperbarui dirinya menjadi modern. Dan kemodernan yang merupakan kehendak merubah dari kejumudan menuju kemajuan itu merupakan tuntutan masyarakat (social demand) (Korten & Alfonso, 1981). Kajian menemukan bahwa pihak orang tua santri sebagai pelanggan (customer) dari pesantren sudah menuntut bahwa pesantren mestilah memberikan ilmu-ilmu yang diperlukan oleh individu-individu modern. Demikian karena dunia industri seperti sekarang menuntut jenis manusia lain yang mesti dikeluarkan oleh institusi pendidikan (Toffler, 1970). Di antara ilmu-ilmu yang dituntut oleh masyarakat untuk diadakan oleh pihak pesantren adalah ilmu-ilmu bahasa internasional seperti Arab dan Inggris dan ilmu-ilmu praktis untuk bekal hidup sehabis keluar dari pesantren.
            Memang belum semua pesantren sedia untuk segera melakukan pembenahan diri dan persiapan untuk menjadi modern. Sebab selalu saja ada rintangan-rintangan untuk mewujudkannya, di antaranya adalah letaknya yang berada jauh di perdesaan, lingkungan yang masih saja diliputi budaya agraria, manajemen pesantren masih bersifat kekeluargaan, teknologi yang belum berkembang, dan sebagainya. Tetapi bahwa pesantren mesti menjawab tuntutan masyarakat tadi jika hendak melanggengkan dirinya sebagai pusat kegiatan komunitas adalah juga kenyataan yang tak boleh disangkal. Sebab, jika pesantren tidak mengikuti kehendak masyarakat untuk mengikuti kemajuan, pesantren akan ditinggalkan orang, dan cerita pesantren hanyalah sebagai cerita masa lalu. Trend masyarakat sekarang menuntut bahwa pesantren bukan hanya berpenampilan desa, tetapi juga siap sedia untuk berpenampilan kota. Sebab, di belahan dunia lain pun, modernisasi, termasuk modernisasi sistem pendidikan, itu dilegitimasi sebagai perangkat untuk memperkuat umat Islam itu sendiri (Sikand dalam Noor, et.al., 2008).
Penanaman karakter Islam adalah sesuatu yang sudah given bagi pesantren. Namun, bagaimana jika pesantren pun memicu jiwa community development pada diri santrinya? Di situlah keunikannya. Penanaman karakter yang terakhir ini dapat dilihat dalam sedikit cerita penulis dalam penelitian di Bandung Barat, Sukabumi dan Tasikmalaya (Juli-Agustus 2016) berikut ini.
Penanaman karakter pada anak bukanlah hal yang baru. Setiap orang tua di segala zaman selalu menanamkan karakter pada anaknya. Demikian karena hidup tanpa karakter berarti hidup tanpa tujuan, tanpa ruh, dan tanpa semangat. Karakter sebagai modal psiko-mental, dengan demikian, harus diturunkan kepada anak sejalan dengan menurunkan kemampuan mereka untuk terus hidup. Itulah yang selalu dilakukan oleh para orang tua.
Secara umum kita bisa katakan bahwa teori-teori penanaman karakter yang sesuai dengan kehendak masyarakat, atau apa yang disebut sosialisasi sangatlah bertaburan. Misalnya, ada teori yang menumpukan perhatian pada beberapa hal seperti melihat perkembangan kognitif (seperti Piaget), penanaman moral dan identitas personal melalui hubungan kekeluargaan (seperti Freud), penerapan kategori moral dan nilai (seperti Durkheim), konsep diri dan identitas sosial (seperti Mead), dan perkembangan keterampilan sosial yang membuat keberhasilan interaksi, terutama dalam komunikasi linguistik (seperti Bernstein).
Memang, secara sosiologis, karena kita berkembang dan bermasyarakat, di masyarakat kita muncul pembagian tugas (division of labor), misalnya dengan adanya tenaga yang mengajarkan kemampuan dan karakter kepada generasi muda. Mereka dikenal dengan guru, ustadz, tutor, dan sebagainya. Dan mereka tidak hanya mengajar dari rumah ke rumah, atau di rumah mereka, atau di tempat ibadah. Mereka pun mempunyai lembaga pendidikan (Rahman, 2011).
Maka, kepada guru-guru di lembaga-lembaga pendidikan itulah tiap-tiap keluarga menitipkan anak-anaknya untuk dididik. Di situlah karakter pun ditempa dan ditanamkan, yang kemudian tumbuh dan berkembang. Demikian karena di lembaga-lembaga pendidikan itulah generasi muda kita diasuh, dididik, bahkan menghabiskan usia persekolahan mereka. Harapan masyarakat terhadap lulusan pesantren, yang pada umumnya disuarakan oleh orang tua santri, haruslah memiliki akhlak yang mulia (akhlaqul karimah), memiliki keilmuan agama yang teguh (tafaqquh fiddin), menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan memiliki keterampilan (Wawancara dengan MZ, orang tua santri dari SMP Al-Muttaqin Kota Tasikmalaya, 17 Agustus 2016).
Harapan bahwa santri mesti mempunyai kemahiran hidup seperti disebutkan di atas barangkali bisa saja dipenuhi dengan menitipkan anak ke pesantren manapun, karena hampir semua pesantren memberi pelajaran kemahiran hidup. Yang berbeda adalah bahwa pesantren tradisional masihlah hanya memberikan kemahiran hidup yang bersifat agraris, pertanian saja. Sementara itu, perkembangan zaman memerlukan kemahiran hidup yang lain. Sebagian orang tua sudah tidak percaya lagi kepada pesantren tradisional untuk mendidik anaknya. Mereka menginginkan lebih, yaitu perubahan nasib dari petani ke profesi yang lain (Wawancara dengan UD, orang tua santri dari SMP Serba Bhakti Ponpes Suryalaya, Tasikmalaya).
Pesantren yang mempunyai program pendidikan formal, sehingga mempunyai ijazah yang diakui oleh perguruan tinggi adalah sesuatu yang diperlukan oleh orang tua yang berpandangan modern. Sebab tanpa bisa meneruskan sekolah, pesantren dianggap hanyalah akan mematikan bakat anak (Wawancara dengan AS, orang tua santri dari SMP Amanah, Kota Tasikmalaya, 16 Agustus 2016).
            Perkembangan selanjutnya adalah Kemdikbud dan Kemenag membantu proses modernisasi pesantren. Kemdikbud dan Kemenag menawarkan pihak pesantren sistem sekolah dan madrasah mereka untuk dijadikan tolak ukur pendidikan. Sekolah dan madrasah itu pun mengeluarkan ijazah yang dapat dipakai oleh lulusannya untuk mencari pekerjaan (Wawancara dengan CC, Pengawas Sekolah di Tasikmalaya, 18 Agustus 2016). Untuk mendapat ijazah tersebut, pihak pesantren mau tidak mau mesti menerima 100 persen semua kurikulum yang dijadikan standard. Bagi pesantren-pesantren yang mempunyai sekolah atau madrasah, mata pelajaran yang bersifat kepesantrenan hanyalah disampaikan ketika di luar waktu sekolah. Dalam kenyataannya, kemudian, banyak pesantren yang mengadakan sekolah seperti SMP, SMA dan SMK. Setidaknya begitulah pengakuan Kyai FZ dari Al-Masthuriyah, Kab. Sukabumi. Menurutnya, pesantren semakin ramai dan bergairah setelah adanya sekolah-sekolah; yang terakhir dengan didirikannya SMP yang mendapatkan pembinaan Kemdikbud. Hal itupun diakui oleh Ust. MA, Wakasek SMP Al-Syafi’iyah di kabupaten yang sama. Menurut beliau, para orang tua, terutama yang datang dari Jakarta, menuntut pembukaan sekolah di pesantren ini (Wawancara dengan MA, 12 Juli 2016).
Sekolah berbasis pesantren memang sudah banyak berkembang tumbuh di masyarakat. Hal itu kebanyakannya merupakan respon pihak pesantren dan masyarakat pada umumnya atas perkembangan zaman yang menuntut diapresiasinya ilmu-ilmu kemodernan. Namun, apresiasi itu tentu berbeda-beda dari segi pelaksanaannya. Demikian karena pihak pesantren pun berbeda-beda dari segi kemampuan dan resepsinya atas pendidikan model sekolah. Dari sini muncullah respon dari pihak pemerintah. Bagi mensukseskan pendidikan tersebut Kemdikbud dan Kemenag membantu memberikan fasilitas pendidikan seperti buku-buku, laboratorium, dan bangunan. Bantuan pemerintah tersebut memang diperlukan oleh pesantren-pesantren yang menyelenggarakan sekolah atau madrasah. Namun ada di antara pihak pesantren yang tidak mau menerima bantuan tersebut dengan alasan-alasan tertentu.
Dalam apresiasinya terhadap pesantren yang mendirikan sekolah, pihak pemerintah telah melakukan kajian dan menyiapkan berbagai macam proyek untuk membantu kelancaran sekolah berbasis pesantren. Pemerintah (Kemdikbud, 2012) mengakui bahwa Sekolah Berbasis Pesantren (SBP) adalah sekolah yang mengintegrasikan keunggulan sistem pendidikan sekolah dan pesantren. Pada tataran implementasinya, SBP menitikberatkan pada: (a) peningkatan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia serta kemandirian dalam hidup (b) pengembangan kemampuan akademik dan keterampilan. Pilihan memadukan sistem sekolah dan Pesantren ini diambil setelah melihat dan mengamati secara seksama mutu pendidikan yang dilahirkan oleh masing-masing sistem. Secara umum, pesantren dan sekolah merupakan dua satuan pendidikan yang masing-masing memiliki keunggulan yang berbeda satu sama lain. Bila mereka berjalan sendiri-sendiri, ada potensi dan kekuatan pendidikan yang pemanfaatannya kurang optimal. Namun bila kedua unggulan itu dapat disatukan, maka akan lahir sebuah kekuatan pendidikan yang komprehensif untuk melahirkan anak Indonesia yang unggul.
Kemdikbud (2012) menilai keunggulan yang dikembangkan dalam SBP adalah nilai-nilai keunggulan yang dimiliki oleh sistem pesantren dan keunggulan yang dimiliki oleh sistem persekolahan. Nilai unggul yang dimiliki sistem pesantren adalah kekuatannya dalam pengembangan akhlak mulia dan pembinaan kepribadian, sedangkan nilai unggul yang dimiliki sistem sekolah adalah kekuatannya dalam  pengembangan mutu akademis. Hal ini diakui oleh Kyai BQ dari Pesantren Darul Falah, Cihampelas, Bandung Barat. Menurutnya, setelah adanya sekolah, pesantren menjadi lebih maju, sehingga penduduk sekitar pun akhirnya banyak yang menyekolahkan anaknya ke pesantren tersebut, karena banyaknya anak yang mesantren dari luar daerah. “Akhirnya,” demikian Kyai BQ, “pesantren pun membuka SMP yang kedua, khusus untuk para penduduk sekitar” (Wawancara dengan BQ, kyai pesantren di Bandung Barat, 18 Juli 2016).
Untuk mendorong pencapaian tujuan yang diharapkan, berbagai langkah telah diambil dalam bentuk bantuan pemenuhan ketersediaan sumber daya pendidikan, seperti bantuan pembangunan RKB dan ruang belajar lainnya, alat pembelajaran, workshop pengembangan KTSP, bantuan pembinaan SBP, bantuan pengembangan SBP.  Upaya-upaya tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan lima misi Direktorat Pembinaan SMP Dirjen Dikdasmen Kemdikbud, yaitu  Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan dan Kepastian memperoleh layanan pendidikan yang bermutu (5 K).  Demikianlah sehingga, diakui oleh Pemimpin Pesantren Al-Fattah, Gunung Halu, Bandung Barat, bahwa dengan berdirinya sekolah di pesantrennya, apalagi banyak kegiatannya, santri-santri semakin banyak yang datang dan bermukim di pesantren. Hal ini sangat berkaitan erat dengan tujuan dunia (yaitu pandai untuk hidup survival) dan tujuan akhirat (yaitu memahami ilmu agama) yang dilaksanakan secara bersamaan di pesantren tersebut (Wawancara dengan SD, kyai pesantren di Bandung Barat, 18 Juli 2016).
Selain kemahiran keagamaan, kemahiran yang bersifat keduniaan seperti kemahiran vokasi, kewirausahaan dan teknologi pun dipelajari dan diajarkan di pesantren. Yang membedakannya adalah tujuan dari pesantren itu sendiri. Pesantren-pesantren tradisional seperti Miftahul Huda dan Asy-Syahidiyah di Tasikmalaya menjalankan program yang bersifat pertanian, penternakan, perkebunan, dan pertukangan. Di pesantren-pesantren tersebut selalu diadakan latihan (workshop) dan bekerja terus di ladang (magang). Oleh karena itu, gaya pendidikannya adalah belajar sambil bekerja (learning by doing).
Metode belajar secara praktis pun dilakukan dalam bidang kewirausahaan. Kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi tersebut dijalankan agar pondok pesantren mempunyai kegiatan yang dapat menunjang kegiatan operasionalnya (Mustari & Rahman, 2010). Kegiatan produktif yang diselenggarakan oleh pesantren meliputi koperasi, Wartel (warung telekomunikasi), usaha dalam bidang agrobisnis (jual beli hasil pertanian), dan perdagangan umum. Bagi keseluruhan kegiatan tersebut, santri-santri dilibatkan untuk belajar mengurusnya (Wawancara dengan WW, santri senior di Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, 17 Agustus 2016).
Begitu juga dengan kemahiran teknologi. Teknologi yang ada seperti komputer diperkenalkan kepada para santri untuk dipelajari walaupun dilakukan secara bergiliran. Skenario ini demikian karena kekurangan fasilitas teknologi di pesantren. Keberadaan pendidikan keterampilan di pesantren-pesantren tradisional dan modern sesungguhnya merupakan pendidikan sampingan (ko-kurikulum). Yang berbeda adalah fokus kokurikulum tersebut. Misalnya, di pesantren-pesantren tradisional, kemahiran hidup yang ditawarkan kepada santri adalah kemahiran hidup di pedesaan seperti masalah pertanian. Sementara itu, di pesantren-pesantren modern, kemahiran hidup sudah mengarah kepada gaya profesionalisme hidup di perkotaan seperti latihan jurnalistik, kemahiran berbahasa Inggris, kemahiran berdebat dan retorika, dan lain-lain. Namun begitu, semua kemahiran hidup tersebut masihlah bersifat kokurikulum (Wawancara dengan YY, Kepala Sekolah SMP Al-Muttaqin, Kota Tasikmalaya, 16 Agustus 2016).
Kemudian, mengenai latihan keterampilan yang didukung pelaksanaannya oleh Kemdikbud, telah sangat membantu sekolah-sekolah. Berdasarkan wawancara langsung dengan para Kepala Sekolah dan tutor-tutor keterampilan di SMP-SMP Berbasis Pesantren Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat, didapatkan bahwa program-program yang sudah diusulkan sebelumnya untuk Tahun 2015 itu sudah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya di sekolah-sekolah. Para guru juga mengatakan bahwa keberadaan program pembinaan itu sangat membantu para guru dalam mengajar kepada para siswanya yang notabene sekaligus santri. Begitu pula, peralatan pendidikan itu sangat membantu para siswa dalam memahami dan menguasai pelajaran keterampilan, untuk menjadi bekal mereka kelak di kemudian hari.
Kondisi peralatan keterampilan masih bagus, masih dipakai, dan ditempatkan di gedung dengan baik. Secara umum, tidak ada kesulitan dari pihak sekolah dalam memanfaatkan peralatan Keterampilan Siswa Berbasis Pesantren dari Pemerintah Pusat Tahun 2015. Namun demikian, hampir kebanyakan keterampilan di SMP-SMP BP Kab. Sukabumi bersifat tata boga, kecuali SMP Az-Zainiyah yang bersifat tata busana. Dalam hal tata boga, kebanyakan lebih terfokus pada kripik singkong, kecuali SMP Al-Masturiyah yang membuat produk berbahan jagung, yaitu emping jagung dan puding jagung. Kripik singkong yang diproduksi oleh SMP Al-Bashry dan SMP As-Syafi’iyah pun tidak mau ketinggalan di bidang kreativitas, mereka membuat kripik singkong berbagai rasa seperti rasa asin, rasa manis, rasa pedas, bahkan rasa keju. Khusus SMP Al-Bashry, anak-anak santri bisa pula memproduksi cheese stick (baca: sistik).
Namun, hampir semua pihak sekolah meminta pembinaan lain, terutama pelatihan guru-guru, latihan siswa, dan peralatan sekolah yang dapat memacu prestasi di bidang Matematika dan IPA. Dengan itu diharapkan akan dapat mengirimkan peserta ke olimpiade-olimpiade. Demikian itu karena peralatan keterampilan yang ada telah mampu membantu siswa dalam memperdalam dan memperluas wawasan pelajaran tentang kehidupan, terutama wirausaha. Untuk mereka yang berada di pedesaan atau di perkotaan yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung, hal ini dipandang sangat maju. Untuk itu, para kepala sekolah menginginkan program pembinaan dan keterampilan untuk siswa SMP berbasis pesantren ini untuk tetap dilanjutkan. Dan untuk tujuan ini subsidi dari Pemerintah Pusat sangat diharapkan.
Menurut para kepala sekolah SMP BP di Kabupaten Sukabumi, para siswa sangat bergairah ketika mereka belajar di luar kelas, yaitu misalnya dengan belajar keterampilan. Kegairahan seperti ini memang membuat mereka lebih bersemangat lagi dalam melakukan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di sekolah. Mereka katakan, “seperti segar kembali.” Pihak pengelola sekolah sendiri tidak mempunyai kendala dalam menjalankan semua aktivitas yang berhubungan dengan pembinaan SMP Berbasis Pesantren. Namun, ada hal-hal yang disarankan untuk kebaikan program tersebut di sekolah-sekolah SMP BP di Sukabumi, yaitu diantaranya:
1)      Diperlukan program tingkat mahir untuk kelas VIII dan terampil untuk kelas IX. Demikian karena selama ini hanya melakukan keterampilan tingkat dasar.
2)      Supaya program pembinaan dilanjutkan karena hal itu membantu kemandirian pesantren dan kemampuan siswa untuk pada saatnya nanti terjun ke masyarakat dan dunia usaha.
3)      Diperlukan adanya pelatihan untuk para tutor, apabila ada perkembangan baru baik dalam produksi maupun pemasaran.
4)      Diusulkan supaya ada pelatihan pertukangan untuk santri putera. Demikian karena keterampilan tata boga dan busana lebih ditekuni oleh santri puteri.
5)      Diteruskan kerja sama dengan pihak-pihak yang dapat memelihara kelangsungan pembinaan SMP Berbasis Pesantren, seperti dengan pihak Kemdikbud, Kementerian Agama, dan lain-lain atau melakukan terobosan baru dengan melakukan kerjasama dengan Kementerian Pertanian atau Perindustrian.

Kaum santri di Indonesia telah menghargai nilai-nilai pendidikan dengan mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah untuk mendapatkan posisi sosial yang lebih baik di masyarakat. Melalui transfer modal kultural ini, anak-anak modern memiliki sejumlah keistimewaan-keistimewaan sosial sehingga dapat memasuki lingkaran-lingkaran elit masyarakat walaupun dengan absennya kekayaan individu. Selain itu, terdapat pencarian ekspresi relijius kelas menengah Muslim. Disebabkan proses sekularisasi yang kuat, mereka tidak menemukan kehidupan yang damai dan menentramkan dalam peradaban modern yang akhirnya mendorong mereka kembali pada nilai-nilai agama. Dua gerakan inilah yang disebut dengan Islamisasi.
Setelah berhasilnya Islamisasi ini kaum santri yang menjadi kelas menengah tersebut berlomba-lomba membantu lembaga lembaga pendidikan agama seperti pesantren untuk mempunyai karakter tidak pantang menyerah, optimis, dan bekerja keras dalam menghadapi modernisasi di Indonesia. Di sini terjadi penggelontoran bantuan melalui berbagai kementerian, terutama kementerian agama. Hasilnya adalah bahwa pesantren tidak hanya mampu melahirkan ulama saja, malah bisa pula memunculkan orang yang mampu bekerja dalam berbagai bidang kehidupan.



DAFTAR PUSTAKA


Albrecht, Karl. (1978). Successful Management by Objectives: An Action Manual. New Jersey: Prentice-Hall Inc. & Englewood Cliffs.
Alvesson, M., & Sköldberg, K. (2017). Reflexive methodology: New vistas for qualitative research. Sage.
Epley, Jennifer L. (2015). “Weber’s Theory of Charismatic Leadership: The Case of Muslim Leaders in Contemporary Indonesian Politics,” in International Journal of Humanities and Social Science, Vol. 5, No. 7; July 2015.
Geertz, Clifford. (1973). The Interpretation of Culture, Basicbooks, HarperCollins Publishers.
Hefner, R. W. (2000). “Profiles in Pluralism: Religion and Politics in Indonesia” in Silk, M. (Ed.), Religion on the International News Agenda, Hartford, CT: The Leonard E. Greenberg Center for the Study of Religion in Public Life.
Huse, Edgar F. (1979). The Modern Manager, New York: West Publishing Company.
Kemdikbud. (2012). Panduan Pelaksanaan Penyaluran dan Pemanfaatan Bantuan Pembinaan SMP Berbasis Pesantren.
Korten, David C. and Alfonso, Felipe B. (eds.). (1981). Bureaucracy and the Poor: Closing the Gap, Singapore: McGraw-Hill International Book Company, Copyright by Asian Institute of Management, Makatai, Metro Manila, Philippines.
Mustari, Mohamad, and M. Taufik Rahman. (2010). Peranan pesantren dalam pembangunan pendidikan masyarakat desa. MultiPress.
Ormston, R., Spencer, L., Barnard, M., & Snape, D. (2014). The foundations of qualitative research. Qualitative research practice: A guide for social science students and researchers2, 52-55.
Patton, Michael Quinn. (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods, 3rd edition, London: Sage Publications.
Rahman, M. Taufiq. (2011). Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press.
Ramage, Douglas E. (1995). Politics in Indonesia. Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance, London and New York: Routledge.
Schmidt, F. L., & Hunter, J. E. (2014). Methods of meta-analysis: Correcting error and bias in research findings. Sage publications.
Sikand, Yoginder. (2008). “Voices for Reform in Indian Madrasas,” in Noor, Farish A.; Sikand, Yoginder; van Bruinessen, Martin; The Madrasa in Asia: Political Activism and International Linkages, Amsterdam: Amsterdam University Press & ISIM Series on Contemporary Muslim Societies.
Tempo, 3 Januari 1987.
Tempo, 8 Desember 1990.
Toffler, Alvin. (1970). Future Shock. New York: Bantam Books.
Ummat No. 9 Thn. I, 30 Oktober 1995/Jumadil Akhir 1416H.
Ummat, 19 Februari 1996.
Weber, Max. (1968). Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology, Transl. and ed. G. Roth and C. Wittich, New York: Bedminster Press, [1921].
Yilmaz, K. (2013). Comparison of quantitative and qualitative research traditions: Epistemological, theoretical, and methodological differences. European Journal of Education48(2), 311-325.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020