PENDIDIKAN BUDI PEKERTI UNTUK ANAK SEKOLAH

M. Taufiq Rahman
Penanaman pekerti pada anak bukanlah hal yang baru. Setiap orang tua di segala zaman selalu menanamkan pekerti pada anaknya. Demikian karena hidup tanpa pekerti berarti hidup tanpa tujuan, tanpa ruh, dan tanpa semangat. Pekerti sebagai modal psiko-mental, dengan demikian, harus diturunkan kepada anak sejalan dengan menurunkan kemampuan mereka untuk terus hidup. Itulah yang selalu dilakukan oleh para orang tua. Penanaman pekerti untuk hidup adalah inti dari pendidikan. Itulah yang ditempa tiap hari oleh ibu dan bapak kepada anak-anaknya. Dalam budaya kita dari zaman ke zaman, dapat kita renungkan penanaman pekerti ini berbeda-beda caranya, tetapi satu jua tujuannya: sang anak mampu menjalani hidup. 

Dulu, bagi seorang bapak nelayan, yang pertama-tama harus ia tanamkan adalah bagaimana anaknya bisa mencari ikan dengan berbagai kemampuan teknisnya seperti cara membuat jala, cara melempar jala, mengayuh perahu, dan sebagainya. Itulah gambaran ketika kita berada dalam budaya maritim, dan itu berlanjut hingga sekarang. Bagi yang berbudaya berburu, keterampilan berburu adalah hal yang penting untuk ditransferkan kepada anaknya. Keterampilan tersebut mungkin sederhana, tetapi harus ditanamkan agar anak menjadi mandiri kelak di kemudian hari. Bagi kaum peternak, kemampuan beternak yang baik adalah hal yang sangat urgent agar sang anak dapat survive. Bagi seorang petani pula, yang utama ditanamkan pada anak adalah bagaimana sang anak mengetahui seluk beluk pertanian dari mulai pengairan, pemupukan, pengusiran hama, panen, dan sebagainya. 
Di rumah, sang ibu pun tak kalah sibuknya mendidik anak-anak perempuannya. Keterampilan memasak, menjahit, dan mengurus rumah tangga menjadi hal yang harus ditanamkan pada anak-anak. Sebab mereka pada akhirnya harus mengurus rumah tangganya sendiri, kelak ketika mereka kawin. Itulah di antara variasi pendidikan yang ada pada budaya kita, yang sudah lama mengakar dan hidup hingga hari ini. Semua variasi itu pada dasarnya bukan hanya mendidik masalah teknis, tetapi masalah psikis, mental, dan akhirnya membentuk pekerti. 
Pekerti seperti demokratis bisa kita temukan di kampung nelayan, semua bisa mencari ikan secara individual, karena laut adalah alam, dan alam milik Tuhan. Pekerti seperti berani dapat kita temukan di masyarakat pemburu, karena tanpa keberanian kita tidak akan bisa pergi ke hutan. Pekerti seperti sabar dapat kita temukan di masyarakat peternak, karena tanpa kesabaran kita tidak bisa menggembala ternak dari pagi sampai petang dan membawa ternak pulang ke kandang. Dan pekerti seperti rajin dapat kita temukan di masyarakat petani, karena tanpa kerajinan mengurus sawah, ladang, dan kebun, kita tidak akan dapat memetik hasilnya dengan baik. Pekerti-pekerti tersebut melekat di berbagai jenis masyarakat disebabkan karena adanya pendidikan pekerti yang tak terasa ditanamkan sejalan dengan pendidikan teknis. Apa yang kita dengar sampai hari ini adalah bahwa di masyarakat kita dahulu selalu muncul peribahasa, wejangan, dan cerita-cerita rakyat sebagai bentuk ekspresi pesan generasi terdahulu kepada generasi kemudian. 
Peribahasa seperti “lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya,” adalah peringatan bahwa kita harus siap sedia menghadapi perubahan dan menyesuaikan dengan keadaan. Wejangan yang dimediakan melalui lagu dan pantun adalah penanaman pekerti yang menonjol di suatu ketika dahulu di masyarakat kita. Dan cerita-cerita rakyat, legenda, bahkan mitos adalah cara orang tua kita memperingatkan kita untuk dapat mempunyai pekerti yang baik. Revolusi pekerti, katakanlah begitu, terlebih lagi terjadi ketika kita memasuki budaya perdagangan. Di sini setiap orang berkompetisi untuk mendapatkan keuntungan. Keluarga pedagang harus melakukan transfer ilmu yang lebih cepat dan cekatan dibanding dengan keluarga dari budaya lain seperti petani dan nelayan. Demikian karena jika mereka lambat, maka mereka tidak akan makan. 
Berbagai ilmu dari informasi hingga matematika harus mereka kuasai. Pendidikan pekerti di keluarga seperti di atas adalah pendidikan yang paling pertama dan utama. Namun karena kita berkembang dan bermasyarakat, di masyarakat kita muncul pembagian tugas, yaitu adanya tenaga yang mengajarkan kemampuan dan pekerti kepada generasi muda. Mereka dikenal dengan guru, ustadz, pandita, dan sebagainya. Dan mereka tidak hanya mengajar dari rumah ke rumah, atau di rumahnya, atau di tempat ibadah. Mereka pun punya lembaga pendidikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020