POLITIK IDENTITAS ISLAM DI INDONESIA
Politik Kebangsaan dan Ekonomi Islam di Indonesia
M. Taufiq Rahman
M. Taufiq Rahman
John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam Megatrends 2000 (1990) menyebutkan bahwa
“Kaum Fundamentalis Islam mulai menunjukkan identitas budaya dan agama mereka
di Mesir, Indonesia, dan Turki. Semuanya sebagai reaksi terhadap apa yang
dipandang sebagai serangan pengaruh Barat.”
Ungkapan di atas menyiratkan bahwa identitas
keagamaan dapat menimbulkan gerakan politik. Dan untuk kasus kebangkitan
identitas Islam berarti harus meniadakan identitas lain yang mengglobal, yaitu
Barat. Memang, seperti dikatakan Vatikiotis (1981), pemikiran dan gerakan politik
Islam biasanya bermula dari pemikiran tentang perlunya penolakan terhadap
Barat.
Memang, secara terminologis, politik identitas
sendiri adalah gerakan yang berkepentingan untuk membebaskan diri dari
keterpinggiran (Stanford Encyclopaedia of
Philosophy, 1997). Dan bagi umat Islam, Barat memang telah mengambil alih
dominasi dunia sejak mereka menjajah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Untuk
itu, demi misi “penyelamatan” itulah umat Islam harus pertama-tama menolak
Barat.
Setelah penolakan terhadap Barat itulah umat Islam
biasanya kembali kepada tradisinya sendiri, yaitu yang berdasarkan teks (nash)
al-Qur’an dan al-Sunnah dan kepada sejarahnya sendiri. Inilah yang kemudian
disebut sebagai “Islam otentik” (Lee, 1997). Semangat Islam otentik inilah yang
selalu membayangi eksistensi umat Islam di dalam kehidupan, termasuk kehidupan
politiknya.
Berikut adalah pengalaman Indonesia dalam
menyaksikan Islam sebagai identitas politik dan ekonomi yang mengalami
pasang-surut dinamikanya tersendiri. Pengalaman sejarah ini juga dapat
memproyeksikan bagaimana identitas Islam dalam kehidupan politik Indonesia di
masa-masa yang akan datang. Demikian karena “politik identitas” adalah sesuatu
yang “imajiner”, “dalam proses,” dan sesuatu “menjadi” (becoming), bukan sesuatu yang “mewujud” (being) (Barker, 2005).
Komentar
Posting Komentar