PEMIKIRAN POLITIK ISLAM KONTEMPORER

M. Taufiq Rahman[2]

A.    PENDAHULUAN
Sejarah pemikiran politik Muslim modern tidak bisa dilepaskan dari pengalaman kolonialisme. Demikian itu terlihat dari komitmen politik umat Islam kontemporer yang merupakan produk dari perjuangan kemerdekaan. Semua gerakan Islam pada awal abad ke-20 di dunia Islam betul-betul politis. Peran gerakan sufi seperti Sanusiyyah (Libya) dan Mahdiyyah (Sudan) serta nama-nama besar seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-97), Muhammad Abduh (1849-1905), Rasyid Ridha (1865-1935) dan Muhammad Iqbal (1875-1938) tidak bisa dikesampingkan.[3] Sementara itu, dalam prosesnya, sebagian konsep Barat, dengan tak terhindarkan lagi, mempengaruhi pemikiran Muslim dengan cara yang sangat dialektis.

Ambillah misalnya slogan modern bahwa “semua kedaulatan milik Allah” (la hukma illa lillah), yang dapat dimengerti hanya jika dipertentangkan dengan munculnya negara bangsa  berdaulat ala Barat pasca era Renaissance. “Jika Negara –dan kemudian, Rasio—menjadi hal yang sangat disucikan selama Pencerahan abad ke-18, maka adalah sangat alamiah jika umat Islam gigih memperjuangkan kedaulatan (hakimiyah) Allah,” demikian Arkoun.[4] Sayang, ini tidak lebih daripada mengatakan bahwa Tuhan ada dan bahwa Kehendak-Nya harus dilaksanakan. Namun, slogan “semua kedaulatan milik Allah” diteriakkan seolah-olah ia menyediakan solusi konkrit bagi masalah-masalah konkrit. Maka, Maududi dengan percaya diri memproklamasikan bahwa “Tak seorang pun, kelas atau kelompok dalam masyarakat, dan bahkan juga semua penduduk secara keseluruhan, dapat menyatakan dirinya sebagai pemilik atau pemegang kedaulatan. Allah sendirilah yang memegang kedaulatan yang sebenarnya; sedang semua yang lain hanyalah hamba-hamba-Nya.” dan menambahkan: “Allah adalah pembuat aturan hukum dalam arti seutuhnya dan wewenang untuk menetapkan berlakunya aturan hukum itu secara mutlak berada di tangan-Nya.”[5]
Sayangnya, dalam kerangka praktis statemen itu bermakna kecil seperti janji kosong yang lain, bahwa “Islam itu solusi” (al-Islam huwa al-hal). Kepada orang yang memegang slogan-slogan tersebut orang dapat mengatakan: “OK. Lalu apa?” Slogan tentang kedaulatan Tuhan, bagaimanapun benarnya, bukanlah solusi karena permasalahan politik adalah permasalahan manusia, dan manusia saja, sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. 24:55), sebagai teolog, ahli hukum, pemerintah dan administrator, yang harus menerjemahkan norma-norma Tuhan ke dalam tataran praktis. “Kedaulatan Tuhan hanya dapat diperoleh melalui umat manusia, dan tidak seorang penguasa pun atau faqih pun dapat mengklaim tidak berbuat salah.” demikian Fathi Osman.[6]  Pada faktanya, tidak ada keputusan politik tanpa ijtihad manusia sebelumnya.
Situasinya sama dengan slogan modern lain yang cukup dominan: Al-Islam din wa daulah (Islam sebagai agama dan kekuasaan). Ini juga, merupakan reaksi bagi realitas Barat: lancarnya sekularisasi ruang publik di bawah doktrin “pemisahan negara dan gereja” seperti dipraktekkan secara lebih murni di Perancis.[7] Namun, pada faktanya, kata “sekular”, ketika diaplikasikan pada kebanyakan demokrasi Barat, merupakan hal yang agak ganjil mengingat mereka masih berdasarkan pada fondasi-fondasi religius atau pseudo-religius. Di sini, lagi-lagi, slogan balik umat Islam membuat statemen yang benar: Negara dan agama harus berada dalam hubungan yang harmonis. Agama tidak boleh menjadi urusan pribadi saja.[8]
Tetapi pada saat yang sama, slogan itu agak samar-samar bahwa, bagi umat Islam juga, agama dan Negara merupakan dua hal yang berbeda. Pada faktanya, kita tidak mengatakan ad-din ad-dunya tetapi mengatakan agama dan negara itu sebagai dua hal. Di dunia Muslim yang real seringkali muncul pemisahan dua wilayah secara sehat: keduanya bekerja sama, tidak saling mendominasi, seperti dalam kasus-kasus lain di dunia, termasuk Inggris, Jerman, Austria, Belgia, Spanyol, dan Russia.[9]
Dengan kata lain: negara Islam, sementara secara konseptual itu teokrasi, tidak perlu, dan tidak bisa, dipimpin oleh seorang imam, secara praktis. Dalam hal ini awam-isme –sebut saja begitu—atau ketiadaan ulama penguasa, adalah betul-betul Islami. Secara tegas Hasan al-Turabi mengatakan: “(Dalam demokrasi Islam) idealnya tidak ada kelas ulama, yang akan mencegah terwujudnya pemerintahan elitis atau teokratis. Apakah sebutannya beragama, teokratis, atau bahkan teokratis sekular, negara Islam bukanlah pemerintahan ulama.”[10]

B. ISLAM DAN DEMOKRASI
Sejarah belakangan menunjukkan bahwa Islam nampak seperti anti-demokrasi. Perilaku keadaban (civility) dari umat Islam nampaknya semakin menjauh, sejalan dengan runtuhnya peradaban-peradaban Islam di Timur Tengah. Yang kemudian menjadi masalah adalah bahwa perilaku uncivilized itu tengah melanda Indonesia. Perilaku orang Islam, di Timur Tengah, sejelek apapun akan dianggap baik dan suci bagi umat Islam di daerah lainnya. Tak terkecuali di negeri kita, Indonesia. Lalu, bagaimana sebetulnya pemikiran orang Islam Timur Tengah terhadap Islam dan Demokrasi? Apakah ada kesesuaian antara keduanya? Mari kita runut pemikiran tentang hal itu di dunia Timur Tengah.
Penjelasan Elie Kedourie (1999) bahwa “gagasan demokrasi masih cukup asing dalam mind-set Islam,” adalah di antara ungkapan yang paling berani. Menurut Kedourie, demokrasi telah dicoba namun gagal karena umat Islam sudah terbiasa dengan “otokrasi dan ketaatan pasif”. Argumen yang sama tentang ketidakcocokan demokrasi dengan Islam secara umum, dan kultur Arab secara khusus, dikemukakan oleh Lewis (1994) dan Ajami (1998). Argumen-argumen itu nampaknya juga didukung oleh banyak penolakan demokrasi di level wacana.
Hal ini merefleksikan bahwa dunia Muslim pertama-tama memasuki demokrasi melalui persinggungan dengan kolonialisme, dan melihatnya digunakan untuk melakukan destruksi atas struktur kekuasaan Muslim tradisional. Dengan demikian, adalah cukup alamiah bahwa umat Islam yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan akan menolak demokrasi sebagai suatu penemuan dari kekuatan kafir, yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah. Dalam prosesnya, umat Islam menjadi korban nominalisme. Mereka percaya bahwa demokrasi itu tidak dapat diterima karena, diterjemahkan dari bahasa Latin, berarti “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Jika demikian, Syaikh Nahnah (dalam Hofmann, 2001) dari Aljazair menyatakan, masalahnya mungkin dapat dipecahkan dengan menamakan kembali demokrasi sebagai “syurokrasi” (demokrasi berdasarkan prinsip syuro) atau yang oleh Maududi disebut sebagai “teo-demokrasi”.
Masalahnya, tentu saja, bukan nama semata-mata tetapi esensi demokrasi: pemerintahan perwakilan untuk mengontrol para pemegang otoritas melalui mekanisme seperti pemisahan kekuasaan; musyawarah; dan pemilihan umum. Tidak ada satupun dari demokrasi ini yang menolak Allah berdaulat dan Syari’ah diberlakukan. Semua ini sesuai (compatible) dengan Islam, demikian Al-Alkin (2002). Kemudian, Fathi Osman (2002) nampaknya benar ketika menuntut bahwa polemik syura-demokrasi harus ditangani secara sekaligus dengan cara substantif, bukan semantik belaka. Yusuf Qardawi (Fiqih Daulah, 1997) secara terang-terangan menyatakan: “orang yang mengatakan bahwa demokrasi itu kufr berarti ia tidak cukup mengerti apa itu Islam dan apa itu demokrasi.” Karena, demikian Qardawi, “Siapa yang memperhatikan substansi demokrasi, tentu akan melihat bahwa justru ia berasal dari Islam.”
Wacana umat Islam dalam masalah-masalah politik secara menakjubkan menguat selama abad ke-20, walaupun, menurut Graham Fuller (1999), “Islam politik masih berada dalam tahapan bayi.” Atau bahkan Islam politik telah gagal, demikian Olivier Roy (1995). Walaupun begitu, wacana politik Islam terus menguat hingga kini. Secara original wacana ini didominasi oleh wacana Sayyid Qutb (1906-1966) yang dengan bukunya yang cukup terkenal, Ma’alim fi al-Thariq (1964) melakukan penyadaran politik bagi gerakan Islam. Dan ini berimbas pada gerakan Ikhwanul Muslimin, yang di Indonesia pun ada penganutnya.
Apa yang menarik bagi kita bukanlah doktrin Sayyid Qutb bahwa Islam bersifat revolusioner. Bagi Qutb, Islam memang “revolusi melawan pendewaan manusia, melawan ketidakadilan, melawan prasangka politik, ekonomi, ras dan agama,” tetapi itu disebabkan karena –pada pandangannyabahwa semua negara yang ada itu tidak Islami (jahiliyah) dan tidak sah. Secara radikal ia menyatakan bahwa “Tujuan kami adalah melakukan revolusi dalam sistem praktik masyarakat. Tatanan jahiliyah harus disingkirkan sehingga ke akar-akarnya.” Qutb tidak percaya pada kemungkinan demokrasi Islam dan tidak setuju pada adanya pencarian persamaan antara Islam dan sistem politik yang ada. Ia menolak sistem-sistem Barat maupun Timur. Hanya Islamlah “yang dapat melakukan lompatan besar dari kurungan peradaban Barat yang dekaden.[11]
Namun, seorang pemikir membuat semuanya berbeda dalam mengubah paradigma politik Muslim. Muhammad Asad mencapai hal ini dengan buku kecil tetapi penting, The Principles of State and Government in Islam (1961), semata-mata berdasarkan norma-norma Qur’an dan 70 buah Hadits. Buku ini hadir sebelum buku Sayyid Qutb Ma’alim fi al-Thariq yang terbit pada tahun 1964. Walhasil, untuk zaman modern, Asad telah ikut menancapkan tonggak Islamisasi lembaga kenegaraan (statecraft) dan Islamisasi pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu politik.
Jika dilihat, ada dua poin yang membuat Asad lebih revolusioner daripada semua tulisan Qutb. Yang pertama bahwa Asad telah membuat ummat menyadari bahwa titel khalifah telah secara salah ditujukan pada para penguasa Muslim yang menurut Qur’an seharusnya bergelar Amir. Menurut al-Qur’an semua warga Muslim dari negara Islam adalah para khalifah yang sebenarnya. Setiap orang adalah khalifah Tuhan di muka bumi (QS. 2:30; 6:165; 24:55; 27:62; 73:72; dan 35:39). Dan Asad berada pada pendirian bahwa musyawarah (Syura) itu sebisa mungkin harus merupakan persetujuan rakyat (konsensus).

C. METODE PEMIKIRAN POLITIK
Poin revolusioner kedua dari pemikiran politik Islam adalah bersifat metodologis. Hal itu dapat dilihat pada pemikiran Asad. Asad sadar bahwa negara Islam modern tidak dapat dibangun oleh fiqh abad pertengahan yang sudah “usang” yang, berdasarkan interpretasi subjektif dan logika deduktif, telah menjadi yang disucikan (sacrosant). Dengan mengikuti Ibn Hazm, Asad mengajukan bahwa kehidupan umat Islam harus berdasarkan hanya kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang lebih bersifat abadi yang sifatnya normatif dan jelas atau disebut dengan al-nushush.
Pengertian Asad tentang bolehnya kita ber-ijtihad kepada apa-apa yang tidak dijelaskan secara khusus dalam Qur’an dan Sunnah, menurut Hamid Enayat (1982), bisa membuat munculnya interpretasi yang berani tentang Islam. Dengan demikian, dapatlah disebutkan bahwa Asad sangat penting dalam mendorong demokrasi Islam. Upaya seperti ini dapat diteruskan guna menangkap tantangan zaman, dan kemudian menggali jawabannya, seperti Asad, pada teks genuine Islam: al-Qur’an dan al-Sunnah.
Upaya inilah yang menurut Grunebaum (1961), sebagai upaya penghampiran (rapprochement) Islam pada tradisi politik Barat mutakhir, dengan menggambarkan kekayaan wahyu Islam dihadapkan pada warisan sejarah Barat. Begitulah Asad, walaupun dengan keterbatasan teks, dia dapat memutuskan bentuk yang jelas dari Negara Islam. Kekukuhannya dalam penggabungan metode tekstual dan rasional di zaman modern ini dapat memperteguh suatu varian hibrida antara Islam dan modernisme. Asad, dengan demikian, dapat digolongkan sebagai seorang modernis atau reformis yang memberikan suatu sikap yang jelas dalam menghadapi gap antara teks dan konteks.
Sikap seperti Asad ini nampaknya telah banyak diterima di dunia Muslim. Sayyid Qutb saja dalam bukunya yang lain, yaitu Salam Alami wa al-Islam (Perdamaian Dunia dan Islam). Demikian pula dalam persyaratan konstitusi dalam kehidupan politik yang disebutkan Rawls, Qutb menyatakan bahwa Islam mengakui parlemen, pemilu, kebebasan berpolitik, dan oposisi.[12] Walaupun memang, lagi-lagi harus ditekankan bahwa semua itu harus berada di bawah bimbingan wahyu dan Sunnah.[13] Sebagai penerus Qutb, Ikhwanul Muslimin kini berkeyakinan akan perlunya konstitusi tertulis yang menjamin hak-hak asasi manusia, pemilihan umum yang bebas dan adil, keterbatasan waktu bagi presiden, dan rotasi kekuasaan melalui “pluralitas partai dalam masyarakat Muslim.”[14] Ikhwanul Muslimin Mesir mengajukan secara to the point bahwa pada tahun 1994 mereka secara resmi menerima hak perempuan Muslim untuk memilih, dipilih, menempati posisi pemerintahan, dan melakukan kerja-kerja publik pada umumnya.[15]
Jelaslah bahwa Muhammad Asad tidak sendirian dalam menggiring opini kepada demokrasi Islam. Ada beberapa pemikir yang mempunyai pemikiran sama seperti Fathi Osman (Los Angeles), Hassan al-Turabi (Khartoum), dan Rashid al-Ghannouchi (London) yang dengan tegas menyerukan Islam yang pluralistik dan demokratis dan persamaan politik bagi perempuan.[16]
Hassan al-Turabi,[17] juru bicara parlemen Sudan, sementara dianggap oleh administrasi Amerika sebagai seorang teroris, merupakan salah seorang yang lebih liberal, jelas-jelas merupakan pemikir Islam kontemporer. Nampaknya, tidak ada yang lebih gigih melakukan re-validasi perempuan Muslim dengan basis Qur’an dan Sunnah dibandingkan dengannya, dengan bukunya, Women, Islam and Muslim Society, yang muncul pertama kalinya secara semi-anonim pada tahun 1973. Dia berkesimpulan bahwa “sebuah revolusi melawan kondisi perempuan pada masyarakat Muslim tradisional itu tidak bisa dihindari.”[18]
Syaikh Gannouchi, pemimpin Gerakan Kecenderungan Islam (kemudian berkembang menjadi Partai Nahda pada 1989)[19] yang dihukum mati di negaranya Tunisia, pernah mengatakan pada tahun 1999: Banyak kaum Islamis mengasosiasikan demokrasi dengan intervensi luar negeri dan kekafiran. Tetapi demokrasi adalah sebuah perangkat mekanisme untuk menjamin kebebasan berpikir dan berkumpul dan kompetisi damai untuk otoritas pemerintahan melalui kotak suara… Kita tidak punya pengalaman modern dalam Islam yang dapat mengganti demokrasi. Islamisasi demokrasi merupakan hal yang paling dekat untuk mengimplementasikan syura. Mereka yang menolak pemikiran ini tidak memproduk sesuatu yang lain selain sistem kekuasaan satu-partai… Saya tidak melihat pilihan lain di hadapan kita selain harus mengadaptasi cita-cita demokrasi. Mungkin akan lebih berbahaya jika kita mengabaikan demokrasi… Mereka yang harus bisa mendapatkan demokrasi adalah umat Islam.[20]
Fathi Osman,[21] sarjana yang dikenal berasal dari Mesir, melihat demokrasi berdasarkan pada fitrah manusia dan sumber-sumber tertulis Islam, menganggap masyarakat plural sebagai anugerah Tuhan (QS. 5:48; 11:118). Baginya, “demokrasi penuh adalah satu-satunya sistem yang dapat menyelamatkan hak-hak asasi manusia untuk setiap individu dan kelompok dalam negara kontemporer…” Tidak ada kerangka yang lebih baik untuk menyelamatkan hak-hak persamaan dan tanggung jawab bagi semua. Maka, “tidak ada alternatif yang lebih baik untuk demokrasi.” Mekanismenya menyediakan cara-cara praktis untuk mengimplementasikan syura. Maka jadilah parlemen Muslim itu sebagai ahl al-hal wa al-‘aqd. Parlemen dalam membuat hukum harus menghormati supremasi absolut untuk norma-norma permanen dan prinsip-prinsip Syari’ah; tetapi “selama terdapat ruang untuk ijtihad, maka disana ada ruang untuk pembuatan hukum (legislasi).”[22]
Osman sadar bahwa demokrasi memang tidak akan mengimplikasikan dua ekstrem dalam spektrum politik –teokrasi atau sekularisme. Dia juga menyadari bahwa mayoritas itu tidak selalu benar. “Tetapi, kemungkinan salahnya mayoritas tidak dapat … digunakan sebagai alat untuk melegitimasi otokrasi dan otoritarianisme.”[23]
Osman juga menunjukkan bahwa menurut QS. 9:71 baik perempuan maupun laki-laki mempunyai tanggungjawab yang sama atas amar ma’ruf nahyi munkar. Dengan demikian perempuan Muslim harus juga menempati posisi parlemen, kementerian pemerintah, hakim, militer, dan kepolisian.[24]

D. KESIMPULAN
Demikianlah beberapa pemikiran Muslim modern tentang konsepsi demokrasi dalam pandangan etika Islam. Pemikiran mereka itu merupakan tawaran untuk masalah-masalah kita yang terus bergulir menunggu proses-proses ijtihadi, seperti demokrasi ini. Ada beberapa poin yang dapat dicatat di sini, terutama yang ada hubungannya dengan kondisi Indonesia:
1.      Interpretasi terhadap ayat “dan bermusyawarah lah bersama mereka” itu bersifat mengikat baik kepada penguasa maupun rakyatnya. Penyimpangan dari interpretasi tersebut akan berakibat pada tidak sahnya suatu pemerintahan. Hal itu pun akan berakibat pada munculnya pertentangan antara penguasa dan rakyatnya.
2.      Syura lah yang membuat sebuah pemerintahan menjadi sah secara hukum. Dan legitimasi itu akan tetap berjalan pada aplikasi syari’ah di negara Islam. Dengan demikian, aplikasi syari’ah itu menjadi standard akuntabilitas publik.
3.      Syari’ah memang ilham politik Islam yang a-historis. Nampaknya akan selalu ada orang dari kalangan Islam yang merindukan akan diberlakukannya Hukum Islam di mana dia hidup. Adanya orang seperti ini adalah konsekuensi logis dari adanya ayat-ayat yang menyatakan bahwa “Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang melakukan perbuatan zalim.” (QS. 5:47). Ayat ini begitu jelas, sehingga pemikir modernis rasional seperti Asad pun tidak bisa lari dari kenyataan literalnya. Bagi umat Islam yang membaca ayat-ayat seperti ini akan segera berkesimpulan pada: perlunya advokasi hukum Islam di dunia ini, sekurang-kurangnya di wilayah mereka tinggal.
4.      Namun, pada akhirnya pula pihak-pihak yang hendak menerapkan syari’ah ini selalu mendapatkan kendala-kendala teknis. Kendala-kendala ini timbul, manakala kekayaan historis umat Islam yang sudah redup dihadapkan pada kekayaan historis Barat yang sedang gilang gemilang. Dengan ditutupnya pintu ijtihad di kalangan umat Islam, sejak abad pertengahan, mereka sudah susah lagi mengejar ketertinggalan dari Barat. Sehingga, peradaban berikut segala urusan teknisnya berada di bawah pengaruh Barat. Yang ada, adalah adaptasi dengan bersikap kritis terhadap Barat.
5.      Upaya adaptif-kritis ini merupakan jalan keluar yang nampaknya paling memuaskan: menjadi modern sekaligus memperjuangkan tegaknya Islam. Inilah yang diperjuangkan kaum modernis. Walaupun begitu, dua langkah sekaligus adalah suatu upaya yang cukup merepotkan. Tidak heran, jika selalu ada umat Islam yang lebih memilih Westernisasi secara penuh.
6.      Jalan yang lain adalah dengan dipeliharanya institusi ulama dengan produk-produk mereka yang sudah sangat marginal di dunia modern, juga jelas tidak dapat dipertahankan, jika memang Islam hendak ditegakkan sebagai way of life dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
7.      Yang terakhir, jalan –yang disebut Barat sebagai—fundamentalis, sebuah jalan yang ditempuh untuk kembali pada Islam masa awal, adalah jalan yang hanya akan berujung pada kesimpulan bahwa umat Islam itu harus berkuasa dan harus melawan semua musuh-musuhnya. Sebuah jalan yang ekstrem, yang selalu relevan bagi idealisme dan selalu ambivalen dalam aplikasi.
8.      Keempat golongan itu selalu ada tampaknya di setiap negeri-negeri Muslim. Hanya mungkin persentase penganut dan kadar aktivitasnya saja yang berbeda-beda. Pergolakan pemikiran itu barangkali akan terus berlangsung hingga akhir zaman. Tokoh-tokoh dari keempat golongan itu akan terus timbul mewarnai sejarah umat Islam. Dan realitas politik Islam akan terus dibayangi oleh nihilisme, romantisme, tradisionalisme dan pembaharuan. Sebuah pergolakan yang tak kunjung selesai.


BIBLIOGRAPHY
Al-Maududi, Abu ‘Ala, “Teori Politik Islam” dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984.
Arkoun, Mohammed, “The Concept of Authority in Islamic Thought: Laa hukma illa li-llah” dalam Klaus Ferdinand dan Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society, Copenhagen: Scandinavian Institute of Asian Studies, 1988.
Arkoun, Mohammed, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Asad, Muhammad, The Principles of State and Government in Islam, (1961), Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000.
Hofmann, Murad Wilfred, “Governing under Islam and the Islamic Political System”, The American Journal of Islamic Social Sciences, 18:3, 2001.
Masmoudi, Radwan A., “Islam dan Demokrasi: Antara Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan,” dalam (ed.), Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Jakarta: Paramadina, 2002.
Moussalli, Ahmad S. “Hasan Al-Banna’s Islamist Discourse on Constitutional Rule and Islamic State”, Journal of Islamic Studies, 4:2, 1993.
Osman, M. Fathi, “Kedaulatan Tuhan atau Kedaulatan Rakyat?” dalam Mun’im A. Sirry (ed.), Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Jakarta: Paramadina, 2002.
Rahman, M. Taufiq. “Islam dan Demokrasi dalam Wacana Kontemporer,” RISALAH, No. 11 Tahun 51, Februari 2014
Roy, Olivier, Gagalnya Islam Politik, terj. Harimurti & Qamaruddin SF., Jakarta: Serambi, t.t.




[1] Makalah disampaikan pada Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri (FKKLN), Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia di Museum Konferensi Asia Afrika, Jl. Asia Afrika No. 65 Braga, Bandung, Jawa Barat pada tanggal 20 Agustus 2016.
[2] Ketua Jurusan Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
[3] Ahmad S. Moussalli, “Hasan Al-Banna’s Islamist Discourse on Constitutional Rule and Islamic State”, Journal of Islamic Studies, 4:2, 1993, h. 164.
[4] Mohammed Arkoun, “The Concept of Authority in Islamic Thought: Laa hukma illa li-llah” dalam Klaus Ferdinand dan Mehdi Mozaffari (eds.), Islam: State and Society, Copenhagen: Scandinavian Institute of Asian Studies, 1988, h. 53.
[5] Abu ‘Ala al-Maududi, “Teori Politik Islam” dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah, terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali, 1984, h. 467.
[6] M. Fathi Osman, “Kedaulatan Tuhan atau Kedaulatan Rakyat?” dalam Mun’im A. Sirry (ed.), Islam Liberalisme Demokrasi: Membangun Sinerji Warisan Sejarah, Doktrin, dan Konteks Global, Jakarta: Paramadina, 2002, h. 27.
[7] Arkoun merasa perlu untuk menekankan tentang perbedaan antara konsep Perancis tentang laicite dan penggunaan Inggris-Jerman terhadap “sekularisme”; konsekuensi-konsekuensi kultural, yudisial, dan intelektual dari perubahan paradigma itu lebih radikal daripada yang ada dalam konteks Eropa yang lain. Ia menyatakan bahwa “seseorang mungkin mengatakan bahwa Tuhan lebih mati dalam wilayah publik yang dikontrol oleh Republik Perancis dan kaum elite laicist daripada di tangan rezim-rezim demokratis yang lain di seluruh Eropa. Ini tidak berarti bahwa budaya Perancis secara total kosong dari perhatian religius. Adalah menarik untuk mengikuti evolusi sekarang dari ketidakcocokan-ketidakcocokan ini dalam wilayah politik Eropa yang sedang berubah.” Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, h. 96.
[8] Radwan A. Masmoudi, “Islam dan Demokrasi: Antara Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan,” dalam Mun’im A. Sirry, ibid., 17-19.
[9] Murad Wilfred Hofmann, “Governing under Islam and the Islamic Political System”, The American Journal of Islamic Social Sciences, 18:3, 2001, h. 6.
[10] Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, terj. Harimurti & Qamaruddin SF., Jakarta: Serambi, t.t., h. 44 mengutip dari Esposito, Voices of Resurgent Islam, h. 244.
[11] Seperti dikutip M. Taufiq Rahman, “Islam dan Demokrasi dalam Wacana Kontemporer,” RISALAH, No. 11 Tahun 51, Februari 2014, h. 73.
[12] Qutb, Sayyid, al-Salam al-‘Alami wa al-Islam, Kairo: Dar al-Shuruq, 1980, h. 123.
[13] Ibid., 123.
[14] Statemen Ikhwanul Muslimin dalam “Shura in Islam and the Multi-Party System in an Islamic Society”, Encounters, Vol. 1, No. 2, Markfield, LE (UK), h. 100-103. seperti dikutip Hofmann, op. cit., h. 9.
[15] Ibid.
[16] Ibid., h. 10.
[17] Hassan al-Turabi, seorang ahli hukum didikan Perancis, direktur dari Ikhwan al-Muslimin Sudan, dan kepala Front Islam Nasional di Sudan, adalah ipar Sadiq al-Mahdi (pemimpin partai Umma, Presiden Sudan dari 1985 sampai Juli 1989, keturunan al-Mahdi, yang memimpin perjuangan melawan Inggris pada abad ke-19 dan mendirikan persaudaraan Ansar). Al-Turabi diangkat sebagai jaksa agung pada 1983 oleh Presiden Numeiry sewaktu peralihan pemerintah ke arah kebijakan Islamis. Dipenjarakan pada 1985, ia kembali menjadi sosok dominan dalam kehidupan politik Sudan sesudah kejatuhan Numeiry pada April 1985. Olivier Roy, op. cit., h. 153.
[18] Hoffmann, loc. cit.
[19] Olivier Roy, op. cit., h. 138.
[20] Rashid al-Ghannouchi, “Islamic Movements: Self-criticism and Reconsideration”, Palestine Times No. 94, April 1999, direproduksi oleh MSANEWS dalam INTERNET pada tanggal 14 April 1999, dikutip dari hal. 43. seperti dikutip Hofmann, ibid.
[21] M. Fathi Osman adalah sarjana Muslim terkemuka. Pernah mengajar di beberapa universitas di seluruh dunia, termasuk Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia juga pernah menjabat sebagai guru besar tamud International Islamic University, Malaysia. Selain kontribusinya terhadap pemikiran Islam modern dalam Bahasa Arab, Osman pernah juga bekerja sebagai pemimpin redaksi jurnal internasional Arabia: The Islamic World Review dari 1981-1987. Ia giat terlibat dalam dialog antar-agama. Saat ini beliau adalah seorang sarjana tetap di Pusat Islam California Selatan. Mun’im A. Sirry (ed)., op. cit., h. 416.
[22] Osman, op. cit., h. 27-28.
[23] Ibid.
[24] Ibid.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020