PERANAN ELIT DALAM ORGANISASI KEAGAMAAN

M. Taufiq Rahman

Tulisan ini memfokuskan pada pandangan sosiologi atas tokoh-tokoh sekaligus ulama Persis (Persatuan Islam) di Indonesia. Metode yang dipergunakan dalam tulisan ini ialah bersifat biografis dan sosiologis. Apa yang didiskusikan terutama adalah peran-peran ulama sebagai elit keagamaan dan kebudayaan dalam usaha mereka untuk membimbing umat Islam dalam konteks masa dan tempat mereka hidup. Tulisan ini diakhiri dengan penguraian beberapa figur ulama Persis yang menonjol, yaitu A. Hassan, M. Natsir, KHM. Isa Anshary, KHE. Abdurrahman, KHA. Latief Muchtar, dan KH. Shiddieq Amien. Tulisan ini pernah dipresentasikan di ICON IMAD I dengan judul TOKOH-TOKOH DI BALIK GERAKAN DA'WAH PERSIS: DARI A. HASSAN HINGGA SHIDDIEQ AMIEN di Bandung tanggal 20-22 November 2011.
A. Sebagai Elit Keagamaan
Pada zamannya, KH. Zamzam dan A. Hassan adalah pemimpin Persis. Mereka adalah elit keagamaan Persis. Walaupun dalam semangatnya Persis itu membuka pintu ijtihad bagi setiap Muslim, anggota Persis sendiri mempunyai perbedaan kapasitas dalam pengetahuan keagamaan. Maka, walaupun Persis berpegang pada konsep ittiba‘[1] daripada taqlid,[2] namun tetap saja dimungkinkan adanya elit keagamaan (religious elite) di dalam organisasi Persis.
Dalam pengertian yang luas, elit adalah satu kalangan minoritas cerdik pandai yang berpengaruh dalam masyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial, administrasi dan moral. Para sosiolog generasi awal seperti V. Pareto dan G. Mosca menyempitkan pengertian konsep ini dengan mengalamatkan pada satu kalangan cerdik pandai yang memerintah (governing elite). Pareto, dalam bukunya Mind and Society, membedakan elit yang memerintah (yang menjadi tumpuan perhatiannya) dari elit yang tidak memerintah dan kalangan bukan elit. Mosca, dalam bukunya The Ruling Class, menekankan bahwa semua masyarakat terbagi kepada dua kalangan yang memerintah (ruler) dan yang diperintah (ruled) walaupun ia tidak menggunakan istilah elit.[3]
            Karena posisi pandangan keagamaan itu sangat kuat dalam Persis, posisi ulama juga sangat berpengaruh. Titik tekan Persis pada ulama juga terefleksi dalam pandangan umum bahwa ulamalah yang harus aktif dalam urusan politik dan bertindak sebagai pemimpin dan membimbing umat Islam.[4] Ini membawa pada kesimpulan bahwa anggota Persis menganggap pandangan pemimpin mereka sebagai yang otentik dan harus diamalkan (applicable). Dan itu tidak hanya berlaku pada zaman dahulu, ketika sumber daya Persis kebanyakannya bersifat keulamaan. Muktamar yang baru lalu pun menyatakan bahwa umat Persis memang selalu menginginkan ulama dalam arti elit keagamaan sebagai pemimpinnya.[5]
            Menurut Tamar Djaja, seorang ustadz yang juga seorang murid A. Hassan, nampak bahwa dalam tradisi Persis, pengetahuan keagamaan murni hanya dapat didapatkan dari ulama Persis, bukan dari yang lain. Ketika ulama Persis dari Bandung datang ke Jakarta, misalnya, anggota Persis dari berbagai tempat dengan senang hati menghadiri pengajiannya. Tetapi ketika ada ulama lain yang bukan orang Persis berceramah, mereka tidak datang, walaupun ulama tersebut adalah ulama yang berkemampuan tinggi.[6]
            M. Rusyad Nurdin, seorang aktivis Persis dan seorang ulama politikus pada zamannya, memberikan bukti bahwa memang ada perbedaan ilmu dalam organisasi Persis dan bahwa ada ulama-ulama Persis tertentu yang ditaati oleh anggota Persis secara buta. Dikatakan bahwa Persis melarang anggotanya melakukan arisan, karena haram. Suatu hari Pak Rusyad dan istrinya bercakap-cakap dengan seorang anggota Persistri tentang arisan. Menurut Pak Rusyad, percakapan tersebut kira-kira begini:[7]

… Kemudian saya tambahkan: “Arisan itu tidak sama dengan judi; dikatakan bahwa ini merupakan azlam (undian pada zaman Jahiliyah), juga tidak betul. Bahkan kita diperintahkan oleh Allah: “Hai orang-orang yang beriman! … tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…” (al-Ma’idah ayat 2). Lalu, mengapa diharamkan?”
Pertanyaan saya tidak dijawab. Dia mengatakan, “Jika seperti itu, namakan saja gotong royong, bukan arisan.” “Jika dinamakan gotong royong, walaupun prakteknya sama, apakah menjadi halal?” saya tanyakan padanya.
“Ya,” katanya.
Kemudian saya tanyakan lagi, “Jika babi dinamakan celeng, dapatkah ia menjadi halal?”
Ia pun terdiam.
“Kita inginkan argumen, baik dari al-Qur’an ataupun dari Hadits, untuk mengharamkan arisan.”
“Oh, itu karena Ustad telah mengatakannya (yang ia maksud Ustadz Abdurrahman),” katanya.

Dialog di atas mengindikasikan bahwa terdapat stratifikasi pengetahuan di antara anggota Persis. Dan anggota Persis pun sadar akan stratifikasi ilmu ini. Mereka membuat majelis untuk para ulama: Majelis Ulama Persis (belakangan namanya diubah menjadi Dewan Hisbah). Ini merupakan institusi tertinggi di Persis yang mengkaji hukum Islam yang kemudian memproduksi fatwa.[8] Lembaga ini pun mempunyai hak veto terhadap setiap keputusan dan langkah yang diambil oleh setiap lembaga di dalam Persis, apabila ada hubungannya dengan hukum Islam.[9]

B. Sebagai Elit Kebudayaan
Sebagai elit kultural (cultural elite) yang menekankan ide-ide mereka untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah, para pemimpin Persis selalu ingin mengaplikasikannya dalam masyarakat. Mereka dibantu oleh para anggota Persis untuk menjadi pionir aktivitas-aktivitas social yang mempunyai dasar dalam al-Qur’an dan Sunnah. Salah satu contoh adalah dalam urusan ubudiyah ‘Idul Fitri. Salah satu konsep yang berhubungan dengan ritual ‘Idul Fitri adalah waktu pengumpulan dan distribusi zakat fitrah. Di Bandung, untuk pertama kalinya, mengambil dan menyebarkan zakat fitrah sebelum solat ‘Id adalah aneh. Keanehan lainnya adalah dalam melaksankan solat ‘Id di lapangan (bukan di mesjid). Pada saat itu Persis ditentang dan dihalang-halangi oleh umat Islam yang lain. Maka, ketika melaksakan solat ‘Id, sebagian anggota Persis dan simpatisannya membawa golok, kerana mereka mendengar sebelumnya bahwa mereka akan diserang oleh umat Islam yang lain. Pada waktu itu ada juga kesatuan polisi pemerintahan kolonial Belanda yang mengawasi lapangan Tegallega, Bandung, tempat di mana solat ‘Id dilaksanakan.[10] Hal ini pun dilakukan di Singapura. Berkat persuasi yang baik dari para anggota Persis di Singapura, negara-kota itu mengizinkan diadakannya solat Id di lapangan, bukannya di Mesjid sebagaimana halnya orang Melayu Singapura, yang notabene bermazhab Syafi’iyah.[11]
            Contoh-contoh lain adalah mendistribusikan daging kurban kepada kaum fakir miskin, melaksanakan sunatan masal pada setiap Hari Raya ‘Idul Adha,[12] melakukan khutbah dengan memakai bahasa daerah/nasional agar dapat dipahami oleh umat, mereformasi praktek-praktek penguburan, memisahkan kepercayaan dan praktek dasar Islam dari kebiasaan rakyat dan takhyul, dan memurnikan peribadatan dari praktek-praktek yang sebetulnya tidak diperintahkan dalam al-Qur’an dan Sunnah.[13]
            Menurut Ust. Eman Sar’an, seorang aktivis Persis pada zamannya, praktek-praktek yang berdasarkan al-Qur’an-Sunnah seperti pelaksanaan solat ‘Id dan khutbah, akhirnya diterima oleh seluruh umat Islam, baik itu kaum pembaru maupun kaum tradisionalis, setelah menjadi kontroversial untuk jangka waktu yang cukup lama.[14]
            Persis menekankan Islam sebagai suatu pandangan hidup (nizham, worldview): sistem sosial, politik, dan budaya.[15] Dan Islam sejati itu adalah yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah (nash-nash yang utama).[16] Atas nama Islam, Persis berbicara secara vokal menentang rencana konstitusi kolonial tentang peraturan anti-poligami dalam Volksraad (Parlemen) pada tahun 1936. Dalam upaya untuk menolak anti-poligami, Persis mengorganisasi perdebatan dan polemik. Bahkan ketika Soekarno dan massa PNI (Partai Nasional Indonesia)-nya mass tidak menyetujui poligami, Mohammad Natsir dari Persis membela poligami sebagai tidak terlarang menurut al-Qur’an dan Sunnah.[17]
            Suatu hal yang perlu dicatat dalam kontribusi cultural Persis selain pemikiran adalah penggunaan bahasa nasional, yaitu Bahasa Indonesia. Persis tumbuh pada saat tumbuhnya bahasa Indonesia sebagai identitas nasional. Pada tahun 1928, sebagai hasil Kongres Pemuda di Batavia (sekarang Jakarta),[18] terdapat Soempah Pemoeda, yang mendeklarasikan bahwa mereka mengaku: hanya satu bangsa, bangsa Indonesia; hanya satu tanah air, tanah air Indonesia; dan hanya satu bahasa, bahasa Indonesia.[19] Moh. Roem, politikus Masjumi, menyatakan bahwa para pemimpin Persis seperti A. Hassan, Mohammad Natsir, Sabirin, dll. menulis tentang banyak hal dalam publikasi mereka dengan menggunakan bahasa Indonesia (dalam huruf Latin) sementara dalam tulisan-tulisan sebelumnya ulama Indonesia kebanyakannya menulis dalam bahasa Arab Melayu (bahasa Melayu dalam huruf Arab).[20] Dalam hal ini Persis memberikan kontribusi pada pengembangan bahasa nasionala, terutama dalam memperkaya istilah-istilah keagamaan.[21]
            Singkatnya, ulama Persis membawa arus pembaruan ke dalam dinamika Islam Indonesia sejak awal abad ke-20. Aktivitas Peris di bawah bendera kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah telah membawa perubahan-perubahan yang fundamental dalam kehidupan praktis Islam.[22]

C. Peran Sosial Tokoh-Tokoh Persis
Tetapi Persis tidaklah didirikan untuk melayani kebutuhan masyarakat. Para pemimpin Persis percaya bahwa umat Islam Indonesia tidak mau adanya perubahan, karena mereka sudah senang hidup dalam situasi taqlid, bid’ah, khurafat, dan syirik. Rasionalisasi para pemimpin Persis adalah bahwa kemunculan Persis adalah seperti kemunculan Nabi Muhammad pada masa Jahiliyah (pra-Islam). Persis didirikan untuk merubah kemandekan dan untuk membuka pintu ijtihad.[23] Alasan yang sebenarnya, dengan demikian, adalah sangat religius.
            Walaupun niatan pendirian Persis itu murni agama, Persis tidak dapat menghindari bahwa pandangan religiusnya harus menghadapi masyarakat yang kepada merekalah keimanan sejati harus dida’wahkan. Peran social Persis mengalir dari mata air keimanan agama yang benar. Dari pandangan keagamaan, para pemimpin Persis pada masa A. Hassan dan Isa Anshary mengembangkan “pandangan sosio-politik yang khas, yang relevan pada kondisi yang ada, yang dapat menyediakan gerakan dengan tujuan social yang umum” [a distinctive political and social stance, relevant to current conditions, that could provide the movement with a common social purpose].”[24] Kegiatan yang paling utama pada waktu itu adalah pendidikan, mengorganisasi perdebatan, publikasi, dan da’wah].[25] Tetapi, pada zaman E. Abdurrahman, Persis nampaknya yakin untuk melanjutkan sebagai system pendidikan, menyediakan “pendidikan berbasis agama bagi umat Islam yang percaya nilai-nilai keagamaan yang fundamental sebagai tetap batu ujian hidup” [a religiously-based education for those Muslims who believe that fundamentalist religious values remain the touchstone of life].[26] Di tangan Latief Muchtar, Persis, selain melanjutkan program-program “lama”, mempunyai aktivitas yang lebih luas dalam lapangan layanan haji, zakat, layanan social, ekonomi, wakaf, dan membangun bangunan-bangunan untuk layanan keagamaan, dan mendirikan sekolah tinggi.[27]
            Hal yang dapat ditemukan dalam kehidupan anggota Persis adalah persaudaraan keagamaan (ukhuwah) mereka. Eksklusivitas pemahaman keagamaan mereka, antagonism mereka melawan segala sesuatu di luar Persis,[28] dan cara-cara da’wah mereka yang tajam[29] membuat mereka membantu satu sama lain dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain, solidaritas di antara mereka sangatlah kuat.[30]

D. Pandangan Tokoh-Tokoh Persis terhadap Politik Indonesia
Pesan Persis itu dimaksudkan untuk memperkuat perkembangan institusi-institusi Islam yang baru dan diperlukan, untuk memperdalam dan memperluas keimanan dan pengamalannya di Indonesia.[31] Konsekuensinya, Persis mempunyai aktivis-aktivis nasionalisnya yang percaya terhadap kemungkinan membuat Negara berdasarkan prinsip-prinsip Islam.[32] Dalam konflik politik antara kaum nasionalis dan pemerintahan colonial, suara Persis cukup keras. Mereka mendukung sepenuhnya tuntutan mengadakan parlemen Indonesia.[33]
            Persis juga membela pandangan kaum nasionalis Muslim, dan tahun 1930an, majalah Pembela Islam dan Al-Lisan yang diterbitkan oleh Persis, menerbitkan banyak artikel yang mendukung pandangan tersebut dan mengutuk pandangan-pandangan kaum sekularis.[34] Ahmad Hassan mengkritik nasionalisme Soekarno sebagai bersifat chauvinistik (‘asabiyyah). Natsir juga mendukung pemahaman gurunya tersebut, dan melancarkan argumen-argumen ilmiahnya.[35]
            Opini ulama Persis tentang politik Islam membawa mereka pada arena politik. Pada tahun 1920-1930an, anggota Persis banyak yang aktif dalam Sarekat Islam, satu-satunya payung politik bagi umat Islam pada saat itu.[36] Di dalam MIAI (Madjelis Islam A‘la Indonesia), yang didirikan pada tahun 1937 sebagai federasi dari seluruh organisasi Islam Indonesia, Persis adalah anggota utama dan mengambil bagian dalam aktivitas keagamaan dan politiknya sampai dibubarkan oleh Jepang pada tahun 1942.[37] Dan pada tahun 1950an, anggota-anggota Persis aktif dalam Masjumi (Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia.[38] Masjumi yang dipimpin oleh Persis, melalui Sekertaris Umumnya Isa Anshary, secara terang-terangan menyebutkan keinginan mereka untuk mempunyai Negara Islam. Ini membuat banyak kesulitan di dalam Masjumi sendiri, karena kaum nasionalis dan komunis Indonesia memang takut terhadap ide seperti itu, dan akhirnya membuat mereka bersekutu melawan Masjumi sebagai musuh bersama (common enemy) mereka.[39]
            Setelah Masjumi dilarang oleh rezim Soekarno, Persis berkonsentrasi pada struktur organisasionalnya dan mengembangan sistem pendidikan khasnya.[40] Situasi ini berlanjut sampai masa rezim Soeharto regime sampai anggota-anggota Persis dikejutkan oleh gerakan Ketua Umum mereka, A. Latief Muchtar, yang terlibat dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP), satu-satunya fusi partai-partai Islam pada saat itu, pada tahun 1990an.
            Dalam hubungannya dengan politik, nampaklah bahwa keterlibatan politik Persis itu tergantung pada para pemimpinnya. Persis lebih bersifat pemikiran keagamaan daripada politik selama periode formatif dengan A. Hassan sebagai tokoh sentralnya. Setelah itu Persis lebih bersifat politis selama kepemimpinan M. Natsir dan M. Isa Anshary. Kemudian kembali bersifat keagamaan yang beraksentuasi pendidikan pada masa E. Abdurrahman. Lalu kembali bersifat politis pada periode kepemimpinan Latief Muchtar. Dan kembali bersifat keagamaan dengan aksentuasi pendidikan dan da’wah pada masa Shiddieq Amien. Pendulum ini bergerak berkorespondensi secara langsung dengan pemimpinnya dan secara tidak langsung dengan iklim politik. Tetapi semua pemimpin itu sangat sadar akan tugasnya, yaitu menegakkan al-Qur’an dan al-Sunnah.

E. Beberapa Figur Tokoh Persis
Seruan untuk kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan seruan abadi Persis. Tetapi ketika ia dibentuk dan dioperasikan dalam gerakan, seruan itu mewujud dalam berbagai bentuk; setiap pemimpin memilih jalannya sendiri dan mempunyai aksentuasi yang berbeda.[41] Aksentuasi tersebut dapat dilukiskan dengan mengikuti cerita figure-figur pemimpin Persis.
            Figur-figur berikut tidak seluruhnya menempati posisi Ketua Umum pada zaman mereka. Ahmad Hassan dan M. Natsir bukanlah Ketua Umum Persis. Mereka aktif selama kepemimpinan Zamzam, inisiator dan bapak pendiri Persis. Namun demikian, Isa Anshary yang aktif di Persis sejak tahun 1940an adalah Ketua Umum kedua setelah Zamzam. Tidaklah begitu jelas kapan periode kepemimpinan Zamzam berakhir. Tetapi adalah jelas ketika Isa Anshary menjadi pemimpin puncak Persis. Anshary-lah orangnya yang mengorganisasi kembali Persis setelah periode kevakumannya pada masa kekuasaan Jepang dan selama revolusi kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu (1948) sampai tahun 1960 beliau adalah Ketua Umum Persis. Pada tahun 1962 E. Abdurrahman menjadi Ketua Umum mealui sebuah referendum setelah adanya konflik internal di tubuh Persis. Beliau memimpin Persis sampai meninggal pada tahun 1983. Posisinya sebagai Ketua Umum digantikan oleh kadernya sendiri, yaitu A. Latief Muchtar yang memimpin Persis dari 1983 sampai 1997 ketika beliau meninggal. Kejadian seperti itu dilanjutkan ketika Shiddieq Amien kemudian menggantikan beliau (1997-2009) sampai wafat, dan digantikan oleh Maman Abdurrahman sehingga sekarang.[42]
            Dengan demikian, figur-figur berikut bukanlah diseleksi karena posisi mereka di Persis, tetapi disebabkan karena pengaruh dan kontribusi mereka terhadap perkembangan.

1. Ahmad Hassan (1887-1958): Guru Persatuan Islam
Hassan dilahirkan di Singapura pada tahun 1887. Ayahnya bernama Ahmad berasal dari India,  sedangkan  ibunya  bernama  Muznah  berasal dari Palekat Madras tetapi lahir di Surabaya.[43]
Pendidikan A. Hassan sebagian besar diperoleh dari ayahnya. Pada saat mudanya, A. Hassan pernah menekuni berbagai bidang pekerjaan. Sejak tahun 1910 sampai 1921, A. Hassan tercatat antara lain menjadi guru agama dan guru bahasa yang dikuasainya, yaitu: Melayu, Inggris, Arab dan Tamil. Ia juga tercatat pernah menjadi guru di Singapura dan beberapa tempat di Malaya (Malaysia) serta di Sanglang dan Benut daerah Kutub. Di samping itu ia pernah berdagang permata, minyak wangi, dan menjadi agen distribusi es, vulkanisir ban mobil, juga menjadi kolumnis surat-surat kabar terbitan Singapura dan tanah Malaya. Dua tahun lebih pernah menjabat anggota pengarang harian berpengaruh di Malaya dan di Singapura pada “Utusan Melayu” milik  Singapore  Free  Press.[44] Di  harian  ini,  selain menuangkan tulisan-tulisannya berupa nasihat, ia juga terampil menuangkan berbagai kritikannya terhadap masalah-masalah yang dianggapnya bertentangan dengan agama. Ketika itu A. Hassan sudah mulai banyak membaca tulisan-tulisan para pembaru dalam majalah al-Manâr (Kairo), al-Imâm (Singapura), al-Munîr (Padang), dan tulisan-tulisan Syekh Ahmad Soorkati yang beliau temukan dalam sebuah buku berjudul Surat al-Jawâb tahun 1914.[45]
Pada tahun 1921 A. Hassan pindah ke Surabaya dengan maksud  menggantikan  pimpinan  perusahaan  tekstil  kepunyaan pamannya, H. Abdul Latif. Pada waktu itu Surabaya merupakan pusat pertentangan paham antara Islam tradisional dan Islam modernis. A. Hassan ketika itu disarankan oleh pamannya agar tidak berhubungan dengan Fakih Hasyim, seorang penggerak Muhammadiyah di Surabaya. Suatu saat A. Hassan diajak pamannya untuk menemui K.H. Abdul Wahab, salah seorang tokoh yang kemudian dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Dalam percakapan mereka K.H. Wahab mengajukan pertanyaan kepada A. Hassan tentang bagaimana hukum ‘ushallî’. Ketika itu A. Hassan menjawabnya sebagai perbuatan sunnat. Akan tetapi saat ditanya alasannya mengapa hukumnya ‘sunnat’, maka A. Hassan meminta kesempatan untuk mencarinya di dalam al-Qur`an dan al-Sunnah. Keesokan harinya setelah A. Hassan membuka-buka kitab Hadits Bukhari dan Muslim, ternyata alasan sunnatnya ‘ushallî’ tidak ditemukan. Hal ini mendorong A.Hassan untuk membenarkan pendapat kalangan Islam modernis, akhirnya kaum modernislah yang ia ikuti. Selama berada di Surabaya A. Hassan banyak bergaul dengan Fakih Hasyim dan kalangan Islam modernis lainnya seperti HOS Tjokroaminoto, H. Agus Salim, dan Wondoamiseno.[46]
Pada tahun 1924, A. Hassan pergi ke Bandung untuk belajar pertenunan. Di kota ini beliau sempat berkenalan dengan Muhammad Yunus dan saudagar-saudagar lain yang telah menjadi anggota Persatuan Islam. Ketika ia belajar di sekolah pemerintah, ia tinggal di rumah Muhammad Yunus selama sembilan bulan. Kemudian pada tahun 1926, A. Hassan memasuki Persatuan Islam sebagai anggota resmi. A. Hassan merasa tertarik dengan kegiatan-kegiatan organisasi ini, sehingga berani meninggalkan rencana semula untuk memajukan tekstilnya di Surabaya. Selanjutnya A. Hassan tekun dan serius memu-satkan perhatiannya dalam penelitian agama, mengajar dan giat memajukan organisasi. Kehadiran A. Hassan betul-betul merupakan tenaga baru bagi Persatuan Islam. Pandangan-pandangannya memberikan bentuk dan kepribadian nyata, sehingga bisa menempatkan Persatuan Islam dalam barisan muslim pembaru.[47]
Dalam usaha pembaharuannya, A. Hassan memiliki etos juang dan metode pendekatan yang heroik, meski ia pun tetap memiliki kepribadian yang simpatik, sabar dan supel. Pendekatan yang digunakan dalam menyampaikan pikiran dan cita-citanya, dengan cara debat yang cenderung menantang konflik, sehingga banyak mengundang respon dan gejolak yang cukup hangat. Berkali-kali, di berbagai tempat ia melakukannya, baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim. Kegiatan lain yang dilakukannya adalah dalam bidang penafsiran al-Qur’an dalam bahasa Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Furqân. Dalam usaha penerbitannya, A. Hassan melancarkan polemik-polemik yang dapat merangsang pemikiran dan daya kritis umat yang lebih besar. Al-Lisân misalnya, media cetak berkala Persatuan Islam, menjadi corong yang menggaungkan suara Persatuan Islam bukan saja dalam pemikiran Hukum Islam, tetapi juga melancarkan polemik-polemik mu’amalah, politik dan ideologi pada zamannya. Kegiatan A. Hassan ini cukup memberikan dampak positif, sekaligus menjadi model bagi kepentingan gerakan pembaruan Islam di tanah air. Bahkan Pengaruh pemikiran A. Hassan kini telah tersebar luas di Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Menjelang pendudukan Jepang di Indonesia, yaitu pada tahun 1941, A. Hassan pindah ke Bangil atas permintaan familinya, Bibi Wante, karena ia melihat kehidupan A. Hassan di Bandung yang kurang menyenangkan bila dilihat dari sudut materi. Di Bangil ia meneruskan perjuangan seperti apa yang telah dialaminya di Bandung, yaitu men-dirikan Pesantren Persatuan Islam. A. Hassan tinggal di daerah ini berlangsung sampai akhir hayatnya. Pada tanggal 10 Nopember 1958 A. Hassan berpulang ke rahmatullah dalam usia 71 tahun.[48]
Untuk figure A. Hassan, Federspiel menyimpulkan:
Ahmad Hassan was the chief figure in the Persatuan Islam and was responsible for its particular orientation on Islamic questions. Writings of other Persis leaders indicate a basic agreement with his stated beliefs although no one else in the organization expressed himself as fully as Ahmad Hassan did. There is value, therefore, in outlining Ahmad Hassan’s religious beliefs and philosophy, for such an outline aids in understanding the criteria that he, and with him the Persatuan Islam, employed in regard to politics, social life and worship.[49]
[Ahmad Hassan adalah figure utama dalam Persatuan Islam dan ia bertanggung jawab terhadap orientasi khasnya dalam persoalan-persoalan keislaman. Tulisan-tulisan pemimpin Persis lain mengindikasikan persetujuan dasar dengan pendirian-pendirian yang ia telah nyatakan, walaupun tidak ada orang lain lagi dalam organisasi itu yang mengekspresikan diri sepenuh hati seperti yang dilakukan Ahmad Hassan. Oleh karena itu, terdapat nilai tertentu dalam membahas kepercayaan dan filsafat keagamaan Ahmad Hassan, karena pembahasan tersebut akan membantu memahami kriteria yang ia, dan dengannya Persatuan Islam, lakukan untuk masalah politik, kehidupan sosial, dan peribadatan.]

2. Mohammad Natsir (1908-1993): Ulama Politik Persatuan Islam
Tokoh kelahiran Alahan Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 17 Juli 1908 ini adalah putera dari Idris gelar Sultan Saripado, seorang guru. Tahun 1923 M. Natsir masuk HIS (setingkat SD sekarang), kemudian AMS (Algemene Middelbare School) sederajat dengan SLTA, di Bandung. Kemudian tahun 1932 memasuki kursus guru. Selama tinggal di Bandung inilah M. Natsir memulai hidupnya dalam masyarakat dan mempelajari Islam kepada A. Hassan, dan mempunyai hubungan rapat dengan tokoh-tokoh Persatuan Islam. Selain itu, ia mengikuti kelas khusus untuk anggota-anggota muda Persis yang belajar di sekolah-sekolah menengah Belanda. Pada tahun 1932, M. Natsir memasuki Jong Islamieten Bond (JIB), suatu perkumpulan pemuda Islam yang anggota-anggotanya terdiri dari umumnya pelajar Barat.
M. Natsir dalam Persatuan Islam berperan sebagai pembantu inti dalam majalah “Pembela Islam”. Selain itu, ia sebagai juru bicara Persatuan Islam dalam soal-soal kebudayaan, negara, dan masyarakat dalam kaitannya dengan Islam.
Kemudian dalam posisinya sebagai tokoh Persatuan Islam, M. Natsir mampu memberikan warna politik yang khas bagi organisasi Persatuan Islam, meskipun secara organisatoris, pemikiran politiknya tidak diperankan secara langsung. M. Natsir terus tampil dalam berbagai percaturan politik Islam. Gagasan-gagasan politiknya banyak diwarnai oleh pemikiran-pemikiran politik religiusnya A. Hassan. Dalam Masyumi, M. Natsir telah berhasil memberi bentuk dan format politik Islam yang berdasar al-Qur’an dan al-Sunnah, yang memperjelas politik Islam itu, dan perbedaannya dengan politik kapitalis serta politik komunis. Sementara obsesi M. Natsir yang ingin mewujudkan pemerintahan Islam di Indonesia melalui jalur parlementer, meski mendapat banyak dukungan  khususnya  dari  kalangan  politisi  muslim,[50] tampak tidak  berhasil dengan memuaskan. Namun sebagai negarawan sejati, M. Natsir tercatat mampu menyelamatkan bangsa Indonesia dari perpecahan, dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan Mosi Integral M. Natsir yang disampaikan pada tanggal 3 April 1950, dan berhasil menyatukan 17 Negara Bagian.[51]
Di lingkungan Masyumi M. Natsir terkenal kecerdasan dan kemampuannya menciptakan kerja sama yang harmonis antara tokoh-tokoh yang berpendidikan Barat seperti Mr. Mohammad Roem, Dr. Sukiman Wirjosandjojo, Mr. Syafrudin Prawiranegara, Mr. Yusuf Wibisono, dengan tokoh-tokoh pendidikan pesantren seperti KH. Faqih Usman, KH. Yunan Nasution, KHM. Isa Anshary, dan lain-lain. Pada saat itu masih terdapat jurang perbedaan yang lebar antara tokoh-tokoh yang berpendidikan Barat dengan yang berlatar belakang pesantren.
Demikian pula, melalui Masyumi, M. Natsir mampu meredam perbedaan yang  amat tajam, misalnya antara Muhammadiyah dengan Nahdhatul Ulama (NU), antara Persatuan Islam dengan NU, dan lain sebagainya. Konsep toleransi (tasamuh) ini diperluas dalam tema da’wah intern umat Islam. M. Natsir mengadakan konsolidasi ke dalam tubuh umat Islam, dengan gagasan betapa pentingnya kesamaan pandangan sebagai muslim. Ia fatwakan kepada umat bahwa kita harus banyak memperbincangkan tentang persamaan bukan perbedaannya yang terdapat pada umat ini. Selangkah demi selangkah konsep ini terus digulirkannya dan sedikit demi sedikit mampu mengubah pandangan umat yang sempit itu. M. Natsir menegaskan bahwa melawan arus pemurtadan yang dilakukan agama lain itu lebih penting dari bentuk-bentuk da’wah yang lainnya. Gagasan ini kemudian dituangkannya dalam gerak perjuangan Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII) yang didirikannya. Melalui DDII dihimpun mubaligh-mubaligh muda yang siap dikirim ke berbagai pelosok tanah air terutama daerah yang terpencil di bumi nusantara ini, yang sarat dengan pemurtadan.
Adapun jabatan yang pernah didudukinya antara lain: Wakil Ketua Umum Persatuan Islam (1937), Ketua Partai Islam Indonesia (PII) cabang Bandung pada akhir masa penjajahan Belanda, Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), Ketua Umum Masyumi (1949-1958), Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia sejak 1967 hingga akhir wafatnya (6 Pebruari 1993). Di tingkat Internasional, tercatat sebagai Wakil Presiden World Muslim Congress (Mu’tamar ‘Alam Islami) dan Penasihat Umum Rabithah ‘Alam Islami sejak 1967 dan Anggota Dewan Mesjid se-Dunia (Majelis A’lâ al-‘Alami al-Masjîd), sejak 1976. Jabatan lainnya yaitu anggota Dewan Pendiri The Oxford Centre for Islamic Studies yang berpusat di London, dan lain sebagainya.
Pandangan-pandangan M. Natsir dalam berbagai persoalan kenegaraan dan agama, saat ini, selain yang dikumpulkan dalam Capita Selecta setebal tiga jilid itu, sesungguhnya masih banyak bertebaran dalam buku-buku yang khususnya diterbitkan oleh DDII. Namun disayangkan tidak dipublikasikan secara memadai sehingga generasi umat hari ini kurang mendapat informasi yang lengkap tentang pandangan tokoh ini. Bahkan konon buku ‘politik’-nya yang sangat tebal dan ditulis menjelang akhir hayatnya, kini masih disimpan oleh pihak keluarga dan belum juga diterbitkan, hingga M. Natsir meninggal di Jakarta pada tanggal 6 Pebruari 1993.
            Mengenai kontribusi Natsir, Kahin, pengkaji politik Indonesia dari Amerika, mengatakan:
Mohammad Natsir’s ideas and personality did … touch many people, and there are today respected men of influence in Indonesian Islamic circles who hold him in great esteem and whose views he has significantly shaped. And especially during the middle years of this life he had a profound influence on the development of Islamic social and political thought in Indonesia and also played an important role in the unfolding of his country’s political history.[52]
[Ide-ide dan kepribadian Mohammad Natsir telah … menyentuh banyak orang, dan sampai hari ini banyak orang-orang yang dihormati dan berpengaruh di lingkaran Islam Indonesia yang berpegang kepadanya dengan penuh hormat dan orang-orang yang pandangannya telah ia bentuk secara signifikan. Dan terutama ketika tahun-tahun pertengahan kehidupannya ia telah begitu mempengaruhi perkembangan pemikiran sosial dan politik Islam di Indonesia dan juga memainkan peran yang penting dalam menceritakan sejarah politik negerinya.]

3. K.H.M. Isa Anshary (1916-1969): Representasi Perjuangan Persatuan Islam
Tokoh ini dilahirkan di Sungai Batang Maninjau Sumatera Barat pada tanggal 1 Juli 1916. Pada tahun 1932 pergi ke Bandung, dan aktif secara resmi di Persatuan Islam sejak tahun 1935, setelah bergaul dan  mengikuti pemikiran A. Hassan. Kemudian bersama-sama M. Natsir, Fachruddin dan lain-lainnya aktif memajukan pendidikan Persatuan Islam.
Sejak itu, ia mulai aktif menulis masalah-masalah agama dan politik. Antara tahun 1938-1941 sempat terbit dua buah buku karangannya berjudul; Islam dan Demokrasi dan Islam dan Kolektivisme.[53]
Sewaktu A. Hassan pindah ke Bangil, Isa tetap tinggal di Bandung dan pada masa Jepang ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisasi Mubaligh dan Ulama di Bandung bernama Majelis Islam. Ketika itu pula ia menjabat sekretaris MIAI Priangan.[54]
Pada masa kemerdekaan, KHM. Isa Anshary[55] mencoba mengorganisasi kembali Persatuan Islam dan ia sendiri sebagai Ketua Umum-nya (1948-1961). Di samping itu, ia pun memegang tugas sebagai Ketua Umum Masyumi cabang Bandung (1950-1954), dan kemudian menjadi Anggota DPP Masyumi (1954-1960). Di sela-sela kesibukan meme-gang jabatan-jabatan itu, KHM. Isa Anshary masih sempat menuangkan buah pikirannya melalui buku-buku, antara lain: Falsafah Perjuangan Islam (1949), Islam dan Nasionalisme (1955), Manifes Perjuangan Persatuan Islam (1958), dan PKI Pembela Negara Asing (1955).
Disebut tokoh representasi, karena KHM. Isa Anshary mampu memerankan secara ganda dua kepentingan yang esensial: agama dan politik. Kemampuan ganda ini, tentu saja banyak diilhami oleh perjuangan dua tokoh sebelumnya. Hassan yang cenderung agamawan dan Natsir yang cenderung politisi dan negarawan, tercermin dalam pola juang KHM. Isa Anshary.
Karena itu, ia dikenal sebagai ulama yang tampil sebagai Ketua Umum Persatuan Islam, yang dengan kemampuannya ia bertekad kuat untuk membenahi mutu dan kualitas Persatuan Islam sebagai organisasi sosial-keagamaan. Kecuali itu, ia juga  tergolong  pejuang  politik  (politisi)  yang salah satu manifestasinya, ia sanggup menentang arus deras komunisme dengan membuat gerakan “Front Anti Komunis” yang muncul di saat situasi politik demokrasi terpimpin di bawah pimpinan Soekarno dan ide Nasakom-nya. Dengan kata lain, KHM. Isa Anshary adalah figur ulama yang berwawasan politik, sehingga Persatuan Islam di bawah kepemimpinannya cenderung progresif dan politis yang menentang arus, sehingga ia sendiri kemudian dipenjarakan oleh rezim Soekarno.
KHM. Isa Anshary meninggal di Bandung pada tanggal 11 Desember 1969.
Selama kepemimpinan Anshary, Persis sangatlah fasih dalam membicarakan politik. Musuh utama Anshary adalah komunisme. Baginya, komunisme adalah haram bagi politik nasional. Karena, demikian ia katakana, komunisme itu anti-Tuhan, anti-agama, dan dengan begitu anti-Islam.[56] Untuk memerangi kaum komunis, dengan ulama Persis lain ia mempublikasikan buku, mendeklarasikan manifesto-manifesto politik, dan mengeluarkan fatwa-fatwa yang merasionalisasikan penolakan keras mereka terhadap komunisme.[57] Karena pendirian keras anti-komunismenya itu, M. Natsir secara pribadi menyebutnya “Joe McCarthy kita”.[58]

4. K.H.E. Abdurrahman (1912-1983): Politik Ulama
KHE. Abdurrahman adalah guru besar kedua setelah A. Hassan. Demikian penilaian para tokoh Persatuan Islam dan Cendekiawan Muslim Bandung. Karena pandangan-pandangan keagamaan Persatuan Islam, banyak diwarnai oleh kedua tokoh ini. Meskipun tidak bisa dikesampingkan begitu saja peran para tokoh lainnya. Namun, khususnya dibidang fiqh, hanya kedua tokoh inilah yang paling menonjol di antara para tokoh Persatuan Islam lainnya.
Ketika KHE. Abdurrahman meninggal dunia, majalah Risalah yang dipimpinnya, menurunkan tulisan yang berupa cuplikan tulisan yang telah dimuat di berbagai Harian di Bandung, mengenai mening-galkan tokoh ini. Majalah Risalah[59] menurunkan tulisannya sebagai berikut:
Hari Kamis,21 April 1983, jam 02.30 WIB, umat Islam telah kehilangan seorang ulama besar, seperti dituturkan Bapak M. Natsir: “Sepanjang pergaulan saya di Rabithah ‘Alam Islamy, saya belum menjumpai ulama yang akurat dan cermat dalam Ilmu Hadîts  seperti Ustâdz  KHE. Abdurrahman”,  suatu  pengakuan yang dinyatakan tokoh Islam kaliber Internasional ini, memang bukan sekadar basa-basi memuji almarhum, namun suatu pernyataan lugas yang didukung pula oleh tokoh Islam yang lain, seperti dituturkan DR. KHEZ. Mutaqien: “Beliau adalah ulama yang paling dalam di bidang Hadîts dan Tafsîr.

Cikal bakal Ulama Besar dan Guru Besar, serta Pimpinan Persatuan Islam ini, lahir di kota Cianjur, pada tanggal 12 Juni 1912, ayahnya bernama Ghazali, sedang ibunya bernama Hafsah, dengan jumlah saudara 13 orang, beliau merupakan putra yang paling cikal dari yang ada.
Setelah khatam al-Qur’an pada usia 7 tahun, pendidikan beliau dilanjutkan dengan pendidikan di madrasah Nahdlatul Ulama al-I’ânah Cianjur. Setelah usai meraih pendidikan di al-I’ânah, atas permintaan keluarga besar SWARHA Bandung, beliau dipanggil untuk mengajar di madrasah Nahdlatul Ulama  al-I’ânah  Bandung.  Ternyata  pengalaman baru tersebut menciptakan kemajuan, dengan dipakainya sebagai tenaga pengajar HIS, Mulo, dan Kweekschool, untuk mata pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab. Di samping itu juga, turut mengajar di Majelis Pendidikan Diniyah Islamiyah di jalan Kebon Jati, Gang Ence Aziz No. 12/10 D Bandung, ketika itu.
Tahun 1934, bergabung dengan M. Natsir dalam Pendis (Pendidikan Islam) di jalan Lengkong Besar Bandung. Bersama itu pula beliau mulai tertarik dengan pemikiran keagamaan A. Hassan, guru Persatuan Islam, bahkan beliau akhirnya menjadi murid A. Hassan yang paling akrab. Beliaulah yang paling setia mendampingi gurunya dalam berbagai kegiatan, beliau pula yang dengan setia mendampingi A. Hassan ketika sakit di Mekkah al-Mukaramah, dalam rangka menjalankan ibadah Haji.
Bila dilihat secara seksama, ternyata beliau lebih cenderung hidup dalam dunia pendidikan Islam, yang hingga akhir hayatnya, tetap menjabat sebagai Pimpinan Pesantren Persatuan Islam No. 1 Bandung, yang dirintisnya lebih empat puluh tahun (1942-1983).
Pada tahun 1957, turut terlibat dalam arena politik, menjadi anggota Konstituante Republik Indonesia dari Fraksi Masyumi, dengan nomor anggota 246, hingga akhirnya Konstituante dibubarkan oleh rezim Soekarno.
Tahun 1959, diangkat menjadi dosen Universitas Islam Bandung. Tahun 1967, diangkat menjadi dosen FKIT-IKIP Bandung, untuk mata kuliah Pendidikan Agama Islam.
Tahun 1968, dalam Muktamar Persatuan Islam di Bandung, beliau diangkat menjadi Ketua Umum Persatuan Islam, berturut-turut selama tiga kali pengangkatan, jabatan yang diraih setelah kepemimpinan KHM. Isa Anshary.
Pada usia 71 tahun, KHE. Abdurrahman menderita sakit yang cukup serius, dan hampir tiga kali menjalani opname di RS. Hasan Sadikit. Hingga pada akhirnya Allah SWT memanggil beliau, untuk istirahat panjang di alam baqa, tepatnya pada hari Kamis, 21 April 1983, jam 02.30 WIB di RS. Hasan Sadikin Bandung.
Keesokan harinya, ulama besar yang hampir 50 tahun telah mengabdikan dirinya di Persatuan Islam ini, dimakamkan di Pekuburan Karang Anyar, Komplek Pekuburan Bupati Bandung, dengan ribuan para pencintanya yang turut mengantar hingga selesai upacara penguburan.
Karakteristik tokoh ini tampak eksklusif, anggun dan sangat berwibawa. Demikian sehingga banyak orang yang menganggap bahwa Persatuan Islam di bawah kepemimpinannya tampak tertutup. Progresivisme Persatuan Islam yang muncul sebelumnya, di bawah KHE. Abdurrahman, nyaris tidak lagi tampak. Gagasan dan gerakan dalam percaturan politik pun tidak lagi terasa sengatannya. Padahal sebelumnya, ia sesungguhnya pernah menjadi anggota parlemen di masa Soekarno.
Mengapa? Kira-kira begitulah politiknya kyai. Sebab di sisi lain, Persatuan Islam di bawah kepemimpinannya, mencapai kemajuan pesat. Dengan kemampuannya dalam bidang Fiqh, Tafsîr dan Hadîts, KHE. Abdurrahman membina Persatuan Islam dan umat pada umumnya melalui sektor pendidikan dan da’wah. Dengan kata lain, KHE. Abdurrahman sangat memperhatikan pendidikan sebagai salah satu lembaga strategis bagi pengkaderan Persatuan Islam.[60]
Namun dalam analisis A. Latief Muchtar,[61] ekslusivisme yang dikembangkan Persatuan Islam pada masa kepemimpinan KHE. Abdurrahman itu harus dipandang sebagai sikap politis. Mengingat situasi politik sekitar 1970-an hingga 1980-an sangat otoritarian sehingga Persatuan Islam perlu memagari diri melalui “politik isolasi”. Bahkan penugasan mubaligh untuk mengisi jadwal-jadwal pengajian berdasarkan permintaan dari berbagai daerah, Persatuan Islam perlu melakukan seleksi yang ketat, untuk menghindari intervensi dari luar yang akan menimbulkan perpecahan di kalangan Persatuan Islam sendiri. Itulah sebab yang melatar belakangi Muktamar Persatuan Islam yang dilaksanakan sekitar tahun 1978 di Bandung dinamakan dengan Muakhat, yang hanya dihadiri khusus dari kalangan intern Persatuan Islam.
Abdurrahman was one of Hassan’s pupils who followed his mentor in terms of religious doctrines. He was primarily an educator and administrator for the Persatuan Islam. His writings in Persis’s periodicals show deep knowledge of Islamic history and doctrine. As an administrator, he showed considerable organizational ability in keeping the Persis functioning during a period of considerable political instability and rapid national economic decline.[62]

5. A. Latief Muchtar (1931-1997): Dari Progresivisme hingga Ekslusivisme
KHA. Latief Muchtar, MA dilahirkan di Garut pada tanggal 7 Januari 1931, dari pasangan KH. Muchtar dan Hj. Memeh. Beliau pernah mengenyam pendidikan di Pendis yang dipimpin oleh M. Natsir dan Pesantren Persatuan Islam Pajagalan, Bandung. Selain itu, tercatat pada tahun 1947/1948 pernah belajar di Pesantren Dâr al-Latîf di Garut, SMP Muhammadiyah Bandung (1951), dan SMA 3 Bandung.
Pada tahun 1957 beliau berangkat ke Mesir, untuk mengikuti kuliah di Universitas Darul Ulum, Kairo. Di sana beliau se-almamater dengan K.H. Ibrahim Husein (salah seorang tokoh ulama MUI). Bahkan dalam Himpunan Pelajar Pemuda Indonesia (HIPPI), yang baru pertama kali dibentuk di Mesir, A. Latief Muchtar terpilih menjadi Sekretaris mendampingi Ketua, yang dijabat oleh Ibrahim Husein muda.
Sepulang dari Mesir, selain aktif di Persatuan Islam, beliau menjadi dosen IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, hingga menjabat sebagai Pembantu Rektor I  IAIN SGD Bandung, di samping sebagai dosen di lingkungan Kopertais wilayah III Jawa Barat. Beliau sempat pula kuliah program S3 di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, namun tidak sempat menyelesaikan disertasinya karena kesibukan sebagai Ketua Umum PP. Persatuan Islam, yang dijabatnya pada tahun 1983 sejak meninggalnya KHE. Abdurrahman.
Selain sebagai Ketua Umum PP. Persatuan Islam, KHA. Latief Muchtar, MA., tercatat sebagai anggota pengurus ICMI Pusat, dan aktivis Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang sering mewakili DDII di forum-forum Islam di forum internasional, seperti di OKI, Dewan Mesjid se-Dunia dan lain sebagainya. Tugas-tugas ke forum Islam Internasional tersebut, di antaranya  mewakili Moh. Natsir dari Indonesia, yang dicekal oleh Pemerintah RI, sehingga tidak bisa pergi ke luar negeri.
Selama kepemimpinan KHA. Latief Muchtar, MA., Persatuan Islam tampak seperti di simpang jalan. Untuk menentukan benang merah dari keempat figur pimpinan sebelumnya —yang cenderung bervariasi— adalah upaya yang tidak gampang. Meskipun secara tegas KHA. Latief Muctar, MA dapat menentukan pijakannya yang khas, tetapi kontinuitas organisatoris tetap merupakan prinsip kelanggengan organisasi Persatuan Islam.
Namun begitu, dari perjalanan Persatuan Islam yang cukup panjang dan bervariasi itu, sejak periode A. Hassan yang cenderung progresif hingga periode KHE. Abdurrahman yang cenderung eksklusif, KHA. Latief Muchtar, MA sebagai seorang cendekiawan muslim yang berbasis akademis menentukan arah organisasi yang tepat dan strategis yakni, orientasi intelektualitas bagi Persatuan Islam. Tampaknya orientasi ini sangat tepat dilakukan oleh Persatuan Islam, khususnya dalam peta Nasional yang terakhir ini, merupakan orientasi yang cukup strategis. Namun dalam perjalanan berikutnya, tampak pula Persatuan Islam di bawah kepemimpinannya merambah kembali bidang politik. Ia sendiri kemudian masuk menjadi anggota DPR/MPR RI. Ijtihâd politiknya ini mungkin dirasakan oleh sebagian tokoh Persatuan Islam yang lain cukup mengagetkan, karena pada periode sebelumnya sepertinya bidang ini “haram” untuk disentuh dan dianggap bukan merupakan bidang garapan Persatuan Islam.
Namun disukai atau tidak, loncatan ini sesungguhnya di samping menandai masa berakhirnya masa ekslusifisme yang selama itu disandang oleh Persatuan Islam, juga mengemban misi khusus. Yakni memberikan warna tertentu bagi perkembangan politik di Indonesia. Karena bagaimana pun, Persatuan Islam akan selalu berhadapan dengan kebijakan Nasional di mana Ormas Islam itu berdiri. Inklusif misalnya menyangkut undang-undang keormasan di Republik ini,[63] di mana Pancasila diterima sebagai satu-satunya azas bagi ormas Islam, hal itu dipandang sebagai suatu kelemahan para politisi muslim di tanah air saat itu. Dan bagi Persatuan Islam, penerimaan ini terkesan bersikap jabari atas ketidakberdayaannya dalam menentukan alternatif lain. Karena itu, seharusnya Persatuan Islam menempatkan wakilnya dalam majelis tertinggi negara itu, agar aspirasi politiknya bisa terlihat dan tersalurkan.
Itu sebabnya eksklusivisme yang pernah dikembangkan Persatuan Islam pada periode sebelumnya, maka pada saat situasi dan kondisi politik itu berubah baik secara radikal revolusioner maupun secara gradual, hal itu perlu ditinjau ulang. Dalam pandangan KHA. Latief Muchtar, MA[64] dinyatakan bahwa ber-ijtihâd dan proaktif dalam menentukan sikap politik tanpa mengubah Ormas Persatuan Islam menjadi Partai Politik atau tetap mempertahankan kemandirian jam’iyah tanpa mengekang kebebasan berpolitik bagi pribadi-pribadi warganya, hal ini menjadi suatu keharusan. Bahkan masing-masing pribadi anggota Persatuan Islam dibekali misi jam’iyah, jika ingin melangkah dan aktif di bidang politik.
Dengan kata lain, penyaluran aspirasi tersebut bisa saja memakai bendera Golongan Karya ataupun Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Hal ini tidak terlalu prinsip. Karena dalam konstelasi politik di Indonesia hal itu sama saja. Akan tetapi secara formalitas perjalanan ‘politik’ para tokoh Persatuan Islam tersebut di atas, semuanya tercatat selalu berada di jalur partai  yang berseberangan dengan Pemerintah yang berkuasa.
KHA. Latief Muchtar, MA sendiri tercatat sebagai anggota DPR/MPR RI, untuk periode 1998-2003 dari Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Namun beberapa hari sebelum dilantik sebagai anggota Dewan, beliau meninggal dunia di Jakarta dalam rangka mengikuti acara gladi bersih pelantikan tersebut, pada tanggal 12 Oktober 1997 akibat serangan penyakit jantung.[65]
Kepribadian KHA. Latief Muchtar, MA., yang dikenal sangat familiar ini, misalnya terungkap dari berbagai pernyataan duka dan belasungkawa atas wafatnya Ketua Umum Persatuan Islam ini, yang disampaikan oleh tokoh-tokoh masyarakat maupun Pemerintah, ulama dan para cendekiawan di berbagai media cetak, khususnya di Bandung.
Satu dari sekian banyak pernyataan tersebut, misalnya diungkapkan oleh Prof. Dr. H. Afif Muhammad dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia menulis:
Ketika seseorang menghembuskan nafasnya yang terakhir, ... saat itu dia tidak lagi dapat melakukan kepura-puraan. Ia tidak dapat membujuk seseorang untuk melakukan kepalsuan mengenai dirinya, dan tidak dapat pula membuat rekayasa agar orang banyak menyatakan simpati mereka kepada dirinya... Singkatnya, saat itu sang jenazah sudah mulai menerima hasil dari perbuatannya, tanpa dia sendiri dapat melakukan apapun untuk merekayasanya...
Pikiran dan perasaan seperti itulah yang ada pada diri saya ketika berada di tengah ribuan orang yang penuh sesak menyampaikan ta’ziah atas wafatnya KHA. Latief Muchtar, Ketua Umum Persatuan Islam... Saat itu saya dapat merasakan, kehadiran ribuan orang dengan wajah-wajah sedih, lalu saling berdesakan dan bersegera melakukan shalat jenazah karena takut tertinggal, benar-benar merupakan hasil dari amal Ustâdz Latief...
... Jadi berdesakannya ribuan orang yang berta’ziah, melakukan shalat jenazah, memanjatkan doa dan mengantarkan jenazah Ustâdz Latief ke pemakaman Cijeungjing Ciganitri, adalah hasil dari amal beliau. Karena itu Pak Ukman Sutaryan (Wagub Daerah Tingkat I Jawa Barat) benar ketika menya-takan,“Ribuan orang yang mengantarkan jenazah KHA. Latief Muchtar mem-buktikan bahwa beliau benar-benar seorang ulama besar”.[66]

Selanjutnya, dalam tulisan itu,  Prof. Dr. H. Afif Muhammad menyatakan bahwa KHA. Latief Muchtar, adalah ulama yang teguh dalam mempertahankan pendapat yang diyakininya benar, tanpa dibarengi dengan memperlihatkan sikap kebencian kepada yang berbeda pendapat dengan beliau.
Ketika menjadi pemakalah, Ustadz Latief memperlihatkan wawasannya yang cukup luas, dan lebih dari itu konsistensinya dalam menyampaikan dan mempertahankan pandangan-pandangannya. Keteguhan dalam mempertahankan pendapat yang beliau yakini kebenarannya itulah yang menyebabkan beliau memperoleh tempat tersendiri di kalangan para ulama dan cendekiawan, tak terkecuali orang-orang yang gencar melancarkan kritik terhadap beliau.
Dan adalah mengharukan bagi saya ketika saya melihat Kang Jalal (Dr. KH. Jalaluddin Rakhmat) dan kawan-kawan dari penerbit Mizan tampak di tengah-tengah ribuan pengantar jenazah Ustadz Latief di Ciganitri. Fakta ini menunjukkan kebesaran Ustâdz Latief di mata Kang Jalal yang sering berbeda pendapat dengannya, sekaligus membuktikan betapa besarnya jiwa orang-orang seperti mereka berdua ini, sehingga perbedaan pendapat yang kadang-kadang demikian tajam tetap tidak meretakkan ukhuwwah sesama muslim. Rasanya, akhlak seperti ini harus diteladani oleh generasi muda Islam yang sering terlibat berbagai perbedaan pendapat.[67]

Demikian salah satu penilaian tentang kepribadian KHA. Latief Muchtar, MA. Meskipun Persatuan Islam yang dipimpinnya terkenal mempunyai watak keagamaan yang khas keras, namun dalam persoalan ukhuwwah Islamîyyah yang diperlihatkan oleh KHA. Latief Muchtar terhadap sesama muslim sangat perlu diteladani. Tidak berlebihan, jika kemudian Dr. Ing. H. Suparno Satira, Ketua Yayasan Masjid Salman ITB, menyatakan bahwa KHA. Latief Muchtar, MA., adalah tokoh yang bisa menjembatani semua lapisan. Antara kelompok intelektual dengan kelompok perdesaan. Dan juga bisa menjembatani antara generasi muda dengan generasi tua. Selain itu Pak Latief, adalah se-orang organisatoris yang cukup baik dan bisa diterima oleh banyak pihak. Persatuan Islam di bawah pimpinan Pak Latief, mampu memberikan wawasan-wawasan yang cukup baik terutama untuk golongan lain.[68]

6. KH. Shiddieq Amien: Mengemban Amanat hingga Akhir Hayat
KH. Shiddieq Amien, yang lebih akrab disapa oleh umat Islam Bandung dengan panggilan Ustadz Shiddiq, adalah Ketua Umum PP. Persatuan Islam yang wafat 31 Oktober 2009. Ustadz Shiddieq memimpin PP. Persatuan Islam menggantikan ketua umum yang lama, KHA. Latief Muchtar, MA karena wafat pada tahun 1997.
KH. Shiddieq Amien adalah generasi muda Persatuan Islam yang tampil memimpin PP. Persatuan Islam, karena ketika beliau wafat umurnya baru mencapai 53 tahun. Dan pada waktu pertama kali menjabat ketua umum PP. Persatuan Islam, KH. Shiddieq Amien masih berumur 41 tahun.
Menurut teman-teman sejawatnya di Muallimien lulusan tahun 1975, Pesantren Persatuan Islam Pajagalan No. 14 Bandung, Ustadz Shiddieq muda dikenal sebagai ‘kutu buku’ dan penceramah agama yang intens. Sarjana Bahasa Inggris yang diraihnya di Akademi Bahasa Asing di Bandung, ternyata lebih memilih dunia pesantren ketimbang modal kesarjanaan bahasa yang dimilikinya untuk melanglang buana. Beliau lebih memilih membesarkan Pesantren Persatuan Islam Cabang Benda Tasikmalaya, tempat beliau lahir dan dibesarkan. Karena pesantren tersebut sesungguhnya merupakan tempat pewarisan ilmu dari ayahnya, KH. Amienullah.
Ustadz Shiddieq Amien yang berwajah putih bersih, biasa berkopiah pitam dan nampak sangat berwibawa. Jika beliau sedang ceramah menjelaskan ajaran Islam dan nilai-nilai kehidupan, bukan saja logika-logikanya yang memukau, tetapi juga dibarengi dengan wawasan pengetahuan Islamnya yang sangat luas. Karenanya, tidak heran ketika beliau ceramah untuk dua jam di atas mimbar, terasa hanya sebentar. Ceramah minggu pagi yang biasa diselenggarakan di Masjid PP. Persis selama Ustadz Shiddieq memimpin ormas ini, tak kurang seribuan mustami’ dipastikan memadati lingkungan kantor Persis di ujung jalan Viaduct Bandung itu. Guyonan Ustadz Shiddieq dalam ceramah, sesungguhnya bukan guyonan agar hadirin tertawa dan senang di saat beliau ceramah, tetapi hal itu biasanya untuk menjelaskan ajaran Islam yang jika disampaikan apa adanya, terkadang menyinggung pihak lain, yang sesungguhnya menganut ajaran yang disinggung beliau itu. Misalnya beliau menyatakan bahwa bid’ah itu terlarang dalam agama Islam atau menyatakan bahwa meninggalkan shalat lima waktu itu terlarang. Beliau membahasakannya bahwa menyebut ahli bid’ah itu bukan merupakan kata-kata yang kasar dan tidak bermaksud menyinggung masyarakat yang melakukan ajaran-ajaran bid’ah itu, yang ia tegaskan ‘punten, kata bid’ah itu tidak ada bahasa yang lebih lunaknya (Sunda: lemes, pen.), dan tidak mungkin disebut dengan kata-kata sebagai setengah bid’ah, agar terkesan lunak. Bid’ah ya bid’ah, dan yang melakukan bid’ah dalam ibadah fi al-nâr. Yang tidak shalat lima waktu maka disebut kafir, karena hadits menyatakan bahwa pembeda antara kafir dan muslim itu adalah meninggalkan shalat. Dan kata kafir ini, kata Ustadz Shiddieq, ‘punten teu aya lemesna’ (maaf, tidak ada padanan kata yang lebih lunak, pen.), dan tidak mungkin menyebut orang Islam yang tidak shalat itu sebagai orang setengah kafir, untuk menunjukkan bahasa yang lebih lunaknya. Dan tentu saja, mendengar gaya ceramah Ustadz Shiddieq tersebut, siapapun akan termangu puas mendengarnya dan tidak ada yang mengantuk seperti umumnya kebiasaan masyarakat dalam kegiatan keagamaan ini.
Persatuan Islam selama di bawah kepemimpinan KH. Shiddieq Amien, mungkin tidak seprogresif ketika di bawah KHA. Latief Muchtar yang akademisi dan lincah itu, tetapi lebih menitikberatkan pada kemajuan pesantren, yang umumnya di lingkungan Persatuan Islam, pesantren-pesantren itu dikelola oleh cabang Persis di daerah masing-masing.  Dengan cara beliau mengunjungi cabang-cabang dan menyampaikan ceramah, gairah berorganisasi dan memajukan pesantren terlihat keberhasilannya. Moralitas yang ditanamkan Ustadz Shiddieq melalui kunjungan-kunjungan ke daerah sangat berarti dan sangat besar pengaruhnya bagi jamaah Persatuan Islam yang berada di daerah.
Kesibukan menggumuli dunia pesantren yang umumnya jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota, tentu wajah dan wijhah Persatuan Islam di bawah kepemimpinan beliau jarang terpublikasi ke media seperti halnya ketika di zaman Ustadz Latief. Namun harus diakui, pesantren-persantren yang dikelola oleh cabang-cabang Persatuan Islam di daerah muncul ke permukaan dan banyak diminati santri-santri dari berbagai daerah lain, justru pada saat Persatuan Islam dipimpin oleh Ustadz Shiddieq. Pesantren Persatuan Islam Cabang Benda Tasikmalaya, jauh lebih maju dan diminati ribuan santri. Demikian juga pesantren Persatuan Islam di Garut, jauh lebih pesat dibanding sepuluh tahun sebelumnya. Gairah masyarakat menggali al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam mendapat animo yang besar di lingkungan Persatuan Islam ketika Shiddieq Amien memimpin ormas ini. Hal ini berbanding lurus ketika di zaman KHA. Latief Muchtar memimpin Persis, di mana dunia politik Islam khususnya di lingkungan Persatuan Islam sangat bergairah, bahkan setiap orang ingin menjadi syuhada untuk mengubah keadaan yang lebih baik dan Islami sesuai dengan kaidah-kaidah dan fasilitas kemodernan.

F. Tokoh-tokoh Dibalik Perjuangan Persatuan Islam
Tokoh-tokoh Persatuan Islam yang mendampingi para tokoh di atas, sebetulnya  sangat  banyak.  Tercatat, misalnya, pada  generasi pertama, di samping H. Zamzam, H. Muhammad Yunus dan A. Hassan, adalah KH. Munawar Cholil, Mahmud Aziz, dan TM. Hasbie Ash-Shiddieqy. Munawar Cholil adalah penulis buku yang cukup dikenal, yang bukunya antara lain adalah ”Kembali kepada Qur’an dan Sunnah”. Mahmud Aziz, bersama-sama A. Hassan, memberikan fatwa-fatwa keagamaan, yang kemudian dikumpulkan dalam buku “Soal-Jawab 4 jilid”. Dan TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, anggota majelis ulama Persatuan Islam adalah penulis buku-buku teks keagamaan Islam yang amat dikenal di perguruan tinggi Islam.
Generasi Kedua, di samping M. Natsir dan M. Isa Anshary, tercatat di antaranya KH. Qomaruddin Shaleh, pendiri Universitas Islam Bandung (Unisba), dan KHM. Rusyad Nurdin, sesepuh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dan juga merupakan Ketua Umum DDII wilayah Jawa Barat. Namun yang paling terkenal dan pernah menjadi Ketua Umum PP. Persis adalah Fachruddin al-Kahiri.
Fachruddin al-Kahiri adalah pria kelahiran Padang pada tanggal 17 Agustus 1904. Pendidikan dasar yang diterimanya ialah dari HIS Adabiyah di Padang. Kemudian ia melanjutkan ke MULO di Medan. Ia kemudian merantau ke Jawa dan melanjutkan studinya ke tingkat AMS (SLTA) di Bandung. Selama di kota ini, Fachruddin merasa tertarik dengan kegiatan-kegiatan Persatuan Islam. Bersama-sama M. Natsir ia aktif memajukan organisasi ini, turut berpartisipasi dalam mendirikan lembaga pendidikan Persatuan Islam sekaligus berkenan mengelolanya baik di HIS, Mulo maupun Kweekscoool. Di samping itu Fachruddin juga berperan sebagai pimpinan majalah Pembela Islam dan pernah menjadi Ketua Umum Persatuan Islam. Pada masa pendudukan Jepang, Fachruddin pernah menjadi tentara PETA, sedangkan pada masa kemerdekaan ia aktif dalam partai politik Masyumi. Berdasarkan hasil Pemilu 1955 ia terpilih sebagai anggota DPRD Jawa Barat. Sebagai seorang ulama, ia selalu aktif dalam perjuangan Islam baik melalui pendidikan maupun tabligh-tabligh.[69] Perjalanan Fachruddin al-Kahiri hampir seluruh hidupnya diabdikan pada kegiatan Persatuan Islam, hingga beliau meninggal pada tanggal 20 Maret 1979 di Bandung.
Generasi Ketiga, di samping KHE. Abdurrahman, tercatat antara lain tokoh-tokoh seperti: Ust. Abdul Qadir Hassan, putera A. Hassan, yang memimpin Pesantren Persatuan Islam Bangil Surabaya hingga akhir hayatnya, KHE. Abdullah, dan KHM. Sudibja. Keduanya nama terakhir ini selama hidupnya bersama-sama KHE. Abdurrahman membesarkan Pesantren Persatuan Islam Bandung. Sementara Ust. Abdul Qadir Hassan membesarkan Pesantren Persatuan Islam Bangil. Selain ketiga tokoh di atas, tercatat adalah KHE. Sar’an, tokoh Persatuan Islam yang berdomisili di Jakarta.
Generasi keempat, di samping KHA. Latief Muchtar, MA tercatat pula: KH. Aminullah, yang selama akhir hayatnya memimpin Pesantren Persatuan Islam Benda Tasikmalaya, KH. Syihabuddin, pemimpin dan pengembang Pesantren Persatuan Islam wilayah Garut, KH. Syarif Syukandi, juga selama akhir hayatnya mengabdikan diri di Pesantren Persatuan Islam Bandung, mendampingi gurunya, KHE. Abdurrahman dan KHE. Abdullah.
Selain itu, tak bisa dikesampingkan peran dan sumbangsih KH.Yahya Wardi, yang pernah lama memimpin Bidang Garapan Haji. HE. Nasrullah, yang memimpin pesantren Persatuan Islam No. 1 Pajagalan Bandung, selepas ditinggal wafat oleh KHE. Abdullah. KH. Achyar Syuhada bersama-sama KH. Ghozali, keduanya berdomisili dan memimpin cabang Persatuan Islam di wilayah Cianjur. KH. A. Qodir, KH. Usman Sholehuddin, KH. I. Shodikin, dan KH. A. Zakaria, penulis buku al-Hidayah 3 jilid, yang ditulis dalam bahasa Arab dan Indonesia, juga adalah tokoh-tokoh sezamannya Ustadz Latief. Mereka saat ini, di samping memimpin pesantren di daerah masing-masing, juga menjadi anggota tetap Dewan Hisbah, suatu lembaga kajian keagamaan Persatuan Islam.
Dan dari kalangan generasi berikutnya, ketika KH. Shiddieq Amien menjadi ketua umum PP. Persatuan Islam, menggantikan KHA. Latief Muchtar, MA, tercatat: Prof. Dr. HM. Abdurrahman, (kini Ketua Umum Persatuan Islam, menggantikan KH. Shiddieq Amien), Ust. H. Deddy Rahman, dan Ust. Gozi Abdul Qadir, cucu A. Hassan yang memimpin Persantren Persatuan Islam Bangil hingga akhir masa hayatnya.
Demikian pula, tercatat tokoh-tokoh wanita Persatuan Islam yang membidangi hal kewanitaan dan duduk dalam kepengurusan Persatuan Islam Istri, salah satu badan otonom Persatuan Islam, seperti: R. Maryam Abdurrahman, seorang tokoh Mubâlighat yang berkarakter dan merupakan Ketua Persatuan Islam Isteri yang pertama. Tokoh ini meninggal di tanah suci Mekkah saat melakukan ibadah haji pada tanggal 16 Mei 1956.59 Selanjutnya tercatat pula Hj. Kiyah, Hj. Yom Maryam, Hj. Romlah Nachrowi, Hj. Chodidjah Muchtar (Ibunda KHA. Latief Muchtar, MA), Hj. Mamah Aceng,[70] Hj. Rukmini, Hj. Tarsiyah, dan HE. Aisyah Wargadinata, Lc., yang pernah lama menjabat sebagai Ketua Persatuan Islam Istri, beserta tokoh-tokoh lainnya seperti; Hj. Ikin (alm., istri dari Ust. Yahya Wardi), Hj. Euis Somantri, Hj. Rokayah Syarief, Hj. Enung Sudibja (putri alm. KHM. Sudibja), Hj. Umu Hani Abdurrahman, dan Hj. Dian Abdurrahman (keduanya, putri alm. KHE. Abdurrahman).

G. Kesimpulan
Sebagai ulama atau sarjana keagamaan (religious scholar), para tokoh Persis mempunyai karakteristik elit keagamaan dan elit kultural yang mempunyai banyak peran untuk membimbing umat mereka dengan bimbingan wahyu Allah Swt.
Selain itu, para tokoh Persis itu pun membuktikan bahwa kaum ulama juga adalah para aktivis, karena mereka secara potensial dapat mengubah dunia. Mereka mempunyai program “Islamisasi” dunia. Nilai-nilai Islam itu dari Allah Swt. Dengan mengikuti Nabi, ulama adalah “agen” Tuhan. Dalam kasus ulama Persis di atas, mereka memandang bahwa dunia harus Islami dan sesuai dengan pandangan Nabi dan para sahabatnya. Dengan begitu, ulama mempunyai idealisme mereka sendiri.
Idealisme ulama, dari kewajiban doktrin yang mereka punyai, adalah Islamisasi kehidupan manusia. Dalam upaya untuk menyejarahkan idealism tersebut ulama pandangan dunia, pandangan politik, dan sikap hidup yang berbeda dari yang lain, walaupun mereka mempunyai sumber yang sama: doktrin Islam. Hal ini terjadi disebabkan perubahan waktu. Kita dapat melihat aksentuasi yang berbeda dari perjuangan ulama Persis dalam sejarah Persis sebagai gerakan modernis di Indonesia. A. Hassan lebih sebagai pemikir keagamaan yang memberi landasan atas doktrin kaum pembaru. M. Natsir dan M. Isa Anshary lebih sebagai pemimpin politik dan juru kampanye Islam di tingkat nasional. E. Abdurrahman lebih sebagai pendidik yang memproduksi generasi ulama Persis. A. Latief Muchtar lebih sebagai organisator yang banyak terlibat dalam wilayah-wilayah masyarakat sipil Indonesia seperti kampus dan kelas menengah Muslim. Dan Shiddieq Amien lebih sebagai da’i yang berpengaruh di masyarakat.
            Dari penjelasan di atas, nampaklah, dari kasus para pemimpin Persis, bahwa ulama itu memainkan peran mereka dalam mengislamkan masyarakat mereka untuk semakin mendekati nash-nash utama Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah. Peran tersebut adalah peran utama mereka, walaupun peran minor mereka berbeda-beda: ada yang menjadi pemikir, politikus, pendidik, dan sebagainya. Peran-peran minor tersebut nampaknya akan terus berjalan seperti sebuah siklus.
Siklus kepemimpinan di Persatuan Islam tampak seperti itu yang terekam oleh sejarah. KHM. Isa Anshary dan M. Natsir, tahun 1950-1970-an, mewarnai jihad Persatuan Islam dengan warna-warna politik Islam yang kental, umat Islam sangat bergairah sehingga setiap individu dari anggota Persatuan Islam siap berjihad melawan kedzaliman kekuasaan. Namun ketika KHE. Abdurrahman memimpin Persatuan Islam hingga tahun 1983, warna-warna Persatuan Islam seakan jauh dari dunia politik. Penguasaan teks keagamaan Islam seperti terdapat dalam kitab kuning, untuk penguasaan tafsir al-Qur’an, hadits dan pemikiran para ulama terdahulu seakan menjadi barometer keunggulan seorang ustadz di lingkungan Persatuan Islam. Dengan demikian, siklus dari sejarah Persatuan Islam yang putarannya tampak pada roda as yang diputar oleh KHM. Isa Anshari dan KHE. Abdurrahman, terjadi kembali dalam kepemimpinan KHA.Latief Muchtar dan KH. Shiddieq Amien.
Kini tokoh-tokoh Persatuan Islam itu telah wafat dan dipanggil menghadapi Khaliknya, setelah mengemban amanat hingga akhir hayatnya memimpin umat di lingkungan Persatuan Islam. Bagi jamaah Persatuan Islam, wafatnya para pemimpin itu bukan merupakan musibah yang harus diratapi berlebihan seperti dengan cara membanding-banding mereka dengan kepemimpinan dulu, sekarang atau mendatang, melainkan setiap individu khususnya di lingkungan PP. Persatuan Islam dituntut bertanggungjawab memajukan organisasi ini dengan sebaik-baiknya. Kepemimpinan adalah amanat Allah SWT melalui umat, yang setiap saat dan bahkan di akhir hayat akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat.
Sepeninggal KH. Shiddieq Amien, tampuk kepemimpinan Persis dilanjutkan oleh Prof. Dr. KH. Maman Abdurrahman, MA. Demikianlah, sejarah memperlihatkan kembali bahwa tradisi pewarisan kepemimpinan di lingkungan Persatuan Islam adalah melalui pejabat sementara ketua umum, yang kemudian dikukuhkan oleh para muktamirin. Hal itu terjadi ketika Ustadz Abdurrahman meninggal, diganti oleh Ustadz Latief. Dan ketika Ustadz Latief Muchtar wafat, diganti oleh Ustadz Shiddieq. Memang begitulah alamiahnya tradisi kepemimpinan dalam Islam, siapa yang lebih tua, dialah yang lebih layak memimpin (wal ya’ummakum akbarukum). Tua bukan berarti hanya umur, tetapi tua bermakna punya keilmuan, kematangan emosi, dan penguasaan organisasi yang cukup. Sehingga umat pun dengan rela menyatakan amin terhadap semua keputusannya.
Bibliography

A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, Bandung: Rosda, 1998.
Ayubi, Nazih N., Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London-New York: Routledge, 1995.
Encyclopedia of the Modern Middle East, edited by Reeva S. Simon, Philip Mattar, and Richard W. Bulliet, 1996, (Vol. IV, p. 1822, “‘UlamÉ’”, Denise A. Spellberg).
Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Esposito, John L. (ed.), Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, 4 vols. New York, 1995.
Federspiel, Howard, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Ph.D. Dissertation, Cornell University, Ithaca, New York, USA, 1990.
Geertz, Clifford, The Religion of Java, Illionis: The Free Press of Glencoe, 1960.
Geertz, Clifford, “The Javanese Kijaji: The Changing Role of A Cultural Broker”, in Comparative Studies in Society and History, Vol. II, The Hague: Mouton & Co., 1959-1960.
Gibb, H.A.R. and Kramers, J.H., Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill, 1953.
Gilsenan, Michael, Recognizing Islam: An Anthropologist Introduction, London & Sydney: Croom Helm, 1982.
Horikoshi, Hiroko, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987.
Humpreys, R. Stephen, Islamic History: A Framework for Inquiry, revised edition, London-New York: I.B. Tauris & Co. Ltd., 1995.
INIS Newsletter, Leiden University, the Netherlands, vol. IV, 1991.
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, 1991
John M. Echols and Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris: An Indonesian-English Dictionary, 3rd edition, Jakarta: Gramedia, 1998.
Kahin, George McT., “In Memoriam: Mohammad Natsir (1907-1993)” in Indonesia, Cornell University, No. 56 (October), 1993.
Kahin, Audrey R. and Kahin, George McT., Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Mahayudin Hj. Yahaya, Ensiklopedia Sejarah Islam, Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1989.
Mottahedeh, Roy P., Loyalty and Leadership in an Early Islamic Society, Princeton: Princeton University Press, 1980.
Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, 4 vols., John L. Esposito (ed.), New York, 1995, art. “Sunni ‘UlamÉ’” (Vol. IV, p. 259 by Iftikhar Zaman).
Pijper, G. F., Studiën Over de Geschiedenis van de Islam in Indonesië 1900-1950, Leiden: E.J. Brill, 1977.
Pikiran Rakyat, national daily newspaper, Selasa 14 Oktober 1997, p. 22.
Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press. 2011.
Republika, national daily newspaper, 10 May 1997, p. 6.
Republika, national daily newspaper, Selasa 14 Oktober 1997, p. 2.
Syafiq Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara, 1980.
The Concise Encyclopaedia of Islam, London: Stacey International, 1989, p. 407.
Turner, Bryan S., Religion and Social Theory, London: Sage Publications, 1991.
Van Bruinessen, Martin, “State-Islam relations in contemporary Indonesia: 1915-1990”, in C. van Dijk and A.H. de Groot (eds.), State and Islam, Leiden, 1995.
Van Bruinessen, Martin, Rakyat Kecil, Islam dan Politik, translated into Indonesian by Farid Wajidi, Yogyakarta: Bentang, 1998, p. 180.
Wildan, Dadan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Bandung: Gema Syahida, 1995.
Wildan, Dadan, Yang Dai Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: Rosda, 1997.





[1] Ittiba‘ secara literal berarti “mengikuti”; Persatuan Islam menyatakan bahwa umat Iislam yang tidak terlatih untuk melakukan ijtihad dapat membuat keputusan tentang perilaku keagamaan berdasarkan fatwa dari mujtahid. Federspiel, Howard, Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia, Ph.D. Dissertation, Cornell University, Ithaca, New York, USA, 1990. Yang penulis alami sendiri, apa yang popular definisinya di kalangan Persis adalah “menerima perkataan dari yang mengatakannya dan engkau tahu dari mana asal pengambilannya” (qabuulu al-qauli al-qail wa anta ta‘lamu min aina ma’khudzuhu).
[2] Taqlid artinya mengikuti tanpa bertanya. Definisi popular di kalangan Persis adalah “menerima perkataan dari yang mengatakannya dan engkau tidak tahu dari mana asal pengambilannya” (qabuulu al-qauli al-qail wa anta la ta‘lamu min aina ma’khudzuhu).
[3] Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial. Bandung: Ibnu Sina Press. 2011, h. 15.
[4] Federspiel, Persatuan Islam, h. 183.
[5] Dari kesaksian penulis, pada Muktamar Persis ke-14 untuk Ketua Umum PP Persis Periode 2010-2015 kemarin, Prof. KH. Maman Abdurrahman, yang biasa dipanggil “Ustadz Maman” meraih suara mayoritas mengalahkan kompetitornya, Dr. H. Atip Latiful Hayat, yang notabene lebih bersifat intelektual daripada seorang ulama.
[6] Tamar Djaja, Riwayat Hidup A. Hassan, Jakarta: Mutiara, 1980, h. 179.
[7] M. Rusyad Nurdin, “Mengenal Ustad K.H. Abdul Latief, M.A.” in A. Latief Muchtar, Gerakan Kembali ke Islam, Bandung: Rosda, 1998, h. xv.
[8] Wildan, Dadan, Yang Dai Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, Bandung: Rosda, 1997, h. 146.
[9] Wildan, Dadan, Sejarah Perjuangan Persis 1923-1983, Bandung: Gema Syahida, 1995, h. 128.
[10] Wildan, Sejarah, h. 57.
[11] Wawancara dengan Ust. Hasanuddin di Markaz Persis Singapura, 29 Juli 2002.
[12] Wildan, Sejarah, h. 57.
[13] Federspiel, op. cit., h. 189.
[14] Wildan, Sejarah, h. 57 quoting Eman Sar’an in the Pemuda Persis’s magazine, Tamaddun, No. 1, 1972. This acceptance of religious culture by other Muslims also witnessed and said by K.H. E. Abdurrahman, one of A. Hassan disciples, as quoted by Latief, op. cit., h. 226.
[15] George McT. Kahin, “In Memoriam: Mohammad Natsir (1907-1993)” in Indonesia, Cornell University, Ithaca, New York, USA, No. 56 (October), 1993, h. 160.
[16] Federspiel, op. cit., h. 188.
[17] Wildan, Sejarah, h. 57.
[18] Anthony H. Johns, “Quranic Exegesis in the Malay World: In Search of a Profile” in Andrew Rippin (ed.), Approaches to the History of the Interpretation of the Qur’an, Oxford, 1988, h. 279.
[19] Moh. Roem dalam Syafiq Mughni, Hassan Bandung: Pemikir Islam Radikal, Surabaya: Bina Ilmu, 1980, h. 82.
[20] Ibid.; Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina, 1997, p. 36; Akh Minhaji, Ahmad Hassan and Islamic Legal Reform in Indonesian (1887-1958), Ph.D. Dissertation, Montreal, Canada: McGill University, 1997, h. 105.
[21] Moh. Roem dalam Mughni, op. cit., h. 83.
[22] Wildan, Sejarah, h. 57.
[23] Wildan, Yang Da’i, h. 8 berdasarkan Tafsir Qanun Asasi Persatuan Islam, 1968, h. 8-9.
[24] Federspiel, op. cit., h. 198.
[25] Wildan, Sejarah, h. 42-53.
[26] Federspiel, op. cit., h. 198.
[27] Wildan, Yang Da’i, h. 11.
[28] Deliar Noer, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942, Singapore: Oxford University Press, 1973, h. 149.
[29] Roem dalam Mughni, op. cit., h. 82.
[30] Van Bruinessen, Rakyat Kecil, h. 92.
[31] Federspiel, op. cit., h. 186.
[32] Ibid., h. 120.
[33] Wildan, Sejarah, h. 57.
[34] Federspiel, op. cit., h. 86.
[35] Effendy, Bahtiar, Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia, Ph.D. Dissertation, the Ohio State University, 1994, h. 76-7.
[36] Federspiel, op. cit., 198.
[37] Ibid., 98.
[38] Ibid., 198.
[39] Kahin, Audrey R. and Kahin, George McT., Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, h. 54-5.
[40] Federspiel, op. cit., 196.
[41] Atip Latiful Hayat dalam Wildan, Yang Dai, h. xii.
[42] Wildan, Yang Dai, 92, 126, 145, and 157.
[43] A. Hassan, Terjemah Bulûgh al-Marâm, Bandung: CV. Diponegoro, 1982.
[44] Roebaie Widjaya dalam: Hujjat al-Islâm, Bandung: Majalah Persatuan Islam, 1956 h. 35-36.
[45] Deliar Noer, op. cit. h. 90.
[46] Dudung Abdurrahman, op. cit. h. 49.
[47] Ibid. h. 50.
[48] Ibid.
[49] Federspiel, op. cit., h. 28.
[50] Lihat misalnya surat “Hamka kepada M, Natsir,” dalam: Islam sebagai Dasar Negara, Pidato Moh. Natsir dalam Sidang Pleno Konsituante, tanggal 12 Nopember 1957. Jakarta: Diterbitkan Pimp. Fraksi Masyumi, 1957, h. ii., sebagai berikut:
Kepada saudaraku M. Natsir:
Meskipun bersilang keris dileher
Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut djuga
Tjita Muhammad biarlah lahir
Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Djibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri di sebelah kiri
Lindungan Ilahy memberimu tenaga
Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaummu
Kemana lagi, Natsir, kemana kita lagi
Ini berdjuta kawan sefaham
Hidup dan mati bersama-sama
Untuk menuntut Ridla Illahy
Dan akupun masukkan!
Dalam daftarmu…
Hamka
Bandung, 13 Nopember 1957.
[51] Badri Khaeruman, “Mengenang Jasa M. Natsir”, dalam Suara Kampus IAIN SGD, Bandung: edisi XV, 23 Pebruari 1993.
[52] Kahin, op. cit., h. 165.
[53] Abu Bakar, Sejarah Hidup KHA. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia buku peringatan alm. KHA. Wahid Hasjim, 1957 hlm. 219-220.
[54] Ibid.
[55] M. Isa Anshary, Mujahîd Da’wah, Bandung: CV. Diponegoro, 1984 h. 311-312.
[56] Atip dalam Wildan, ibid., h. xiv.
[57] Mughni, op. cit., 112.
[58] Kahin dan Kahin, op. cit., p. 54-5. Joseph R. Mc Carthy dikenal sebagai Senator dari Partai Republik Amerika Serikat pada tahun 1950an yang sangat anti-komunis. Lihat Goenawan Mohamad, Catatan Pinggir, 3, Jakarta: Grafiti, 1991, h. 9-10.
[59] Lihat kolom Renungan Tarikh dalam majalah Risalah: Sekelumit Riwayat Hidup KHE. Abdurrahman. No. 231 Th. XXI/Juli 1983. Tulisan ini tampaknya ditulis oleh Uts. H. Deddy Rahman, putra tokoh ini, yang juga tokoh Persatuan Islam saat ini.
[60] Asep S. Muhtadi, makalah: ”Kyai dan Politik Pembaharuan: Kasus Persatuan Islam,” tidak dipublikasikan, Semarang, 1408 H. h. 11.
[61] Lihat makalah Latief Muchtar: Konstrubusi Pemikiran dan Perjuangan KHE. Abdurrahman bagi Jam’iyah Persatuan Islam, Bandung: 1997 h. 3.
[62] Federspiel, op. cit., 123.
[63] Lihat Drs. H. Iman Sudarwo Padmosugondo, Lima Undang-undang Bidang Pembangunan Politik, Surabaya: Indah, 1988, h. 146-155.
[64] Ibid.
[65] Anwar Harjono, “K.H. Abdul Latief Muchtar: Ulama yang Tawadhu’ dan Pemimpin yang Gigih” dalam Latief, op. cit., h. xx. Latief diafirmasi sebagai angota DPR RI dengan Keputusan Presiden Nomor 250/M Tahun 1997. Republika, an Indonesian national daily newspaper, Selasa 14 Oktober 1997, p. 2.
[66] Lihat artikelnya “Ustadz Latief dan Kang Jalal”, dalam H.U. Pikiran Rakyat, Bandung: Senin, 20 Oktober 1997.
[67] Ibid.
[68] Lihat Tabloid Hikmah, Bandung: Edisi Minggu III, Oktober 1997, h. 15.
[69] Lihat artikel; “Mengenang Amal Perjuangan Fachruddin al-Qahieri”, dalam Istiqamah, No. 16, April 1979 h. 5.
59 Lihat, Hujjatul Islam, Bandung: Majalah Persatuan Islam, 1956, h. 33-34.
[70] Lihat Lies M. Marcoes Natsir, “Profil Organisasi Wanita Islam Indonesia: Studi Kasus Persistri”, dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), 1993, h. 95.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020