KONFLIK SOSIAL DALAM PEMIKIRAN ALI SHARIATI

M. Taufiq Rahman[2]

Dalam Iran modern, Shariati[3] dikenal sebagai orang yang membawa generasi muda kepada Islam.[4] Setelah Khomeini, Shariati adalah tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan Islam yang membawakan revolusi pada tahun 1979.[5] Dia bahkan disebut sebagai ideolog pertamanya.[6]

            Shariati merupakan pemikir Muslim modern. Dia mengutarakan keyakinannya tentang Islam dalam terma-terma modern untuk audiens modern. Dan ia mempunyai pujaannya tersendiri. Kaum modernis Muslim yang diidolakan oleh Shariati adalah Jamal al-Din al-Afghani (w. 1897), ideolog anti imperialisme Barat yang berpengaruh; Muhammad Abduh (w. 1905), kekuatan di balik gerakan pembaruan agama Mesir pada awal abad ke-20;[7] dan Muhammad Iqbal (d. 1938), pembaru besar atas Muslim India yang berpihak untuk aktivisme dan realisasi-diri yang kreatif.[8]
            Ada beberapa karakteristik dalam metode berpikir Shariati:
1. Humanisme Islam. Islam harus berbicara tentang makhluk Tuhan agar mengembangkan peradaban.[9]
2. Sudut pandang yang bersifat sosial, historis dan kelas sosial.[10]
3. Dialectis.[11] Pemikiran sosial Shariati dan teorinya adalah dialektis.[12] Misalnya, ia menyifatkan perjuangan kelas sebagai takdir dan sejarah manusia, yang dapat disimbolisasikan dalam Qabil dan Habil. Qabil merepresentasikan kaum petani dan seluruh kelas yang mengeksploitasi secara umum, dan Habil berpihak pada “komunisme primitif” dari kaum penggembala dan seluruh kelas yang tereksploitasi secara umum.[13] Namun, pada akhirnya, Habil akan menang. Ini dijelaskan oleh konsep intizar (menunggu sang penyelamat), sebagai sintesis.[14]
4. Teologi Islam radikal baru. Shariati cenderung untuk menafsirkan Islam dalam gaya liberal-radikal.[15]
5. Hikmah. Shariati percaya bahwa pemikiran sejati itu tidak hanya berdasarkan pengetahuan, tetapi secara lebih penting berdasarkan kesadaran.[16] Dan orang yang tersadar itu disebut dengan Raushanfikr (pembawa obor, penjelajah).[17]
            Sebelum mengajukan pemikirannya tentang tatanan sosial, Shariati pertama-tama harus melakukan penolakan. Hal-hal yang ditolaknya antara lain:
1. Politeisme. Shariati menolak segala jenis politeisme apakah itu bergaya lama ataupun baru; dalam bentuk pemikiran, perasaan, tindakan, atau budaya.[18]
2. Eropa dengan perilaku destruktifnya.[19] Shariati menyatakan bahwa Eropa itu mempunyai struktur dengan sistem Qabilian: raja, kaum hartawan, dan kaum pendeta[20] saling mendukung satu sama lain untuk menguasai dunia.[21]
3. Demokrasi-Buta. Shariati mengatakan bahwa demokrasi itu baik untuk masyarakat yang harus diatur, tetapi ia benar-benar akan tidak berfungsi bagi masyarakat yang harus diperbarui dan dirubah.[22] Ia juga menjelaskan bahwa bahkan dalam negara-negara industrial, demokrasi itu tidak sejalan dengan cita-citanya, tetapi menjadi mainan kaum kapitalis.[23] Dalam sejarah Islam, prinsip-prinsip bay‘ah (sumpah kepada publik) dan syura (pemilihan umum yang bebas), tidak bekerja secara tepat karena sistem keturunan telah memaksakan kuasanya, sehingga bay‘ah hanya bermakna “dukungan dan penyerahan”.[24] Disinilah, kemudian, ia mengajukan ‘demokrasi berhubungan’ (engagé democracy), yang dipimpin oleh kelompok yang berkualitas dari rakyat progresif-revolusioner yang tujuannya adalah untuk merealisasikan ideologi.[25]
4. Ulama-diam. Menurut Shariati, kebanyakan ulama di Iran pada zamannya merupakan perwakilan dari Syi’ah Syafawiyah, yang dicirikan dengan kerjasama-diam mereka atas rezim Shah yang lalim.[26]
            Setelah menegasikan kehidupan sosial yang ada, Shariati, mengafirmasi kehidupan social yang dicita-citakan Islam, yang dapat dicirikan sebagai berikut:
1. Tawhid sebagai pandangan-dunia.[27]
2. Islam sebagai ideologi[28] menjawab seluruh masalah.[29] Demikian itu karena Islam itu tidak hanya semata-mata agama; ia juga merupakan misi, yaitu membangun ummah (komunitas Islam).[30]
3. Islam sebagai mazhab pertengahan. Untuk membandingkan dengan Barat, Islam adalah mazhab pertengahan antara komunisme dan kapitalisme. Islam menggabungkan kebaikan dari dua mazhab tersebut tetapi tidak kekurangan dari keduanya.[31]
4. Pemimpin ideal adalah Imam (pemimpin religius). Selain seorang nabi, Muhammad (SAW) adalah seorang Imam.[32] Untuk itu, bagi masyarakat Islam pemimpin ideal adalah Imam, yang kualitas dalamannya berbeda dari massa rakyat, dan seseorang yang memimpin mereka tidak hanya untuk “memaksimalkan kebahagiaan mereka” tetapi lebih pada pembaruan dan memajukan pikiran. Adalah tugas Imam untuk membimbing rakyat dari “apa mereka” kepada “apa seharusnya mereka”.[33] Tetapi Shariati menyatakan bahwa Imamah itu harus memakai sistem meritokrasi.[34]
5. Sejarah diakhiri dalam masyarkat yang harmonis. Menurut Shariati, Shi‘ah mempersepsi bahwa gerakan sejarah itu akan mengarah pada masyarakat damai yang bebas konflik.[35] Karena kaum Syi’ah mempunyai konsep intizar (menunggu sang penyelamat, messiah). Tetapi konsep penantian ini harus bersifat positif, berorientasi aksi, dan sukarela. Ia jangan bersifat pasif, malas, dan fatalistik.[36]
6. Independensi. Untuk menjadi masyarakat yang ideal, umat Islam harus bersifat independen baik secara material maupun spiritual.[37]
7. Ummah sebagai masyarakat ideal. Umat Islam, yang dipimpin oleh Imam, harus mengaplikasikan rencana Tuhan di atas bumi.[38]
8. Madinah sebagai model. Madinah selama era Nabi adalah kota ideal, karena di situlah persamaan dideklarasikan untuk semua dan keadilan sosial ditegakkan[39] dipimpin oleh “Nabi kebebasan, Nabi keadilan dan Nabi rakyat.”[40]
            Sekarang, mari kita lihat pemikiran Shariati tentang teori keadilan. Menurut Shariati, ketidakadilan itu berasal dari pandangan-dunia yang materialistic dan anti-agama.[41] Ketidakadilan secara terus-menerus menyebar sebagai penyakit di dunia, yang obat satu-satunya adalah keadilan.[42]
Shariati menyatakan bahwa keadilan adalah slogan Islam yang pertama.[43] Dan, dalam Islam, keadilan itu berdasarkan pada tauhid (monoteisme). Di sini, tauhid berarti pernyataan persamaan (equality).[44] Ia juga bermakna bahwa tidak ada konflik dalam masyarakat.[45]
Hubungan antara keadilan dan ketidakadilan dalam sejarah manusia, menurut Shariati, dapat disimpulkan dari simbolisasi Qabil dan Habil.[46] Ketidakadilan itu direpresentasikan oleh keturunan Qabil. Pada mulanya, penguasa itu direpresentasikan oleh seorang individu yang kuat. Belakangan, dalam perkembangannya, ia dapat menjadi koalisi antara tiga bagian, atau dapat disebut sebagai “politeisme sosial”[47] melakukan tatanan sosial yang eksploitatif, yaitu, mala’ (serakah dan brutal), mutraf (hedonis dan bermewah-mewahan), dan rahib (kependetaan resmi, demagog berjanggut panjang).[48]
Keadilan, sementara itu, direpresentasikan oleh keturunan Habil.[49] Yaitu, kelas rakyat (al-nas), yang dipertentangkan dengan kelas penguasa (raja-pemilik-aristokrasi) di atas. Dalam makna sosial, kelas rakyat ini merupakan perwakilan Tuhan: kuasa milik Tuhan berarti bahwa kekuasaan itu milik rakyat; harta milik Tuhan berarti harta itu milik rakyat secara keseluruhan;[50] keadilan milik Tuhan, berarti keadilan itu milik rakyat.[51] Keadilan ini dibimbing oleh nabi-nabi yang mensimbolisasikan penggembala.[52]
Di sini, kemudian, simbolisasi Shariati tentang keadilan sosial antara keturunan Qabil dan Habil menjadi sempurna. Anak-anak Qabil adalah ‘serigala’, ‘rubah’ dan ‘tikus’ yang selalu menjadikan anak-anak Habil (rakyat) sebagai ‘domba’[53] dengan cara-cara eksploitasi, cuci-otak, dan despotisme. Adalah untuk membela rakyat “seorang penggembala atau yang tidak bias baca dari tengah padang pasir tiba-tiba muncul dan meninggalkan gembalanya untuk menjadi pemimpin dan membebaskan korban-korban kekuasaan Qabil.”[54]
Setelah Nabi meninggal, keadilan itu ditegakkan oleh para sahabat,[55] yang terutamanya dapat dilihat dalam kepribadian Abu Dzar, sebagai Muslim sosialis yang menegakkan nilai-nilai persamaan (egalitarian).[56] Dengan demikian, perjuangan harus diteruskan oleh massa atau rakyat (al-nas).[57] Karena, dalam Islam, adalah massa yang merupakan faktor yang menentukan dalam sejarah dan masyarakat.[58] Di sini, setiap orang harus terlibat dalam keadilan.[59]
Dengan teori keadilannya, kita dapat mendeskripsikan hal-hal yang menjadi keadilan sosial dalam pandangan Shariati:
1. Keadilan sosial adalah adalah kesetaraan (qist), yaitu, persamaan hak berdasarkan moralitas yang untuk memperjuangkannya memerlukan perubahan fundamental atas struktur masyarakat.[60]
2. Ketimpangan adalah ciptaan Qabil. Adalah Qabil dan keturunannya yang membuat manusia menjadi kelas-kelas yang berbeda.[61]
3. Sistem sosial Islam adalah masyarakat tanpa kelas (classless society).[62]
4. Umat Islam sebagai keturunan Habil yang miskin dan ditindas oleh sistem Qabilian, walaupun mereka memegang kebenaran dan keadilan,[63] harus dipersiapkan untuk revolusi keadilan global.[64]
5. Distribusi berdasarkan hak. Misalnya, prinsip “memberikan orang miskin apa yang menjadi hak mereka” menyatakan bahwa setiap orang harus memberi kepada orang miskin apa yang menjadi hak mereka.[65]
6. Kesempatan adalah hak setiap orang. Terdapat hal-hal untuk dicatat dalam hal kesempatan ini:
a. Kesempatan harus dicari dengan kesadaran, karena kesadaran merupakan “kuasa yang akan mempekerjakan pengetahuan, memberikan arahan dan berakhir dalam moralitas atau immoralitas, damai atau perang, dan adil atau tidak adil.”[66]
b. Kesempatan harus ditemukan oleh setiap orang, melalui pembelajaran[67] ataupun otodidak.[68]
c. Kesempatan harus ditemukan bersama.[69]
d. Kesempatan harus diperjuangkan tidak untuk ditunggu secara pasif (Intizar-i manfi),[70] tetapi harus dilakukan dengan jihad.[71] Dan tugas itu harus dimulai oleh orang yang tercerahkan (the enlightened).[72] Walaupun, selalu terdapat ancaman bagi mereka dari penguasa.[73]
7. Selain dipecahkan oleh prinsip persamaan, seluruh perbedaan harus dipecahkan juga oleh prinsip persaudaraan (brotherhood).[74] Namun demikian, Shariati memberi catatan, bahwa makna persaudaraan itu berdasarkan ideologi, karena inilah yang diajarkan oleh Nabi.[75]
8. Tujuan akhir adalah damai. Untuk itu, setelah menghancurkan “seluruh berhala di dunia”, umat Islam harus “menemukan tiga kekuasaan pemilikan, kedaulatan dan ketuhanan hanya dalam Tuhan Yang Maha Agung sendiri”,[76] sehingga mereka dapat “membangun tanah yang aman, hidup dalam masyarakat yang aman, dan mendirikan rumah sebagai symbol keamanan, perdamaian, kebebasan, persamaan, dan cinta kemanusiaan.”[77]

Bibliography


Aidit bin Hj. Ghazali, Islam and Justice, Kuala Lumpur: Institute of Islamic Undderstanding Malaysia, 1993.
Akhavi, Shahrough, Religion and Politics in Contemporary Iran: Cleargy-State Relations in the Pahlavi Period, Albany, New York: 1980.
Bayat-Philipp, Mangol, “Shi‘ism in Contemporary Iranian Politics: The Case of Ali Shari‘ati” dalam Kedourie, Elie and Haim, Sylvia G. (eds.), Towards A Modern Iran: Studies in Thought, Politics and Society, London: Frank Cass & Co. Ltd., 1980.
Bellah, Robert N., Beyond Belief: essays on Religion in a Post-Traditionalist World, Berkeley: University of California Press, (1970), 1991.
Benson, Steven R., “Islam and Social Change in the Writings of ‘Ali Shari‘ati: His Hajj as a Mystical Handbook for Revolutionaries,” in The Muslim World, LXXXI, 1991.
Chehabi, H. E., Iranian Politics and Religious Modernism: The Liberation Movement of Iran Under the Shah and Khomeini, London: I.B. Tauris & Co. Ltd., 1990.
Douzinas, Coustas and Warrington, Ronnie, with McVeigh, Shaun, Postmodern Jurisprudence: The Law of Text in the Texts of Law, London: Routledge, 1991.
Esposito, John L. and Voll, John O., Islam and Democracy, New York: Oxford University Press, 1996.
Fakhry, Madjid, Ethical Theories in Islam, Leiden: E. J. Brill, 1994.
Halle, Louis J., The Ideological Imagination, London: Chatto & Windus, 1972.
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I: The Classical Age of Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1974.
Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. III: The Gunpowder Empires and Modern Times, Chicago: The University of Chicago Press, 1974.
Khadduri, Majid, The Islamic Conception of Justice, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1984.
Lee, Robert D., Overcoming Tradition and Modernity: the Search for Islamic Authenticity [Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun], translated by: Ahmad Baiquni, edited by: Rofik Suhud dan Idi Subandy Ibrahim, Bandung: Mizan, 2000.
Moten, Abdul Rashid, Political Science: An Islamic Perspective, London: St. Martin’s Press, 1996.
Qutb, Sayyid, Al-‘Adālah al-Ijtimā‘iyyah fī al-Islām, 7th edition, Cairo: Dār al-Shurūq, 1980.
Rahman, Mohammad Taufiq. Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John Rawl's and Sayyid Qutb's Theories of Social Justice. Diss. Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, 2010.
Shariati, Ali, “A Discussion of Shahid,” “Shahadat,” “After Shahadat,” and “Thar,” in Gary Legenhausen and Mehdi Abedi (eds.), Jihad and Shahadat: Struggle and Martyrdom in Islam, Houston, Texas: IRIS (The Institute for Research and Islamic Studies), 1986.
Shariati, Ali, Man and Islam, tr. by Dr. Fatollah Marjani, Houston, Texas: Free Islamic Lit., Inc., 1981.
Shariati, Ali, On the Sociology of Islam, tr. by Hamid Algar, Berkeley: Mizan Press, 1979.
Shariati, Ali, The Hajj, tr. by Ali A. Behzadnia and Najla Denny, (1977), Petaling Jaya, Malaysia: Islamic Book Trust, 2003.
Vatikiotis, P. J., “Islamic Resurgence: A Critical View”, in Alexander S. Cudsi and Ali E. Hillal Dessouki, Islam and Power, London: Croom Helm, 1981.
Yusuf Ali, Abdullah, The Holy Qur-an: English translation of the meanings and Commentary, Al-Madinah Al-Munawarah: King Fahd Holy Qur-an Printing Complex, 1410 H.




[1] Makalah didiskusikan di Forum Diskusi Madrasah Malem Reboan (MMR) UIN SGD Bandung, Bandung, 16 Oktober 2018.
[2] Dosen Filsafat Sosial Jurusan Sosiologi FISIP UIN SGD Bandung.
[3] Ali Shariati (1933-1977) dilahirkan di Mashad, Iran, dari keluarga da’i modern. Ia belajar di Mashad dan Paris, di mana ia mendapat gelar B.A., M.A., dan doktor dengan bidang-bidang Sastra Persia, Sosiologi, dan Sejarah Agama-agama. Ia juga pendiri Gerakan Pembebasan Iran di luar negeri dan tokoh utama Institut Husayniyah Irshad di Teheran. Ia dipenjarakan oleh rezim Shah pada tahun 1970an dan, kemudian, ia pergi ke London di mana ia meninggal secara misterius dengan persepsi bahwa itu merupakan kerjaan dari polisi rahasia Shah (SAVAK). Di antara tulisan-tulisannya yang diterjemahkan dan dipelajari di dunia Islam adalah What Is To Be Done?, On the Sociology of Islam, Man and Islam, Marxism and Other Western Fallacies, The History of Religions, Existentialism, dan Martyrdom. Shahrough Akhavi, Religion and Politics in Contemporary Iran: Clergy-State Relations in the Pahlavi Period, Albany, New York: 1980, h. 144-7.
[4] Bazargan dan Ayatullah Mutahhari menjelaskan hal ini dalam surat mereka yang dibacakan setelah meninggalnya Shariati. Chehabi, H. E., Iranian Politics and Religious Modernism: The Liberation Movement of Iran Under the Shah and Khomeini, London: I.B. Tauris & Co. Ltd., 1990, h. 70.
[5] Ibid., 187.
[6] Ayubi, Nazih, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London: Routledge, 1991, h. 147 mengutip Abrahamian, 1988, 289-97.
[7] Rahman, Mohammad Taufiq. Social Justice in Western and Islamic Thought: A Comparative Study of John Rawl's and Sayyid Qutb's Theories of Social Justice. Diss. Jabatan Akidah dan Pemikiran Islam, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, 2010.
[8] Akhavi, op. cit., h. 146 mengutip Shariati, Chih Bayad Kard? (What is to be Done?), (Teheran: Husayniyah Irshad, tt.), h. 32-42.
[9] “Dengan demikian adalah penting bahwa agama harus berbicara dalam imej dan symbol yang dapat dimengerti sesuai dengan perkembangan pemikiran manusia dan ilmu.” Shariati, Ali, On the Sociology of Islam, tr. by Hamid Algar, Berkeley: Mizan Press, 1979, h. 72.
[10] Akhavi, op. cit., 152 mengutip Shariati, Intizhar-i Madhhab-i I‘tiraz (Tehran: Husayniyah Irshad, 1971), h. 25.
[11] “Para pemikir yang tercerahkan pada hari ini umumnya percaya bahwa ketika kontradiksi dialektis terjadi dalam struktur [matn] masyarakat, faktor kontradiksi ini dan pertarungan antara tesis dan anti-tesis mengimplikasikan masyarakat ke dalam gerakan dan menggambarkannya pada revolusi dan membawanya maju, membebaskannya, dan akhirnya, memasukkannya ke dalam tingkatan yang baru.” Shariati, Az Kuja Aghaz Kunim?, h. 38 sebagaimana dikutip oleh Akhavi, op. cit., 152.
[12] Shariati mengakui dialektikanya sebagai “perbandingan dalam perbedaan antara kebenaran dan realitas keimanan.” Shariati, Ali, The Hajj, tr. by Ali A. Behzadnia and Najla Denny, (1977), Petaling Jaya, Malaysia: Islamic Book Trust, 2003, h. xi.
[13] “Kisah Qabil dan Habil menunjukkan hari pertama anak Adam di bumi ini…sebagai sesuatu yang identik dengan permulaan kontradiksi, konflik dan akhirnya peperangan dan perpecahan. Ini mengkonfirmasi fakta ilmiah bahwa hidup, masyarakat dan sejarah itu didasarkan pada kontradiksi dan pergulatan, dan sebaliknya dengan kepercayaan kaum idealis, faktor-faktor fundamental dalam ketiganya itu adalah ekonomi dan seksualitas, yang menjadi dominan atas keimanan agama, ikatan persaudaraan, kebenaran dan moralitas.” On the Sociology of Islam, h. 104.
[14] “Keimanan kita adalah benar, adil, dan menyelamatkan. Kitab kita, Nabi kita, Jalan kita, terbaik…Tetapi Realitas menunjukkan sebaliknya: yang berpihak pada Kebenaran itu dikalahkan… Intizhar memecahkan ketimpangan ini. Dengan mengharap kemenangan akhir Kebenaran atas Realitas.” Intizhar, 36-8 sebagaimana dikutip oleh Bayat-Philipp, Mangol, “Shi‘ism in Contemporary Iranian Politics: The Case of Ali Shari‘ati” in Kedourie, Elie and Haim, Sylvia G. (eds.), Towards A Modern Iran: Studies in Thought, Politics and Society, London: Frank Cass & Co. Ltd., 1980, h. 162.
[15] Ayubi, op. cit., 60 mengutip Bezirgan, 1979.
[16]Hikmah adalah tipe pengetahuan atau pandangan akurat yang dibawa pada manusia oleh para nabi dan bukan oleh para ilmuwan atau filosof. Inilah tipe pengetahuan dan kesadaran-diri yang Islam katakan. Ia tidak hanya melatih kaum ilmuwan, tetapi kaum intelektual yang sadar dan bertanggungjawab.” The Hajj, 75.
[17] Dengan kata lain ia adalah “anti-tesis dari penindasan dan kegelapan, …karena ia adalah cahaya”. Az Kuja, 10-11 dan 38 sebagaimana dikutip oleh Bayat-Philipp, op. cit., 158.
[18] “Musuhmu tidak selalu bersenjata atau tentara. Ia tidak seharusnya orang luar yang diketahui. Ia mungkin saja sebuah sistem atau suatu perasaan, pemikiran atau pemilikan, cara hidup atau tipe pekerjaan, cara berpikir atau alat untuk bekerja, tipe produksi atau cara konsumsi, budaya, kolonisasi, cuci-otak agama, eksploitasi, hubungan sosial atau propaganda. Ia boleh jadi neo-kolonialisme, birokrasi, teknokrasi atau otomasi. Pada waktu tertentu ia adalah exhibisionisme, nasionalisme dan rasisme, pada masa lain pula ia adalah Nazi-fasisme, borjuisisme dan militerisme. Ia boleh jadi cinta kenikmatan (Epicureanisme), cinta ide (idealisme), cinta kebendaan (materialisme), cinta kesenian dan keindahan (romantisisme), cinta ketidadaan (eksistensialisme), cinta tanah dan darah (rasisme), cinta pahlawan dan pemerintahan pusat (fasisme), cinta individu (individualisme), cinta untuk semua (sosialisme), cinta ekonomi (komunisme), cinta kearifan (filsafat), cinta perasaan (gnostisisme), cinta surga (spiritualisme), cinta eksistensi (realisme), cinta sejarah (fatalisme), cinta takdir Tuhan (determinisme), cinta seksualitas (freudisme), cinta instink (biologisme), cinta akhirat (keimanan), ketakhyulan atas idealisme, keserakahan ekonomi…Ini adalah patung-patung pemujaan dari kemusyrikan yang baru. Peradaban baru adalah seperti halnya Latta, ‘Uzza, Asaf dan Na’ilah dari Quraysy baru!” The Hajj, 166-7.
[19] “Mari kawan-kawan kita tinggalkan Eropa; mari kita hentikan imitasi atas Eropa yang menyebalkan ini. Mari kita tinggalkan Eropa yang selalu bicara tentang kemanusiaan, tetapi menghancurkan manusia ini di manapun ia menemukan mereka.” On the Sociology of Islam, 17.
[20] Dalam simplifikasi Shariati: “Di Eropa, revolusi ilmiah mengalahkan gereja. Ilmu mengambil tempat agama. Sekolah-sekolah teologi lama dirubah menjadi universitas-universitas modern. Orang-orang spiritual terlempar di sudut-sudut tempat ibadah, digantikan oleh kaum ilmuwan; Balam meninggalkan gereja dan muncul di universitas. Revolusi Perancis menghilangkan feodalisme tetapi Qarun yang terkalahkan di desanya menyerbu kota dan mendirikan bank! Walaupun Firaun dipancung dengan guillotine dan dikuburkan di istana Versailles oleh kekuasaan demokratis, ia bangkit kembali dan didukung oleh uang Qarun dan sihir Balam! DeGaulle berkuasa.” Dengan catatan tambahan bahwa DeGaulle adalah “Presiden Perancis yang terkenal karena reputasinya yang membela liberalisme dan demokrasi. Realitasnya, ia mendukung kolonialisme Perancis.” The Hajj, 156 c. 14.
[21] “Jika anda mengalahkan seseorang dengan merebut senjatanya, yang kedua akan mencoba membeli anda dengan uangnya; jika ini gagal, yang ketiga akan mencurangi anda dengan mengatasnamakan keimanan. Jika tidak ada satupun metode yang sukses, mereka akan mencoba untuk mencapai tujuan-tujuan mereka dengan menggunakan ilmu, seni, filsafat, ataupun ideologi. Dan, jika salah satunya efektif, mereka akan mengerang, menangis, meminta, berdoa atau semata-mata membuat pikiran anda terganggu sehingga anda tidak sadar tentang apa yang terjadi.…” The Hajj, 156-7.
[22] Chehabi, op. cit., 71 mengutip Shariati, Emmat va emamat (ummah dan imamah), 1977, h. 161-2.
[23] Chehabi, op. cit., 71-2.
[24] Shariati, Ali, “Shahadat,” in Gary Legenhausen and Mehdi Abedi (eds.), Jihad and Shahadat: Struggle and Martyrdom in Islam, Houston, Texas: IRIS (The Institute for Research and Islamic Studies), 1986, h. 203.
[25] Bayat-Philipp, op. cit., 163.
[26] Chehabi, op. cit., 205.
[27] “Nabi Islam datang untuk menegaskan doktrin universal dari tauhid, dan untuk membawa bahwa kesatuan ke dalam sejarah manusia, untuk semua ras, bangsa, kelompok, keluarga dan kelas-kelas sosial, dan untuk mengurangi kesesatan yang dibawa oleh agama-agama politeis.” “Shahadat”, 157.
[28] Menurut Arjomand, makna “ideologi” dalam karya-karya Shariati bersesuaian dengan istilah “kesadaran kolektif”-nya Durkheim. Said Amir Arjomand, “A la reserche de la conscience collective: Durkheim’s Ideological Impact in Turkey and Iran,” American Sociologist 17 (1982), 98 sebagaimana dikutip oleh Chehabi, op. cit., 70.
[29] “Islam dan perannya dalam kemajuan sosial manusia, kesadaran-diri, gerakan, tanggung jawab, ambisi manusia dan perjuangan untuk keadilan; realism Islam dan kealamiahan, kreativitas, adaptabilitas dengan kemajuan ilmiah dan ekonomi dan orientasi terhadap peradaban dan masyarakat.” The Hajj, xi.
[30] “Islam dengan demikian telah menjadi agama dan missi: agama yang berisi kepercayaan…’ dan pada saat yang sama, ia merupakan misi mendirikan ummah [masyarakat], yang menyuruh penolakan atas aristokrasi, antagonisme kelas, dan eksploitasi buruh oleh uang, oleh super-strukture imamah [kepemimpinan], yang menyerukan penolakan atas despotisme, kekuasaan individual, aristokrasi, oligarki, dan kediktatoran keluarga, kelas, atau ras.” “Shahadat”, 201-2.
[31] Chehabi menyebutkan hal ini berdasarkan buku pertama Shariati, Maktab-e vaseteh (The median school) (1955). Chehabi, op. cit., 188.
[32] “Shahadat”, 202.
[33] Chehabi, op. cit., 72 mengutip Shariati, Emmat va emamat (The umma and imamhood), 1977, h. 62-3.
[34] Shariati, Ali, Man and Islam, tr. by Dr. Fatollah Marjani, Houston, Texas: Free Islamic Lit., Inc., 1981, h. 90.
[35] “Karena [akan muncul] revolusi dunia, penyelamatan manusia, pengukuhan keadilan, perdamaian, dan persamaan –semua ini—betul; tetapi [yang lebih penting] gelaran penyelamat akhir manusia dalam hubungan ini adalah tsar [darah] dan menuntut tsar, yang meliputi keseluruhan sejarah manusia, adalah Muntaqim (Sang Pembalas) [Imam keduabelas, Sang Mahdi].” Shariati, Ali, “Thar,” in Gary Legenhausen and Mehdi Abedi (eds.), Jihad and Shahadat: Struggle and Martyrdom in Islam, Houston, Texas: IRIS (The Institute for Research and Islamic Studies), 1986, h. 260 n. 13.
[36] “orang yang menunggu kembalinya Sang Imam adalah orang yang siap sedia; sehingga kapan pun adalah mungkin bagi terompet itu untuk berbunyi, dan ia akan melihat dirinya bertanggung jawab dalam keikutsertaan pada hukum Tuhan ini; dan ia secara otomatis siap sedia, baik secara mental maupun dengan segala peralatan, setiap orang Syi’ah maju ke depan dengan harapan mendengar seruan Sang Imam. Shariati, Intizhar, h. 42 sebagaimana dikutip Akhavi, op. cit., 153.
[37] “Adalah tidak mungkin mencapai independensi ekonomi tanpa mencapai independensi spiritual, dan begitu juga sebaliknya. Keduanya ini keadaan yang saling bergantung dan saling melengkapi.” Man and Islam, 33.
[38] “Islam, dengan memilih kata ummah, telah membuat tanggung jawab intelektual dan gerakan bersama menuju tujuan bersama…atas dasar pandangan-duna dan ideologinya, dan untuk realisasi atas nasib manusia dalam rencana penciptaan.” On the Sociology of Islam, 119-20.
[39] “Shahadat”, 158.
[40] “Shahadat”, 191.
[41] Man and Islam, 23.
[42] Menurut Shariati, Islam mengajarkan tiga hal untuk mengobati penyakit sosial, yaitu mistisisme, keadilan/persamaan, dan kebebasan individual. Benson, Steven R., “Islam and Social Change in the Writings of ‘Ali Shari‘ati: His Hajj as a Mystical Handbook for Revolutionaries,” dalam The Muslim World, LXXXI, 1991, h. 17-8 mengutip Shariati, Marxism and Other Western Fallacies: An Islamic Critique, tr. R. Campbell (Berkeley: Mizan Press, 1980), h. 97.
[43] Man and Islam, 90.
[44] “Dalam pandangan-dunia tauhid, manusia hanya takut satu kekuatan, dan dapat dijawab hanya oleh satu hakim… Tauhid menganugerahi manusia independensi dan martabat. Penyerahan hanya kepada Dia –Yang Tertinggi dari semua yang ada—mendorong manusia untuk melawan seluruh kekuatan yang ada,  semua ikatan ketakutan dan keserakahan yang memalukan.” On the Sociology of Islam, 87.
[45] “…struktur tauhid tidak dapat menerima kontradiksi atau disharmoni di dunia. Menurut pandangan-dunia tauhid, dengan demikian, tidak ada kontradiksi dalam semua eksistensi: tidak ada kontradiksi antara manusia dan alam, ruh dan tubuh, dunia dan akhirat, materi dan makna. Tauhid pun tidak dapat menerima kontradiksi hukum, kelas, sosial, politik, rasial, nasional, territorial, genetik, atau bahkan ekonomi, karena ia mengimplikasikan cara penglihatan atas segala sesuatu sebagai suatu kesatuan.” On the Sociology of Islam, 86.
[46] “Pertarungan transhistoris antara Habil dan Qabil adalah juga pertarungan antara tauhid dan syirik, antara keadilan dan kesatuan manusia pada satu pihak, dengan diskriminasi sosial dan rasial pada pihak lain.” On the Sociology of Islam, 108-9.
[47] Man and Islam, 22.
[48] “Dalam al-Qur’an (sebagaimana dalam Bibel) uang, kekuatan, dan agama nampak dalam tiga persona: Fir’aun sebagai simbol kekuasaan, Qarun sebagai simbol kekayaan, dan Balaam Ba-Ura, pendeta yang memonopoli agama. Tiga simbol ini membentuk sistem Qabilian.” Man and Islam, 19; Cf. On the Sociology of Islam, 115.
[49] “Hari akhir akan datang ketika Qabil mati dan ‘sistem Habil’ didirikan. Revolusi yang tidak dapat terhindarkan itu berarti akhir sejarah Qabil; persamaan akan direalisasikan di seluruh dunia, dan kesatuan manusia dan persaudaraan akan didirikan, melalui persamaan dan keadilan.” On the Sociology of Islam, 109.
[50] On the Sociology of Islam, 116-7.
[51] “Hak keadilan hanya milik Tuhan” kata Shariati mengutip surat Imam Husayn, cucu Nabi SAW, kepada kakaknya. The Hajj, 150-1 n. 4.
[52] Shariati mengatakan bahwa “semua nabi-nabi Ibrahim yang memproklamirkan monoteisme dan keadilan –pewaris sejati dari Habil selama periode pertama—adalah para penggembala!” Di sini Shariati juga mengutip ayat, “Manusia adalah satu umat, dan Tuhan mengirimkan utusan-Nya dengan kabar gembira dan peringatan; dan dengan mereka Dia mengirim Buku dalam kebenaran untuk menghakimi manusia dalam hal-hal yang mereka berbeda.” (QS. 2: 213). The Hajj, 151 and 159.
[53] Class differentiation in the parable of animals: a wolf (symbolizing fierceness and oppression), a rat (symbolizing slyness), a fox (symbolizing craftiness), or a sheep (symbolizing slavery). The Hajj, 12.
[54] Here Shariati quotes the verse, “We sent aforetime Our messengers with clear Signs and sent down with them the Book and the Balance (of Right and Wrong), that men may stand forth in justice; and We sent down Iron, in which is (material for) mighty war, as well as many benefits for mankind.” (QS. 57: 25). The Hajj, 152.
[55] “Melihat para sahabat Nabi mengindikasikan bahwa mereka semuanya adil, pejuang yang bersemangat, dan individu-individu konstruktif yang berurusan dengan pembangunan masyarakat yang lebih baik dan menegakkan keadilan.” Man and Islam, 9.
[56] Chehabi menerangkannya berdasarkan buku Shariati berjudul Abu Zarr: Khoda parast-e sosialist (Abu Dharr: sosialis yang takut-Tuhan) (1958). Chehabi, op. cit., 188.
[57] “Individu-individu terdidik boleh menjadi para pemicu yang baik, tetapi dalam kerangka menerjemahkan ideologi ke dalam realitas dan mendorongnya pada kesempurnaan, rakyat selalu menjadi elemen-elemen praktis dan bertanggung jawab.” Man and Islam, 100.
[58] “‘Massa’, dengan demikian berarti rakyat bukan kelas tertentu atau bentuk sosial tertentu. Al-nas mempunyai makna yang betul-betul sama…Islam adalah mazhab pemikiran sosial pertama yang mengakui massa sebagai basis dan faktor fundamental dan sadar dalam menentukan sejarah dan masyarakat –bukan yang terpilih sebagaimana yang dipikirkan Nietzsche thought, bukan aristokrasi dan keningratan sebagaimana diklaim Plato, bukan orang-orang besar sebagaimana diyakini oleh Carlyle dan Emerson, bukan mereka yang berdarah murni sebagaimana dibayangkan Alexis Carrel, bukan para pendeta atau kaum intelektual, tetapi massa.” On the Sociology of Islam, 49.
[59] “Adalah tanggung jawab setiap individu di setiap zaman untuk menentukan pandangannya dalam pergulatan yang terus-menerus antara dua sayap [yaitu sistem Qabil dan Habil] …, dan untuk tetap menjadi pengawas.” On the Sociology of Islam, 109.
[60] “Adil (‘adl) kebanyakannya merujuk pada hubungan legal antara individu atau kelompok, berdasarkan hukum-hukum yang ada di masyarakat. Persamaan (qist) merujuk pada kenikmatan persamaan oleh seluruh manusia atas hasil usaha atau hak mereka, baik hal ini diakui oleh hukum ataupun tidak. Keadilan mengimplikasikan adanya sistem yudisial, dan persamaan berhubungan dengan struktur masyarakat. Untuk mendapatkan keadilan, sistem peradilan harus direformasi; untuk mendapatkan persamaan, sistem sosial harus dirubah –tidak secara semu, tetapi dalam struktur fundamentalnya.” On the Sociology of Islam, 109 c. 6.
[61] “Keturunan Qabil, para pembunuh dan orang-orang yang kejam memecahkan keluarga Adam dan kesatuan manusia ke dalam banyak bagian dan faksi. Apa yang dihasilkan adalah hubungan-hubungan berikut: tuan dan pembantu, penindas dan yang ditindas, penjajah dan yang terjajah, pemeras dan yang diperas, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, yang bergizi dan yang kurang gizi, yang terhormat dan yang tak dihormati, yang bahagia dan yang tidak, orang mulia dan orang awam, yang maju dan yang tidak maju, Timur dan Barat, Arab dan non-Arab, dsb.” The Hajj, 11-2.
[62] Dalam menjelaskan ummah sebagai masyarakat ideal, Shariati menjelaskan bahwa “Sistem sosialnya berdasarkan persamaan dan keadilan dan pemilikan oleh rakyat, tentang kebangkitan ‘sistem Habil,’ masyarakat kesetaraan manusia dan demikian juga persaudaraan –masyarakat tanpa-kelas.” On the Sociology of Islam, 119.
[63] “Kita adalah anak yatim sejarah; yaitu, yang miskin dan yang tertindas di bumi ini. Kita, anak-anak Habil sang syahid, adalah orang-orang beriman sejati pada Tuhan. Kita adalah anak-anak Adam yang mendemonstrasikan kualitas-kualitas baik, mendukung persaudaraan, mencintai persamaan, mewakili sifat kemanusiaan yang original dan murni dan mewakili gambaran sejati dari monoteisme, kesatuan, dan perdamaian.” The Hajj, 157.
[64] The Hajj, 158.
[65] Shariati mendasarkan pendapatnya pada ayat: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. 2: 188). The Hajj, 108-9.
[66] Dengan simbolisasi haji, Shariati menyatakan bahwa dengan menjadi seorang Muslim, “Anda telah mengalahkan kebodohan dan penindasan dan telah tercerahkan oleh kesadaran dan keadilan.” The Hajj, 73 and 15.
[67] “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim dan Muslimah.” (Hadits). The Hajj, 108.
[68] “Karena sebagian turunan Qabil itu adalah para penafsir al-Qur’an, anda harus membaca nash itu sendiri dan memahami apa yang ia katakana karena inilah satu-satunya dokumen yang selamat dari pemalsuan mereka.” The Hajj, 158-9.
[69] Berdasarkan ayat “Tangan Tuhan di atas tangan mereka.” (QS. 48: 10) Shariati menyatakan: “Sentuhlah Tangan Tuhan. Dialah atasan dari semua yang telah mengikatkan tangan anda pada loyalitas sebelumnya. Setelah mencapai status bebas (setelah menjabat Tangan Tuhan dan menegaskan ‘janji original’ anda kepada-Nya), adalah tugas anda untuk ikut serta dengan rakyat … Masuklah ke dalam sistem itu dan bergeraklah dengan yang lain.” The Hajj, 36.
[70] Akhavi, op. cit., 153.
[71] “Tetapi ketika kebenaran bertentangan dengan kehidupan sehari-hari seseorang, pendukung kebenaran dan keadilan aka nada dalam masalah dan bahaya…ia harus menanggung beban tanggung jawab yang berat, menemukan jalannya melalui malam yang gelap dan penuh badai dan menghadapi semua bahaya dan kesulitan.” The Hajj, 110.
[72] “Seperti para pengikut Rasulullah SAW sejati yang membuat orang sadar dan kaum intelektual bertanggung jawab membawakan misinya, mereka harus mendiriikan masyarakat contoh berdasarkan monoteisme (tauhid) dan untuk mendukung semangat pengetahuan, kepemimpinan dan keadilan dalam kehidupan manusia.” The Hajj, 134-5.
[73] “ketika orang yang bertanggung jawab mendukung semangat keadilan dan menyeru rakyat untuk bersatu, untuk berjuang bagi keadilan dan untuk menyadari apa yang terjadi dalam masyarakat mereka, segera saja yang sedang berkuasa akan dengan sepenuh hati melakukan pembunuhan atas individu tersebut atau atas karakternya.” The Hajj, 152.
[74] “Semua manusia itu tidak hanya sama; mereka juga bersaudara. Perbedaan antara persamaan dan persaudaraan adalah cukup jelas. Persamaan itu merupakan konsep legal, sementara persaudaraan memproklamasikan sifat dan temperamen seluruh manusia yang seragam; seluruh manusia berasal dari satu sumber, apapun warna kulit mereka.” On the Sociology of Islam, 77.
[75] “Dia juga mengubah hubungan persaudaraan antar-suku menjadi persaudaraan ideologis. Hubungan ideologis mengganti hubungan darah.” “Thar”, 256.
[76] Opini itu berdasarkan ayat: “[Allah adalah] Tuhan Rakyat, Raja Rakyat, dan Sembahan Rakyat.” (Al-Nas, 94: 1-3). On the Sociology of Islam, 118.
[77] The Hajj, 134, 168 and 129.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prodi S2 Studi Agama-Agama (SAA) Gelar Workshop Kurikulum 2020