FILSAFAT SOSIAL UNTUK PUBLIK

M. Taufiq Rahman


Jika kita mengikuti logikanya Darwin dalam kehidupan sosial (menjadi kaum sosial Darwinis) kita dapat melihat bahwa isme-isme itu selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik yang pada akhirnya akan menjaminnya untuk tetap hidup (survival for the fittest). Namun, seringkali pula terjadi dalam kehidupan sosial adanya sintesis-sintesis, misalnya nasionalisme digabung dengan sosialisme, contohnya Republik Rakyat Cina, demikian seterusnya.

Berikut di antara isme-isme besar yang layak untuk dibahas dalam perkuliahan Filsafat Sosial:
1. Modernisme

Komunitas modern (modern community) itulah mungkin cita-cita dari modernisme. Filsafat sosial yang satu ini betul-betul kompleks. Di sana ada individualisme yang mengutamakan hak-hak individu yang melahirkan liberalisme di bidang politik, kapitalisme di bidang ekonomi, dan reformisme di bidang agama (Kristen). Filsafat ini disebut-sebut sebagai pembawa peradaban yang sangat hebat. Barat adalah bukti kongkritnya. Maka timbullah teori-teori modernisasi, mulai dari yang bersifat psikologis seperti teori n-Ach-nya David McClelland sampai teori pembangunan (developmentalisme) yang lebih mengutamakan proyek kolosal, sebuah negara misalnya. Kita dapat diskusikan berbagai masalah yang dapat kita bahas dimulai dari, misalnya, elemen-elemen masyarakat modern. Dapat pula kita kaji dari para pemikir aliran modernis klasik seperti Rousseau dan Adam Smith. Atau para pemikir di dunia Islam seperti Abduh dan Sayyid Ahmad Khan. Atau para pelaksana pembangunan seperti Soeharto di Indonesia.

2. Sosialisme
Komunitas sosialis (socialist community) itulah cita-cita sosial kaum sosialis. Seperti modernisme, ini juga merupakan filsafat sosial yang banyak dianut dan ditafsirkan.
Di Barat, sosialisme memang telah muncul sebelum Marx, yaitu yang dikembangkan oleh orang-orang Perancis dan Inggris seperti Babeuf, Saint Simon, Fourier, Louis Blanc, dan Owen. Semuanya menyuarakan serangan terhadap sistem kapitalistik yang ada, dan mengemukakan cara hidup yang didasarkan pada bentuk kontrol kolektif. Namun demikian, solusi yang ditawarkan sangat jauh dari realitas, terlalu utopis dan romantis, sehingga tidak bisa menjadi tolok ukur keberhasilan. Gerakan reformasi sosial yang mereka tawarkan pada umumnya tumbang ketika keuntungan praktis bagi para buruh tidak bisa terpenuhi dengan segera. Untuk mengatasi masalah sosialisme “utopis” inilah Marx menawarkan doktrin sosialisme “ilmiah” (komunisme). Menurut Engels, disebabkan penemuan Marx dalam konsepsi sejarah yang materialistik dan penemuan rahasia produksi kapitalis melalui nilai lebih, sosialisme menjadi ilmiah.
Sebaliknya, untuk membedakan sosialisme dengan komunisme yang lebih bersifat revolusioner, kaum sosialis kini seringkali menyebut mereka sosialisme demokratis (sosdem). Mereka biasanya mempunyai partai yang ikut pemilu namun berhaluan sosialis. Partai-partai buruh biasanya berhaluan sosialis.
Di dunia Islam kita mengenal Partai Baath yang berkuasa di Irak (zaman Saddam Hussein) dan Syria menggunakan ideologi sosialisme untuk merekayasa masyarakat.
Di Indonesia kita mengenal tokoh-tokoh sosialis banyak di PSI (Partai Sosialis Indonesia) seperti Sutan Sjahrir. Pada zaman kontemporer, tokoh-tokoh sosialis ini pernah dikumpulkan oleh Gus Dur dalam Fordem (Forum Demokrasi).

3. Komunisme
Masyarakat komunal (communist community) itulah cita-cita sosial kaum komunis. Di sini ada kolektivisme yang dapat melahirkan komunisme dan totalitarianisme. Marx memang orang yang paling menonjol dalam hal komunisme ini. Namun titik tekan Marx (juga Lenin) pada masalah politik-ekonomi sebagai tiang utama masyarakat itu terlalu reduksionis. Maka muncullah kaum Neo-Marxis yang mencari sebab-sebab lain dalam perubahan masyarakat, Paulo Freire pada pendidikan, Gramsci pada teori hegemoni, dsb.
Dengan munculnya filsafat sosial ini, maka dunia pun kemudian menguji coba keunggulan-keunggulan yang ditawarkan komunisme ini. Begitu pula dengan dunia Islam. Negara-negara Islam selalu mempunyai bagian masyarakatnya yang ingin menerapkan komunisme ala Islam. Sebutlah tokoh-tokoh seperti Bourguiba, Kadhafi, dan Nasser. Untuk kasus Indonesia, mungkin partai-partai seperti ISDV, PKI, serta Marhaenisme Soekarno dapat kita masukkan di sini sebagai objek pembahasan.

4. Fundamentalisme
Pergumulan di dunia Kristen tentang komunitas religius (religious community) mungkin dapat dibahas sebagai sebuah fenomena Barat. Berturut-turut dapat disebut tokoh-tokoh dari abad teosentris seperti St. Agustinus dan St. Bernard sebagai para pendukung pandangan bahwa masyarakat itu harus dibawah kontrol agama. Namun Kristendom itu kemudian diruntuhkan oleh kaum reformis seperti Luther, Calvin, Erasmus dan Montaigne.
Dunia Islam pun kemudian merasakan nasib yang sama. Sistem Khilafah runtuh dengan timbulnya negara-bangsa (nation-state). Kemunduran filsafat sosial yang menekankan komunitas religius di dunia modern ini telah melahirkan perlawanan-perlawanan yang menawarkan filsafat sosial serupa yang menantang peradaban modern. Di sinilah muncul fundamentalisme. Dunia Islam mencatat tokoh-tokoh seperti Hassan al-Banna dan al-Maududi dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin dan Jama’ati al-Islami mereka dipandang telah memancangkan ideologi fundamentalisme.
Di Indonesia pun nampaknya fundamentalisme ini tidak ketinggalan untuk menawarkan diri sebagai solusi filsafat sosial yang terbaik. Sebagai satu catatan, yang dinamakan tanah suci, bagi berbagai agama selalu menjadi sentimen yang dapat memunculkan fundamentalisme. Dan nampaknya ini berlaku di segala zaman.

5. Nasionalisme & Fasisme
Apakah nasionalisme hanya membentuk komunitas yang dibayangkan (imagined community) seperti yang disebut Ben Anderson? Mengenai Nasionalisme kita dapat merunut mulai dari perkembangannya di Barat dengan para tokoh nasionalis seperti Mazzini, Napoleon, dsb. dengan para teoritisi seperti Ernest Renan. Namun pada level ekstremnya nasionalisme ini bisa memunculkan fasisme seperti yang dilakukan oleh Hitler dan Musollini.
Di dunia Islam, asal-usul nasionalisme mungkin dapat kita mulai sejak dimunculkannya solidaritas kesukuan (‘ashabiyyah). Di sini kita dapat bersinggungan dengan tokoh seperti Ibn Khaldun, seorang teoritikus Muslim yang berpengaruh di bidang kemasyarakatan. Pada akhirnya memang nasionalisme tumbuh di dunia Islam, apalagi setelah dibubarkannya kekhalifahan oleh Kemal Ataturk pada tahun 1924.
Akhirnya kita pun dapat berbicara tentang nasionalisme di Indonesia kontemporer, misalnya dengan keinginan untuk memisahkan diri dari beberapa provinsi yang ada.

6. Pluralisme
Masyarakat majemuk (plural community) nampaknya hal yang tak bisa dibantah dengan adanya globalisasi. Di Barat (terutama Amerika) ini menimbulkan banyak perjuangan baik berupa gerakan maupun persuasi ide untuk mengakuinya. Para filosof yang pluralis seperti Burke, Hegel, Durkheim, sampai Weber dapat kita periksa pemikirannya di sini.
Tokoh Islam yang bersifat pluralis mungkin seorang raja dari India, Akbar Agung. Pada tokoh-tokoh belakangan, kaum modernis biasanya berhaluan pluralis. Namun, pembahasan tentang pluralisme itu dipisahkan dengan modernisme karena pluralisme itu lebih dikembangkan lagi oleh kaum posmodernis di mana decentering dirayakan.
Bagaimana pluralisme di Indonesia? Kita mungkin masih perlu membahas Bhineka Tunggal Ika di zaman pasca-reformasi yang rentan disintegrasi ini.

7. Militerisme
Masyarakat militer (military community) itulah mungkin yang dikehendaki oleh orang Sparta di zaman Yunani kuno. Sehingga warga Athena dan pulau lain seringkali terancam keamanannya. Semangat penaklukan dari kaum militeris seperti ini memang sering membuat peta bumi berubah-ubah sesuai dengan siapa penakluk yang sedang berkuasa. Kita bisa dapatkan informasi dari Grotius dan Sorel untuk kasus Barat. Untuk kasus Timur, kita mungkin tidak bisa menemukan filsafatnya Jengis Khan, namun kita dapati tetangganya yang berwatak kurang ekspansionis tetapi melakukan intensifikasi sosial. Dialah Mao Tse-tung. Dia dengan Tentara Route ke-8 nya mungkin dapat menggambarkan apa masyarakat militer itu.
Untuk kasus Islam, mungkin Turki menjadi outstanding di sini. Dari bangsa itulah masyarakat militer di dunia Islam mencapai puncaknya.
Apakah masyarakat Indonesia di zaman Soeharto mempunyai watak militerisme? Mungkin kita perlu mengujinya dengan cermat.

8. Ekologisme
Komunitas ekologis (Ecological Community) begitulah yang dicita-citakan kaum ekologis. Orang Barat mempunyai pendeta yang berpikiran seperti itu. Dialah St. Benedict dari Nursia. Dapat pula kita bahas tentang Utopia-nya Sir Thomas More. Namun, lebih ramai lagi mungkin di masa modern, ketika alam telah secara kasat mata berada dalam keadaan parah. Filsafatnya Club of Rome mungkin dapat kita sebut sebagai salah satu pejuang komunitas ekologis.
Sementara itu, kaum Sufi telah dianggap sebagai para pelopor komunitas ekologis di dunia Islam.
Bagaimana ekologisme di Indonesia? Nampaknya kita perlu melacak filsafat asli orang Indonesia atau kita dapat jump to modern Indonesia. Walhi, Skepphi, dsb. dapat kita uji bagaimanakah pandangan mereka tentang masyarakat ekologis yang diidamkan itu?

9. Feminisme
Masyarakat setara secara jender (genderly equal society), itu mungkin yang dicita-citakan kaum feminis setelah penderitaan mereka dalam sejarah patriarki. Siti Aisyah ikut Perang Jamal di dunia Islam dan Eleanor dari Aquitaine juga ikut Perang Salib. Apakah mereka para pejuang gender equity? Mungkin mereka terlalu klasik. Tentang feminisme ini mungkin kita perlu mengikuti pemikiran isteri Sartre, Simone de Beauvoir dengan buku terkenalnya, The Second Sex. Selanjutnya dapat kita bahas bagaimana perkembangan feminisme di dunia, termasuk dunia Islam.
Di dunia Islam tokoh-tokoh seperti Fatimah Mernissi, Nawal El-Sadaawi, dsb. mungkin menjadi pokok bahasan kita.
Dan untuk kasus Indonesia, kita mungkin dapat mengikuti alur LSM dan yayasan wanita yang bertebaran di pelosok negeri.

10. Anarkisme
Apakah karena anarkis (tanpa kekuasaan yang mengontrol) itu berarti bahwa kaum anarkis itu semuanya individualis atau bahkan teroris? Mungkin tidak semuanya begitu, karena ada golongan anarko-sindikalis di dalam kaum anarkis ini. Untuk membahas tokoh, di Barat dapat kita temukan tokoh-tokoh seperti Proudhon, Bakunin, Kropotkin dan Malatesta. Apakah dapat kita temukan anarkisme di dunia Islam? Secara legal mungkin tidak, karena dalam Islamdom orang anarkis berarti bughat, dan itu berarti halal darahnya menurut sang penguasa. Nah, bagaimana kalau di Indonesia, adakah anarkisme? Orang dapat menyebut peristiwa-peristiwa penjarahan sebagai anarkis. Kita perlu membahasnya lebih dalam, tentu saja.


Dilihat dari tawaran perkuliahan di atas nampaknya metode pembahasannya akan lebih bersifat historis. Tujuannya memang untuk mengenal sejarah ide-ide yang termasuk dalam filsafat sosial. Untuk memenuhi target aplikasi, perkuliahan ini diharapkan dapat membaca situasi keindonesiaan dari ide-ide yang dibahas. Maka bantuan mahasiswa untuk membuat karya tulis dan mengembangkan diskusi di kelas menjadi sangat penting.
Sekali lagi, ini hanya sebuah tawaran dan rencana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020